Sejarah Kue Adat Tamo
Tamo
Oleh : Alffian Walukow
Sampai saat ini belum ditemukan arti secara harafiah dari kata Tamo.
Dalam kamus bahasa Sangir membahasakan Tamo sebagai Pohon Nunu' atau Pohon Beringin.
Mengapa Belanda mengartikannya sebagai Pohon Nunu'?
Inilah legenda Singkatnya:
Berdasarkan versi Sangihe Pilipina.
1. Gumansalangi datang seorang diri dari Pilipina Selatan menunggangi naga raksasa dan seterusnya tiba di puncak bukit Sahendarumang.
2. Oleh karena sendiri, dia ingin memperoleh pasangan hidup.
3. Dengan bantuan seorang Nenek, dia diberikan petunjuk untuk menemukan pasangan hidup.
4. Petunjuknya adalah, Gumansalangi harus menebang pohon atau "menuang".
5. Pohon ditebang dengan kapak bermata dua yang bernama Baliung Longsong.
6. Baliung Longsong adalah kapak kecil, serupa dengan kapak milik Wiro Sableng. Baliung artinya Kapak, Longsong artinya kecil mungil.
7. Di pucuk pohon ada sebutir telur, jika pohon ditebang, telurnya jangan sampai jatuh ke tanah.
8. Gumansalangi menebang pohon dan seterusnya menangkap telur yang jatuh.
9. Telur itu kemudian menetas, dan dari telur itu keluarlah seorang perempuan cantik yang kemudian bernama Konda/Onda Asa atau Sangiang Konda atau Konda Wulaeng.
10. Perempuan itulah yang dikemudian hari menjadi isterinya.
11. Sejak peristiwa itu, mereka turun gunung ke pantai.
12. Ditempat itu mereka menemukan sudah ada penduduk
13. Mereka berdua disambut dan dieluk-elukan atau dalam bahasa Sangir disebut Saluhe.
14. Sejak saat itu tempat tersebut dinamakan Salurang.
15. Diperjalanan terakhir itu, Gumansalangi dinobatkan menjadi Raja, dengan gelar Medellu dan Konda Asa dinobatkan sebagai permaisuri dengan gelar Mengkila.
Kisah cinta mereka disimbolisasi dalam Ritual Menuang Tamo atau menebang Tamo dan terus diceritakan dalam salamate menuang Tamo.
Jika dihubungkan dengan kedatangan Portugis dan Spanyol di kepulauan Sangihe kurun waktu tahun 1500-san, maka kata Tamo mungkin diadaptasi dari kosa kata Spanyol "Te Amo" yang artinya Aku Cinta.
Nama tua dari kue Tamo adalah Golopung, yang artinya Tepung.
Resep kue Tamo tua adalah campuran dari berbagai jenis makanan yang ada di kepulauan Sangihe.
Oleh perjalanan sejarahnya yang panjang, kini resep Tamo hanya terbuat dari beberapa bahan saja yaitu : Beras,Gula,Kacang Tanah dan Minyak Kelapa.
Dasar sejarah lahirnya kue adat Tamo adalah simbolisasi kisah cinta Gumansalangi, raja pertama kerajaan Tabukan Tua yang menurunkan beberapa generasi sampai ke Makaampo.
Kisah kue Tamo dilegendakan sebagai penanda lahirnya kerajaan pertama di Sangihe dan menceritakan kisah cinta melalui simbol Pemotongan Kue Tamo yang diadaptasi dari kisah pemotongan pohon dalam legenda kedatangan Gumansalangi di puncak Sahendarumang pada kurun waktu tahun antara tahun 1300-1400 (masa yang sama dengan kesultanan Cotabato atau kesultanan Mindanao) sumber: buku Islam Mindanao.
Dalam tradisi lisan Sangihe terdapat berbagai versi cerita lahirnya Tamo diantaranya,
1. Versi Tamako
Dikisahkan, dimasa lalu pernah berdiri kerajaan tua di suatu tempat bernama Bongkolumenehe.
Tepatnya kini di Kampung Dagho,kecamatan Tamako.
Ditempat itulah untuk pertama kali kue Tamo dipertunjukkan dalam pesta pernikahan dari bangsawan bernama Mangulundagho dengan Wangsang Peliang.
Lokasi tempat pernikahan itu bernama Bongko Lumenehe'.
Kisah pernikahan itu, oleh seniman Sangihe menceritakannya dalam bentuk lagu dengan Judul Daluase'.
Lirik lagu Daluase
Daluase seng nahumpaliu nenaungang.
Pira taung naliu nehengke kaliomaneng su Mawu,
Batu timuhu kere karakiku.
Ruata netulung satia, ku abe gagholokangu.
Ualingu liaghang gantinu.
Ini nipensau ringangu ghaghionu.
Tahendunge kebi apang hapi u.
Pempebanuako su wongkong lumenehe.
Sutadetene takahalaweng, oh suweda u.
Lempi u anging, oh suwanalang e pedarame.
Kamageng alingang mengkai tumuwo.
Kamageng ensokang mengkai tumendang.
Menaharumiki mekila mededalinding.
Sarang binawa kusimarang kere kakerongu.
Wituing kadademahe.
Oh Mawuku.
Mambeng petulung sirung sengkasirung.
Kisah pernikahan ini dalam penanggalan lisan atau cuma dikira - kira, terjadi pada kurun waktu tahun 1100 Masehi.
2. Versi Tabukan.
Untuk ke dua kalinya Kue Tamo diceritakan sebagai Legenda.
Kue Tamo untuk ke dua kalinya di pertunjukkan pada pesta pernikahan Makaampo dengan isteri ke duanya yaitu dua orang perempuan bersaudara kandung bernama Somposehiwu dan Timbangsehiwu.
Kue tersebut di olah oleh bibinya Makaampo bernama Tallongkati yang bergelar Bawu Mahaeng.
Masa kekuasaan Makaampo adalah dikisaran tahun 1500 Masehi
Artinya tercocoklogi dengan masa kedatangan Spanyol Portugis dikepulauan Sangihe.
Kue Tamo memiliki dua jenis yaitu :
1. Tamo Datu atau Tamo Raja, warnanya coklat tua.
2. Tamo Boki atau Tamo permaisuri, warnanya coklat mudah
Aturan Pakem olahan Tamo berdasarkan adat,
Bahan :
1. Gula Merah atau gula batu.
2. Beras Biasa 25 %.
3. Beras ketan 75 %.
4. Minyak kelapa .
5. Tanpa kacang tanah.
Teknik olahan:
1. Harus diolah oleh pasangan suami isteri dari awal sampai selesai.
2. Menggunakan bahan bakar dari Leluang atau Seludang
3. Cara kongke harus dari kiri ke kanan.
4. Proses masak minimal 3 jam.
Aturan aksesoris.
Kue Tamo Tidak menggunakan bendera merah putih.
Mengapa?
Karena Tamo sudah ada dalam kebudayaan Sangihe ratusan tahun sebelum ada Republik Indonesia.
Yang wajib adalah.
1. Udang
2.Jenis jenis ketupat Sangihe terutama Empihise Bawatung.
3. Pisang Datu atau pisang Raja.
4. Rica atau Cabe atau Lombok
5. Tomat
6. Ikan laut goreng atau bakar.
7. Bunga atau kembang asli Sangihe.
8. Telur Ayam
Syarat pemasangan asseoris Tamo adalah:
Hiasan tamo ditancapkan mengunakan lidi atau sejenisnya, dan di tata menyerupai ranting-ranting pohon, bukan ditempelkan melekat pada badan Tamo.
Hal ini adalah simbolisasi cabang dan ranting pohon dalam kisah Gumansalangi.
Penyajian secara pakem :
Tamo disajikan diatas piring porselin besar yang dikenal sebagai Lama Maluku.
Badan Tamo di bungkus dengan kembuno atau dan pisang kering
Hal paling hakiki adalah :
1. Tamo harus habis dimakan atau dibahagikan pada saat acar pernikahan dilaksanakan.
2. Tamo adalah tanda Undangan pesta pernikahan.
3. Orang yang mengolah ataupun yang memotong, sekurang-kurangnya adalah tua-tua adat.
Karena semua unsur pengolahan, bentuk dan pemotongan berisi pesan, doa dan nasehat yang nantinya akan menjadi "bisa".
Bisa dalam kebudayaan Sangihe bukanlah racun tetapi kekuatan.
Secara umum, Makna filososfi dari Tamo, assesoris dan penggunaannya adalah :. ......(nanti berikut mo tulis)
Setelah memperoleh penjelasan diatas, maka diperolehlah kesan bahwa kue Tamo bukanlah Kue adat yang dipertontonkan diritual Tulude tetapi pada Pesta Pernikahan.
Entah mengapa, siapa dan kapan mulai masuk dalam Ritual Tulude, aku tak Tahu.😃😃😃😃😃