Mengenal Gajah Purba Sangihe, Stegodon Pintarengensis

 

MENGENAL   STEGODON  PINTARENGENSIS

Stegodon sp. B af. Trigonosefalus 

Oleh : Alffian  Walukow

Dihimpun  dari  berbagai sumber

ilustrasi  Anatomi Stegodon  Asia
sumber foto : https://kumparan.com/kumparansains/gajah-purba-stegodon-di-majalengka-mati-meninggalkan-gading-1548349052357709493

Stegodon artinya “gigi  beratap” dari  kosa  kata  bahasa  Yunani yaitu : dari  kata  stego artinya menutupi dan odous artinya  gigi.  Stegodon  adalah  genus  anggota dari  subfamily Stegodontinae yang telah  punah dari  Proboscidea (hewan  vertebrata ber-belalai).

Stegodon sempat dimasukkan dalam famili Elephantidae (Abel, 1919), tetapi juga ditempatkan dalam  Stegodontidae (R. L. Carroll, 1988). Stegodonts muncul dari 11.6 juta tahun yang lalu (Mya) sampai Pleistosen akhir, dengan jejak kehidupan yang terlokaliasi dan tidak terkonfirmasi sampai 4,100 tahun lalu. Fosil ditemukan di strata Asia dan Afrika dari  Miosen  Akhir; pada kala  Pleistosen, mereka hidup di sebagian besar Asia, Afrika Timur dan Tengah, dan di Wallacea sampai ke Timor.

Tinjauan 130 lembar kertas yang berisi tulisan tentang 180 situs berbeda dengan sisa-sisa dari hewan Proboscidea di Tiongkok selatan mengungkapkan bahwa Stegodon lebih umum daripada gajah Asia; lembaran memberitahu banyak penanggalan paling terkini, dengan yang termuda seumur 2,150 tahun SM (4,100 Sebelum Sekarang). Namun, Turvey et al. (2013) melaporkan bahwa salah satu kumpulan fauna termasuk fosil Stegodon yang seharusnya berasal dari kala Holosen (dari Gulin, Provinsi Sichuan) ternyata berumur dari Pleistosen akhir; fosil stegodont lain yang seharusnya dari Holosen hilang dan usianya tidak dapat dibuktikan. Para penulis menyimpulkan bahwa kemunculan terakhir Stegodon yang telah terkonfirmasi dari Tiongkok adalah dari Pleistosen akhir, dan keberadaannya pada kala Holosen tidak dapat dibuktikan.[4]

Hingga masa sekarang dikenal dua belas jenis Stegodon:

 

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Stegodon ; Artikel ini terakhir diubah pada 6 April 2023

 


stegodon hunghoensis

Kerangka fosil Stegodon Sungai Kuning digali di Kotapraja Banqiao, Kabupaten Heshui, Provinsi Gansu dan sekarang disimpan di Museum Provinsi Gansu.

Sumber  foto : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Stegodon_hunghoensis.JPG

Stegodon adalah genus dari subfamili Stegodontinae yang telah punah dari ordo Proboscidea. Stegodont hadir dari 11,6 jtl hingga Pleistosen akhir, dengan catatan kelangsungan hidup regional yang belum dikonfirmasi hingga 4.100 tahun yang lalu. Nenek moyang langsung Stegodon hidup sebelum gajah Asia, gajah Afrika, dan mammoth terpisah dalam grafik evolusi. Stegodon dianggap sebagai kelompok saudara dari mammoth dan juga gajah.

Fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa mereka hidup di sebagian besar Asia, Afrika Timur dan Tengah selama Pleistosen. Geraham stegodont terdiri dari rangkaian punggung bukit rendah berbentuk atap, sedangkan pada gajah setiap punggung bukit telah menjadi pelat bermahkota tinggi. Selain itu, kerangka stegodont lebih kuat dan kompak dibandingkan kerangka gajah.

Beberapa spesies Stegodon termasuk yang terbesar, dengan tinggi bahu dewasa 13 kaki, panjang 26 kaki, tidak termasuk gading hampir lurus sepanjang 10 kaki. Salah satu bekantan terbesar, Stegodon, beratnya bisa mencapai 14 ton!

Sumber : https://dinosaurbrokers.com/products/stegodon

 

Sumber : Fauna Vertebrata Prasejarah Oleh : Indah  Asikin Nurani, Siswanto. https://repositori.kemdikbud.go.id/

 

Taksonomi Stegodon

Taksonomi dalam arti luas adalah ilmu klasifikasi , tetapi lebih tepatnya klasifikasi organisme hidup dan  punah yaitu: klasifikasi biologis.  Istilah ini berasal dari bahasa Yunani taxis ( pengaturan ) dan nomos (hukum). Oleh karena itu ,  taksonomi adalah metodologi dan prinsip botani dan zoologi sistematis dan menyusun jenis tumbuhan dan hewan dalam hierarki kelompok superior dan subordinat. Sumber : https://www.britannica.com/science/taxonomy

Di masa lalu, stegodon diyakini sebagai nenek moyang gajah dan mammoth sejati , tetapi saat ini mereka diyakini tidak memiliki keturunan modern. Stegodon kemungkinan berasal dari Stegolophodon , genus yang telah punah yang diketahui dari Miosen di Asia,  dengan fosil transisi antara dua genus yang diketahui dari Miosen Akhir di Asia Tenggara dan Yunnan di Cina Selatan.  Stegodon lebih dekat hubungannya dengan gajah dan mammoth daripada dengan mastodon .  Seperti gajah, stegodontida diyakini berasal dari gomphotheres .  Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Stegodon#Ecology

Taksonomi adalah cabang ilmu biologi yang menelaah penamaan, perincian, serta juga pengelompokan makhluk hidup dengan berdasarkan persamaan serta juga pembedaan sifatnya. Nama kelompok klasifikasi itu disebut takson (jamak-taksa). Ilmu yang mempelajari mengenaia tata cara pengelompokan disebut dengan sebutan taksonomi. Takson terendah serta  paling khusus merupakan spesies, sedangkan takson yang paling tinggi serta juga lebih inklusif (umum) merupakan kingdom. Tingkatan kingdom sampai spesies tersebut ditentukan dengan berdasarkan persamaan ciri makhluk hidup yang paling umum ke ciri yang paling khusus. Taksa sudah distandarisasi serta juga dibakukan di seluruh dunia, oleh International Code of Botanical Nomenclature serta juga International Committee on Zoological Nomenclature. Sumber : https://bakai.uma.ac.id/2022/03/11/taksonomi-definisi-tingkatan-dan-contohnya/

 

Anatomi  Stegodon Asia :

Gajah_kerdil Indonesia_dan_Filipina

Perkiraan ukuran spesies Stegodon kerdil dari Flores dibandingkan dengan ukuran manusia

Stegodon mirip dengan gajah modern, stegodon kemungkinan perenang yang baik,  yang memungkinkan mereka menyebar ke pulau-pulau terpencil di Indonesia, Filipina, dan Jepang. Setelah hadir di pulau-pulau, karena proses dwarfisme pulau , sebagai akibat dari berkurangnya luas daratan dan berkurangnya tekanan predator dan kompetisi, mereka mengecil dalam ukuran tubuh, dengan tingkat dwarfisme bervariasi antara pulau-pulau sebagai akibat dari kondisi lokal. Salah satu spesies terkecil, Stegodon sumbaensis dari Sumba di Indonesia, diperkirakan sekitar 8% dari ukuran spesies Stegodon daratan , dengan massa tubuh 250 kilogram (550 lb).  Kadang-kadang pulau yang sama dikolonisasi beberapa kali oleh Stegodon, seperti di Flores , di mana spesies Stegodon sondaari pada Pleistosen Awal sangat mengerdilkan , yang tingginya 120 cm (3,9 kaki) di bahu dan beratnya sekitar 350–400 kilogram (770–880 pon),  digantikan oleh spesies Stegodon florensis selama Pleistosen Tengah yang awalnya jauh lebih besar, tetapi secara bertahap berkurang ukurannya seiring waktu, dengan subspesies sebelumnya Stegodon florensis florensis dari Pleistosen Tengah diperkirakan sekitar 50% ukuran spesies Stegodon daratan dengan tinggi bahu sekitar 190 cm (6,2 kaki) dan massa tubuh sekitar 1,7 ton, sedangkan Stegodon florensis insularis kemudian dari Pleistosen Akhir diperkirakan sekitar 17% ukuran spesies Stegodon daratan , dengan tinggi bahu sekitar 130 cm (4,3 kaki), dan massa tubuh sekitar 570 kilogram (1.260 pon).  Sumber : Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Stegodon#Ecology

 

BEBERAPA   PENELITIAN  MENGENAI  STEGODON

Migrasi Stegodon:

Analisis komposisi isotop karbon dan oksigen yang stabil dilakukan pada gigi sampel enamel dari daerah di daratan Asia (Linxia Basin, Siwalik, Irrawaddy, Tha Chang dan Laos), pulau-pulau kontinental (Jawa dan Sumatera) dan pulau-pulau samudera (Sulawesi, Sangihe, Luzon, Flores, Timor dan Sumba). δ13C karbonat dari fosil enamel mencerminkan δ13C dari jenis makanan dominan yang dikonsumsi saat enamel terbentuk, dan diperkirakan tidak berubah setelah terbentuknya (misalnya Bocherens dkk., 1996, Cerling dkk., 1997a, Kohn dkk., 1998) . δ13C pada email gigi adalah demikian umum digunakan untuk menilai apakah herbivora memiliki pola makan yang didominasi oleh rumput (tanaman C4, termasuk sebagian besar rerumputan tropis: grazer) atau didominasi oleh tumbuhan berdaun (tanaman C3: browser), atau pakan campuran kedua jenis tanaman (mixed feeder). Sedangkan δ18O. Nilai mencerminkan kondisi meteorik dan geografis yang mempengaruhi air minum hewan (misalnya Dansgaard, 1964). Eksplorasi awal analisis isotop strontium (87Sr/86Sr) hingga memprediksi migrasi fauna diterapkan pada Proboscidea, reptil dan mamalia kecil spesies dari Jawa dan Flores.

 

Proses  migrasi

Sebaliknya, pulau-pulau samudera adalah pulau-pulau yang terletak di lempeng samudera dan dikelilingi oleh air bahkan pada permukaan laut terendah (Darlington, 1957, Alcover et al., 1998). Banyak dari pulau-pulau ini berasal dari gunung berapi. Karena pulau-pulau ini tidak pernah terhubung dengan  daratan, satu-satunya cara migrasi fauna darat adalah dengan melintasi penghalang lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kategori ini dalam penelitian ini adalah: Sulawesi, Luzon dan Sangihe, serta rangkaian pulau-pulau kecil di tenggara yang dikenal dengan Kepulauan Sunda Kecil (termasuk dalam penelitian ini: Flores, Sumba dan Timor) Sumber : Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia (Proboscidea sebagai indikator lingkungan paleo di Asia Tenggara) oleh : Mika Rizki Puspaningrum_University of Wollongon, Australia_2016

 

Identifikasi Stegodon Pintareng  sebagai  jenis Stegodon sp. B af. Trigonosefalus

 

Di situs prasejarah Toalian dengan Homo sapiens, kita menemukan fauna yaitu sama seperti fauna terkini, meskipun spesiesnya dalam beberapa kasus lebih besar. Kami juga temukan elemen Australia.

Fauna Stegodon juga ditemukan di Pintareng Formasi di desa Pintareng, Pulau Sangihe, ujung utara Sulawesi (Aziz, 1990). Stegodon tersebut diidentifikasi sebagai Stegodon sp. B af. Trigonosefalus yang lebih kecil dari Stegodon trigonocephalus dari Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Fauna Pintareng merupakan fauna pulau. Hingga saat ini, belum ada hominid yang ditemukan di wilayah ini. Sumber ; Early Dispersal of Man on Islands of the Indonesian Archipelago: Facts and Controls. Fachroel Aziz, Paul Yves Sondaar, John de Vos, Gerrit Dirk van den Bergh, and Sudijono

 

Geologi Sulawesi, Sangihe dan Luzon

Sulawesi dan Wallacea bagian utara terkenal dengan geologi dan kompleksitasnya biogeografi. Pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah ini dibentuk oleh tumbukan pecahan Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia, dengan busur pulau bagian dari Lempeng Pasifik (Sukamto, 1975, Sukamto dan Simandjuntak, 1983, Hamilton, 1979, Metcalfe dan Irving, 1990, Audley-Charles, 1991, van Leeuwen dkk., 1994, Hall, 2012b, Balai, 2013). Karena asal usulnya yang kompleks, pulau-pulau tersebut telah mengalami perubahan besar deformasi karena patahan dan lipatan. Bagian dari sejarah mamalia darat sebelumnya adalah tercatat pada endapan Kuarter Cekungan Sengkang, pada gua-gua dalam kompleks karst Maros Pangkep di Sulawesi bagian Barat Daya, di Pulau Sangihe dan di Lembah Cagayan di Luzon (Filipina).

 


Peta pulau-pulau tempat sampel fosil dianalisis: Sulawesi, Sangihe dan Luzon.

Persegi panjang berwarna hijau menunjukkan area yang diteliti; garis kuning menunjukkan Garis Wallace,  

itu batas biogeografis utama yang diakui di wilayah tersebut.

 

Sangihe dan Luzon

Pulau Sangihe merupakan bagian dari busur vulkanik yang terletak di antara bagian utara Sulawesi busur magmatik dan Mindanao (Morrice et al., 1983). Vulkanisme di Sangihe penyebabnya oleh tumbukan busur-busur aktif yang memakan Lempeng Laut Molucca oleh dua tektonik lempeng mikro: Lempeng Halmahera di sebelah barat dan Lempeng Sangihe di sebelah barat timur. Tabrakan telah aktif sejak Neogen (Macpherson et al., 2003). Batuan vulkanik yang tersingkap di Sangihe adalah berumur Pliosen-Plistosen Awal Breksi dan lava andesitik-basaltik Sahendaruman (Morrice et al., 1983, Samodra, 1994), intrusi dioritik dan andesitik Pliosen Akhir-Pliosen Awal (Samodra, 1994) dan gunung berapi Awu Akhir Pleistosen-Sekarang (Samodra, 1994). Satu-satunya sedimen Batuan yang tersingkap di Sangihe adalah Formasi Pintareng, tempat ditemukannya fosil Stegodon berasal  (Samodra, 1994).

 


Sumber : Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia Mika Rizki PuspaningrumUniversity of Wollongong_2016

 

 

Jalur Migrasi

Pada Perioda Kuarter berlangsung migrasi besar-besaran berbagai fauna vertebrata terutama mamalia dari Daratan (Benua) Asia ke Jawa (Paparan Sunda), termasuk “Manusia Purba”, Homo erectus. Mereka datang melalui jalur Siva – Malayan dan Sino – Malayan (De Vos, 1995). Ada pula yang datang ke Kepulauan Wallacea (Sangihe, Sulawesi, Flores, Sumba dan Timor) (Gambar 4) dengan menyeberang laut (Aziz, 2008)

Hal yang menarik dari keluarga gajah ialah mereka merupakan pengembara yang tangguh dan perenang yang baik. Selain di Jawa mereka juga berhasil menyeberangi garis Wallace (Wallace’s line) yang secara tradisionil merupakan batas paling timur dari penyebaran fauna asal daratan Benua Asia (Asiatic faunal origin). Daerah penyebarannya antara lain di daerah Pintareng (Sangihe, Sulawesi Utara); Lembah Wallanae (Soppeng, Sulawesi Selatan); Betue (Sulawesi Tengah); Kawangu (Sumba Barat); Cekungan Soa (Ngada, Flores Tengah) dan bahkan sampai ke Saladitun dan Atambua (Timor).

Hal ini dimungkinkan karena beberapa factor pendukung baik berupa lingkungan hidup/ habitat maupun struktur anatomi, antara lain:

• Gajah merupakan hewan yang suka dengan air, hidup di lingkungan basah/ lembab.

• Hidup berkelompok sehingga dapat mempertahankan populasinya.

• Mempunyai belalai yang dapat menjadi alatbantu pernapasan (snorkel).

• Tubuh yang besar membuat dia dapat bertahan cukup lama tanpa makan.

• Struktur tulang tengkorak berongga sehingga mudah mengapung.

• Metabolisma pencernaan yang dapat menghasilkan gas membatu dia mengapung.

Menurut Jonhson (1980) gajah merupakan perenang yang baik. Dengan menggunakan belalainya sebagai cerobong pernapasan (snorkel), gajah dapat berenang dengan kecepatan 2.70km/jam.

Migrasi verebrata dari Daratan (benua) Asia ke Kepulauan Indonesia dimulai sekitar 1.500.000 tahun lalu atau mungkin lebih awal, melalui jalur Siva-Malayan dari daratan Asia (Siwalik, India) - Indocina – Semenanjung Malaysia terus ke Jawa. Migrasi ini berlangsung sangat dipengaruhi turun – naik (fluktuasi) muka air laut. Kemudian migrasi berikut berlangsung pada akhir Plestosen melalui jalur Sino-Malayan dari Daratan Asia (Cina – Kalimantan - Sumatera -Jawa), saat paparan Sunda merupakan daratan yang menyatu dengan Daratan (Benua) Asia

Ada pula yang datang dari daratan Asian (Cina) melalui Taiwan Pilipina terus ke Kepulauan Wallacea (Sangihe, Sulawesi, Flores, Sumba dan Timor dengan cara menyeberangi laut (sea crossing) atau dikenal sebagai sweepstake dispersal. Migrasi cara ini hanya dapat dilakukan oleh fauna terbatas yang mempunyai kemampuan berenang prima.

Sumber : Atlas Fosil Vertebrata Koleksi Museum Geologi  Badan Geologi, Koleksi Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2023. Penerbit : BADAN GEOLOGI Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


Jejak Temuan Fosil Stegodon Pintareng

Hanang Samudra ahli Geologi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi yang melakukan pemetaan geologi daerah Sangihe (Gambar 48), Sulawesi Utara menemukan potongan geraham stegodon.

Kemudian pada Juli 1989 Aziz dan Shibasaki seorang tenaga ahli Jepang untuk Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi datang ke Sangihe dan berhasil mengumpulkan lebih banyak fosil yang terdiri dari gading, geraham, rahang dan bagian kerangka lainnya (Gambar 49 – 51) (Aziz, 1990).

Morfologi geraham sangat mirip dengan Stegodon trigonocepahus dari Jawa tetapi ukurannya lebih kecil. Semetara ini disebut sebagai Stegodon pintarengensis.



hal. 49

Sumber : hal.49 Atlas Fosil Vertebrata Koleksi Museum Geologi  Badan Geologi.Koleksi Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi_Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2023Penerbit : Badan Geologi_Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

 

Temuan  Fosil Stegodon  Pintareng

Materi yang dikaitkan di sini adalah Stegodon sp. B berasal dari dua daerah. Satu diantaranya terletak di sepanjang sungai kecil dekat desa Pintareng di pulau Sangihe (Provinsi Sulawesi Utara). Pulau Sangihe terletak di tengah-tengah antara perpanjangan paling utara Sulawesi dan pulau Mindanao di Filipina.

Fosil ditemukan oleh penduduk desa setempat dan dibawa ke kediaman kepala desa, Pak Habibi. Pada tahun 1989 ahli geologi GRDC, Bapak H. Samodra, melakukan survei lapangan di Pulau Sangihe dan memperoleh informasi mengenai temuan fosil tersebut.

Pada tahun itu Dr F. Aziz, ahli paleontologi vertebrata di GRDC, bersama Profesor Tatsuo Shibasaki dari JICA, pergi ke Sangihe untuk memeriksa lokasi dan mengambil fosil. Semua fosil dari Pintareng saat ini disimpan di GRDC di Bandung dan diyakini milik satu individu. Aziz (1990) menjelaskan secara singkat Fosil Sangihe dan dikaitkan dengan spesies Stegodon B lih. trigonosefalus. Ruang kerja Bergh dkk. (1992) menghubungkan spesimen tersebut dengan Stegodon sp. B. Unsur-unsur gigi Sangihe akan diuraikan pertama kali secara lebih rinci di bawah ini, dan penelitian ini menunjukkan bahwa geraham sangat berbeda dengan stegodont Jawa. Sisa gigi lainnya di sini dikaitkan dengan Stegodon sp. B berasal dari Tanrung Formasi yang terbentang di sepanjang Sungai Tanrung (Kecamatan Bone, Prov. Selatan Sulawesi).  

Fosil pertama kali ditemukan oleh tim kami dari deposit ini pada tahun 1990. Pengumpulan berikutnya pada tahun 1991, 1992 dan 1993 menghasilkan lebih banyak material gajah, baik elemen gigi maupun postkranial, semuanya berasal dari individu berukuran besar hingga sedang. sedangkan sisa-sisa gajah kerdil yang sebenarnya belum ditemukan di unit ini. Itu sisa-sisa molar dan postkranial disebutkan secara singkat oleh van den Bergh dkk. (1992, 1996) sebagai milik Stegodon berukuran besar. Bartstra dkk. (1994: gbr. 4) menggambarkan sebuah fragmen molar dari koleksi MPC, kabarnya berasal dari Tanrung (MPC TRG 12.01.91).

Fragmen tersebut terdiri dari dua punggung posterior molar Stegodon yang belum dipakai dan ditentukan sebagai bagian dari molar bawah Stegodon lih. trigonosefalus. Kemungkinan besar, fragmen ini cocok dengan M1 dekstral yang tidak lengkap (GRDC TA-3711) yang akan dijelaskan di bawah dan di mana dua punggung posteriornya hilang. TRG-12.01.92 menyajikan bayangan cermin dari dua punggung posterior M1 sinistral lengkap (GRDC TA-3712) dari individu yang sama, dan juga pengukuran ukuran yang diberikan oleh Bartstra et al. (1994: 13) sama persis dengan pengukuran kami yang dilakukan pada TA-3712. Gigi Stegodon atas TA 3711/3712 ditemukan oleh tim kami pada tanggal 12 Oktober 1991, in situ di sebuah lapisan yang berkaitan dengan Formasi Tanrung. Kami hari itu dibimbing oleh M. Anwar Akib dari MPC, yang mengambil fragmen molar yang hilang dan kemudian mendaftarkannya itu dalam koleksi MPC. Pada kesempatan ini angka-angka menunjukkan bulan (Oktober) dari tanggal pengumpulan mungkin salah dicatat. Hal ini dirasakan penting untuk membuat pernyataan ini karena Bartstra et al. (1994) menyarankan dalam makalah mereka  bahwa wilayah Tanrung hanyalah wilayah lain yang berkaitan dengan Anggota Beru dari Formasi Walanae. Namun, seperti yang dibahas di Bab 3, unit fosil tanam di sepanjang Sungai Tanrung membentuk satuan stratigrafi yang berbeda (Tanrung Formasi), secara litologi berbeda dengan sedimen Anggota Beru dan melapisi Formasi Walanae secara tidak selaras.

Umur Formasi Tanrung diperkirakan Plistosen Tengah. Bahan gigi dari Tanrung dan Sangihe memiliki morfologi yang sangat mirip dan ciri-cirinya, namun dapat dibedakan dengan S. sompoensis dan S. t. trigonosefalus. Stegodon di sini untuk sementara diberi nama Stegodon sp. B. Gigi Tanrung yang lebih lengkap akan diuraikan terlebih dahulu di bawah ini. Gigi atas dari Sangihe — Bahan gigi dari Sangihe terdiri dari tiga fragmen molar atas dan bagian distal dari gading dekstral (GRDC PS1/6), semuanya a individu tunggal. Pada sisi dekstral terdapat sisa gigi geraham yang sudah aus seluruhnya (GRDC PS1/1) dan bagian anterior gigi geraham yang sedikit aus patah di belakang punggung bukit 6 (GRDC PS1/2). Molar dekstral yang sedikit aus membentuk pasangan dengan gigi geraham tidak lengkap molar sinistral, patah di belakang ridge 5 (GRDC PS1/3). Spesimen PS1/1 dan PS1/2 telah digambarkan oleh Aziz (1990: pl. VI, masing-masing gambar 1 dan 2)

Sumber : The Late Neogene elephantoid-bearing faunas of Indonesia and their palaeozoogeographic implications A study of the terrestrial faunal succession of Sulawesi, Flores and Java, including evidence for early hominid dispersal east of Wallace’s Line oleh : Gert D. van den Bergh

Fauna pembawa gajah Neogen Akhir di Indonesia dan implikasi paleozoogeografisnya

Kajian suksesi fauna darat di Sulawesi, Flores dan Jawa, termasuk bukti awal penyebaran hominid di sebelah timur Garis Wallace_Gert D.van den Bergh

 

Di situs prasejarah Toalian dengan Homo sapiens, kita menemukan fauna yaitu sama seperti fauna terkini, meskipun spesiesnya dalam beberapa kasus lebih besar. Kami juga temukan elemen Australia. Fauna Stegodon juga ditemukan di Pintareng Formasi di desa Pintareng, Pulau Sangihe, ujung utara Sulawesi (Aziz, 1990). Stegodon diidentifikasi sebagai Stegodon sp. B af. Trigonosefalus yang lebih kecil dari Stegodon trigonocephalus dari Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Fauna Pintareng merupakan fauna pulau. Hingga saat ini, belum ada hominid yang ditemukan di wilayah ini.

Sumber : Early Dispersal of Man on Islands of the Indonesian Archipelago: Facts and Controls

Awal Penyebaran Manusia di Pulau-Pulau Kepulauan Indonesia: Fakta dan Kontrol https://www.jstage.jst.go.jp › article › ase1993 › _pdf

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Sangihe - Siau - Taghulandang sampai tahun 1939

Fam Makaminan dan Perannya di Masa Lalu