NELWAN KATUUK

 

 

NELWAN  KATUUK

Orang  pertama  yang menciptakan  alat  music  Kolintang Kayu  di  Minahasa

Lahir  di  Tonsea/Minahasa  Utara - Sulawesi Utara pada tanggal 31 Maret 1922.

Menikah  dengan  Susana  Lasut

Meninggal  : 28  Januari 1996

 


Nelwan tidak sebahagia anak-anak lain yang dapat bermain sepuas hati ke mana saja. Dia tidak dapat mengagumi bungabungaan yang menghiasi halaman-haiaman rumah di desanya.

25

Matanya buta sehingga dunia ini seakan-akan gelap saja layaknya. Bahkan dia tidak dapat melihat dan mengenal dari dekat saja, juga kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Asuhan ibu, perhatian ayah, dan kehadiran kakak-kakaknya hanya dapat dihayatinya melalui perasaannya yang berkembang semakin peka. DaJam segala hal dia selalu perlu bantuan keluarganya sehingga benar-benar dia menjadi beban yang harus diperhatikan baikbaik. Beruntunglah Nelwan dilahirkan di tengah-tengah keluarga Kristen yang menghayati serta melaksanakan dengan baik ajaran-ajaran yang termaktub di dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa wajiblah setiap orang melayani serta menghargai dan mencintai sesamanya seperti diri sendiri.

Kenyataan hidup yang pertama yang menyedihkan bagi dia dan keluarganya adalah ketika berurnur tiga tahun, ayahnya meninggal dunia karena sakit. Kalau selama ini Clara mendampingi Yoseph mem bina keluarga mereka yang berjumlah delapan anak. maka sekarang dia sendiri yang harus bertanggungjawab. Dapatlah dibayangkan bagaimana beratnya pikulan seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya. Apalagi masih harus menanggung beban pemeliharaan delapan anak sekaligus. Untunglah sudah ada beberapa kakak Nelwan yang cukup dewasa dan kuat membantunya. Sebagai kakak tertua maka Yulius mau tidak mau mengam bil alih tugas dan tanggung jawab ayah dalam memenuhi nafkah keluarga mereka. Adik-adik Yoseph sendiri tidak membiarkan keluarga kakak tertua mereka yang memiliki banyak anak, bahkan ada yang cacat. Demikian pula halnya dengan adik-adiknya Oara. Pendeknya, kepergian Yoseph harus segera diisi agar keluarga yang ditinggalkannya mampu memantapkan diri.

Nelwan walaupun masih kecil hanya dapat menghayati kepergian ayahnya di tahun 1925 itu di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya juga ia tergugah mendengar nyanyian-nyanyian

~6

yang dikumandangkan dalam suatu upacara kebaktian Kristen yang mengantarkan ayahnya meninggalkan dunia yang fana ini. .Dalam keadaan wajar, tentulah anak berumur tiga tahun memerlukan ternan bermain dan berbagai jenis permainan. Karena ia tidak dapat bermain dengan teman-temannya maka kakakkakakn yalah yang menggantikan kebutuhan itu. Di antaranya Yulius yang dengan penuh perhatian menjaganya sambil hermain-main di waktu senggang. Juga mem berikan jenis permainan yang dirasanya mampu membahagiakan adiknya yang buta ini. Yuliuslah yang membuatkan dan memberikan serta mengajarkannya main suling bambu. Betapa gembiranya hati Nelwan memiliki sebatang suling yang telah mampu dimainkannya pacta sekitar umur lima tahun. Melihat bakat adiknya itu maka Yulius membelikan sebuah harmonika tangan yang dibunyikan dengan cara meniupnya. Suasana rumah menjadi cerah di kala itu.

Dengan mahirnya Nelwan memainkan alat musik suling bambu dan harmonika, maka gairah hidupnya semakin nyata. lbunya juga merasa gembira karena di tengah kesibukannya sehari-hari, kehadiran anak yang walaupun buta tapi pandai main musik merupakan kesan tersendiri yang menyenangkan baginya. Anaknya yang cacat ini bukan semata-mata beban lagi melainkan juga mampu menghibur hati orang tua dan saudarasaudaranya melalui alunan lembut harmonika dan lengkingan irama suling. Kepadanya diajarkan lagu-lagu gereja dan lagulagu rakyat yang hidup pada masa itu. Mulai saat itu maka ke manapun Nelwan pergi, kedua alat musik itu selalu dibawanya serta. Jiwanya mulai menyatu dengan seni musik yang mulai bersemi. Kalau ada la~ yang belum diketahuinya benar, maka tidak segan-segan ia rnipta diajarkan agar dapat dimainkannya kembali melalui kedua alat musik yang dimilikinya itu.

Sumber  Tulisan  dari  Buku NELWAN  KATUUK  SENI  MUSIK  KOLINTANG  MINAHASA  oleh : Drs. Fendy E.W.Parengkuan_1984

 

Pacta masa itu di J)esa Kauditan ada sekolah rakyat yang

27

·~

disebut sekolah Zending. Di antara para gurunya, seorang yang bernama Kalangie yang juga peminat dan pemain musik. Ia memiliki sebuah biola dan mahir memainkannya dengan memikat hati. Alunan suara biola ini sampai ke telinga Nelwan yang semakin gandrung dengan musik itu. Semua warga desa termasuk guru Kalangie maklum bahwa Nelwan yang buta ini memiliki bakat yang luar biasa, walaupun umurnya baru enam tahun. Bagaikan bertemu ruas dengan buku, guru ini mau membina Nelwan sedangkan Nelwan sendiri dengan penuh harapan ingin menguasai cara-cara memainkan biola yang rumit itu. Mulailah dia menerima pelajaran bagaimana cara memainkan alat musik biola dari guru tersebut. Dialah sesungguhnya menyatukan diri dengan seni musik sejak masih kecil. Dalam umur enam tahun, anak kecil yang tidak dapat melihat ini telah mahir memainkan tiga alat musik, yakni suling, harmonika, dan biola. Sungguh suatu bakat yang dapat dibanggakan bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya waktu itu.

Masa antara tahun 1930 sampai masuknya pasukan pendudukan Jepang merupakan masa di mana Nelwan berusaha untuk lebih memaltirkan diri dalam memainkan ketiga alat musiknya itu. Dirinya telah menanjak menjadi remaja dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam dirinya yang cacat. Namun hal tersebut tidak menghalanginya melakukan berbagai kegiatan di rumah, di tengah masyarakat, dan di mana saja karena setiap orang ingin membantunya. Ada yang karena tergugah hati menyaksikan cacat tubuh Nelwan, ada pula yang karena merasa kagum oleh kecakapannya bermain-musik. Walaupun begitu, orang yang senantiasa mengasuh serta menuntunnya ke mana dia pergi adalah ibunya sendiri. Bahkan untuk bekerja di kebun sekalipun, Oara selalu membawa anaknya yang bungsu ini. Bukannya dia tidak percaya anak-anaknya yang lain akan memperhatikan Nelwan, namun nalurinya sebagai seorang ibu menghendakinya demikian. Clara ingin selalu dekat dengan anaknya

28

ini. Hatinya semak.in bangga karena Nelwan sekarang pandai main beberapa jenis alat musik.

Di depan sudah dikemukakan bahwa bagi para petani Minahasa, alat hiburan berupa alat musik yang sering digunakan ketika beristirahat di kebun atau di rumah, antara lain adalah suling. Selain itu mereka juga tahu membuat dan memainkan alat-alat musik lainnya seperti Kalembosan, noolingen, kekentengen, rorondon, talontalod, tetengkoren, dan sebagainya. Selain bahannya dari bambu, ada pula yang dibuat dari rotan, bahkan dari batang padi, Ada yang dapat bertahan lama disimpan, tetapi ada juga yang hanya untuk sekali pakai saja misalnya yang dari batang padi itu. Bahkan ada yang tidak dapat dibawa ke mana-mana karena memerlukan bantuan alur galian di tanah untuk dapat menyembunyikannya. Kesemua alat musik tradisional di atas sekarang ini sebagian besar sudah punah. Tetapi ternyata ada juga yang mampu bertahan antara lain karena pengembangan fungsinya yaitu dari alat hiburan petani menjadi hiasan bahkan dihadirkan dalam acara resmi seperti misalnya tetengkoren. Hal ini sudah dikemukakan di atas.

Selain alat-alat musik tradisional itu, di desa-desa Minahasa berkumandang pula jenis-jenis alat musik sebagai hasil pengaruh kebudayaan luar. Misalnya biola seperti yang cara memainkannya telah dikuasai oleh Nelwan. Dan dalam umurnya yang menanjak remaja itu, semakin banyak pula alat musik yang dikuasainya. Misalnya keroncong yang merupakan pula alat hiburan di mana-mana. Demikian pula dengan alat musik gitar, yang seperti halnya keroncong merupakan alat musik petik yang populer semenjak dulu. Nelwan pun tahu memainkan kedua alat musik tersebut dengan baik. Apalagi karena Yulius sebagai kakaknya yang tertua memiliki sendiri sebuah gitar. Yulius pandai memainkan gitar dan dari dia juga Nelwan belajar sampai mahir. Alat musik keroncong ini ada di mana-mana se-

29

hingga dengan mudah Nelwan dapat meminjam dan belajar memainkannya juga.

Namun satu hal telah menggugah hatinya untuk mengembangkan suatu alat musik. Hal itu terjacli dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Jepang masuk ke Minahasa mulai bulan J anuari 1942, menjelang umumya 20 tahun. Selama itu ibunya selalu membawanya ke mana-mana termasuk kalau pergi ke kebun. Sudah lama Nelwan mendengar bahwa para petani di sana mengetuk-ngetukkan kayu-kayuan di waktu luang misalnya ketika beristiraha t. Ketukan-ketukan itu hanya didengarnya jika berada di kebun mengikuti ibunya. Hatinya tergerak ingin mengetahui lebih jauh mengenai bunyi-bunyian itu. Ibunyalah satu-sa tunya orang terdekat waktu itu. Ia bertanya dari manakah asal bunyi-bunyian itu dan alat atau bahan apakah yang dipakai. Ibunya menjelaskan bahwa bunyi-bunyian itu hanyalah beberapa potong kayu lunak yang diketuk-ketuk sekedar untuk menghabiskan waktu saja. Kegandrungannya pacta bunyi-bunyian itulah yang semakin mendorong hatinya untuk mengetahui Iebih jauh. Hanya melalui telinga saja dia dapat mempersatukan diri dengan lingkunganny a dan kepekaan ini kelak akan membuahkan sesuatu.

Karena selama ini hidupnya terlambat pacta berbagai alat musik yang telah mahir dimainkannya, maka walaupun sejak dulu dia mendengar bunyi-bunyian tadi di kebun, hatinya betum tersentuh untuk mengetahuinya Iebih Ianjut. Tetapi barulah di masa pendudukan Jepang ketika rakyat desa banyak yang mengungsi ke kebun-kebunnya. Nelwan tergugah dengan suara ketukan yang keluar dari batang-batang kayu seperti yang dijelaskan sepintas lalu oleh ibunya. Hal tersebut ditanyakannya pula kepada kakak-kakaknya tetapi jawaban mereka masih belum memuaskan hatinya. Sementara itu suara-suara ketukan kayu itu semakin memukau, sehingga walaupun beracla di ru-

30

mah, suara-suara alunan itu seperti terngiang-ngiang di telinganya. Nelwan memutuskan untuk mengetahui lebih lengkap lagi mengenai hal tersebut.

Kesempatan itu diperolehnya di kebun ketika ibunya membawanya ke sana lagi. Sementara ibunya beristirahat, maka hal itu ditanyakannya lagi. Nelwan sekarang memerlukan keterangan yang mendetail mengenai alat tersebu t. lbunya sadar bahwa darah seni mengalir deras dalam diri anak yang cacat ini. Oleh karena itu maka mulailah dia berceritera mengenai hal ikhwal bunyi-bunyian yang dikehendaki oleh Nelwan. Hal tersebut diceriterakannya kembali kepada penulis dalam suatu kesempatan bcrwawancara di rumahnya di Kauditan II. Jbunya mengatakan bahwa bunyi-bunyian itu bersal dari suatu alat yang dinamakan kolintang oleh para petani Minahasa waktu itu. Ketika itu kolintang baru berupa empat atau lima potong kayu, yang dipakai adalah jenis kayu lunak yang dikeringkan. Setelah kering benar, maka kayu lunak yang ringan itu siap mengeluarkan bunyi-bunyian yang terasa aneh di telinga Nelwan waktu itu. Adapun jenis kayu yang baik untuk ko/intang adalah kayu manderan atau wanderan. Kalau sudah kering benar, maka potongan-potongan kayu itu diletakkan melintang di atas sepasang batang pisang yang diatur sejajar. Untuk mengetuk dipakai sepotong kayu atau ranting, perbedaan ketebalan dan panjangnya potongan kayu, menentukan nada yang akan keluar. ltulah keterangan ibunya kepadanya.

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya maka Nelwan, pemuda buta yang berjiwa seni itu, meminta bantuan ibu dan kakaknya untuk membuatkan alat musik kolintang untuknya. Karena hutan-hutan sekitar kebun mereka banyak ditumbuhi dengan kayu menderen, maka tentu saja ibu dan kakaknya menyanggupi permintaannya itu. Beberapa hari kemudian, Nelwan duduk di pondok kebun mereka menghadap

31

kolintang yang siap unruk dirnainkan. Di tangannya a<la sepotong ranting sebesar jari yang berfungsi sebagai alat pemukulnya. Kakaknya, Yulius, yang sekali lagi bertindah mengjarkannya cara<ara memukul dan memainkan alat tersebut. Sekali saja diajarkan tahulah Nelwan cara memainkannya. Apalagi hanya lima potong kayu yang jaraknya diatur di atas dua batang pisang. Dengan tangannya Nelwan dapat mengetahui letak yang tepat dari kelima potongan kayu itu dan segera menguasai nada yang sederhana yang timbul setelah dipukul-pukulkan sepotong kayu di tangannya.

Untuk sementara waktu, Nelwan melupakan berbagai alat musik yang telah dikuasainya, perhatian dan minatnya tertambat untuk menekuni alat musik baru yang dibuatkan untuknya itu. Kolintang ternyata memiliki rangkaian nada yang dapat diatur sedemikian rupa kalau saja dia dapat menanganinya sendiri cara pembuatannya. Ide itu muncul dalam benaknya setelah puas memainkan alat tersebut hari itu . Di rumahnya, hampirhampir dia tidak dapat tertidur karena memikirkan bagaimana kalau kelima potongan kayu itu ditambah. Nada apakah yang akan muncul dan dapatkah itu dipakai untuk mengiringi berbagai jenis lagu yang diketahuinya sejak masa kanak-kanak. Kelima potong kayu tadi seperti kedengaran sumbang. Mungkinkah karena hanya diletakkan di atas batang pisang yang mengandung air dan keras. Begitu antusiasnya dia menggeluti hal tersebut. Ini pula yang mendoro~gnya untuk mengusulkan peningkatannya kepada ibu dan kakaknya. Nelwan hanya memerlukan bantuan mereka untuk menyediakan potongan-potongan kayu menderan lebih banyak.

Tahun 1942 adalah tahun yang penuh perjuangan bagi Nelwan. Dengan penuh kesungguhan ia duduk menghadapi dua batang pisang yang diletakkan sejajar di mana di atasnya ada potongan kayu manderan yang semakin banyak. Potongan-

32

potongan kayu itu disediakan oleh kakaknya sedangkan ibunya mendampingi dia untuk membantu memilihkan bentuk yang dikehendakinya. Onggokan kayu manderan yang telah dikeringkan itu begitu banyak sehingga memerlukan waktu dan ketelitian mata untuk memilihnya agar ditemukan nada yang tepat. Betapa sulitnya bagi seorang buta yang ternyata memiliki bakat daya cipta ini. Tetapi ia tidak mengenal menyerah. Keuletannya itu ditunjang sepenuhnya oleh ibu yang semakin bangga dan memperhatikannya setiap waktu. Bagi orang yang dapat melihat, tentu tahu membedakan mana siang dan mana malam. Tidak demikian halnya dengan Nelwan. Malam hari pun ia mau saja terus berusaha kalau tidak diperingatkan oleh ibunya itu.

Berkat ketekunannya maka Nelwan berhasil menyusun tujuh potongan kayu yang mewakili satu oktaf nada. Ia masih terus saja berusaha sehingga jerih payahnya menghasilkan 18 potongan kayu yang mewakili lebih dari dua oktaf. Dengan begitu maka sekarang lebih leluasalah ia memainkan hampir semua jenis lagu, kecuali yang bernada setengah. Tanpa disadari oleh siapa pun, seorang pencipta musik kolin tang yang mem buka pengembangan lebih lanjut telah muncul. Nelwan bagaikan bual1 padi di sawah yang tumbuh diam-diam, berbuah untuk kemanfaatan manusia sekelilingnya. Jari-jari tangannya penuh bekasbekas sayatan pisau raut yang dipergunakan untuk menyetel kolintangnya itu. Hal ini karena ia sendiri yang merau t batangbatang kayu manderan untuk mendapatkan nada yang sesuai. Penemuannya yang masih kasar itu dibawa pulang dari kebun ke rumahnya. Semakin banyak orang yang kagum terhadap dirinya dan semakin harumlah namanya di desanya sendiri.

Alat musik yang dirasa aneh itu memikat banyak warga desa untuk melihat bagain1ana caranya Nelwan memainkannya. Setelah mereka lihat, tahulah mereka bahwa alat itu tidaklah

33

aneh karena setiap petani dapat membuatnya sendiri walaupun secara sangat sederhana di kebun-kebun mereka. Namun demikian, rasa ingin tahu mengajak mereka untuk menyaksikan sendiri alunan lagu yang dimainkannya. Bahkan potongan kayu pemukul tidak lagi hanya satu melainkan telah dijadikan sepasang oleh Nelwan, untuk lebih menyerasikan bunyi yang muncul. Karena melihat bahwa belasan potong kayu itu masih diletakkan di atas dua batang pisang sejajar, maka ada seorang tua yang menyarankan cara lain. Nelwan menjelaskan kepada penulis bahwa orang tua itu menyarankan kepadanya agar belasan potong kayu kolintang itu dilt:takkan di atas sebuah peti.

Saran di atas dirasa baik sekali oleh Nelwan, namun peti yang bagaimanakah yang bidang atasnya cukup luas untuk ternpat menjajarkan belasan potong kayu tersebut. Untuk membuat sebuah peti yang cocok tentulah membutuhkan waktu yang lama bagi seorang tukang kayu. Secara berkelakar orang tua tadi menyarankan bagaimana kalau diletakkan saja di atas peti jenazah. Semua yang hadir tertawa mendengarnya namun Netwan sendiri di dalam hatinya menyetujui saran tersebut. Sebagaimana diketahui pada waktu dulu, setiap desa memilik.i semacam organisasi sosial untuk membantu warganya yang meninggal dunia. Ada juga kebiasaan bagi para orang tua untuk menyediakan lebih dahulu peti mati untuk menjaga kemungk.inan sewaktu-waktu meninggal, tidak lagi sibuk membuatnya. Jadi selalu ada tersedia peti mati yang siap untuk dipakai di manamana. Tapi siapakah yang sudi meminjamkan peti matinya untuk maksud yang lain. Untung saja ada orang mau sehingga peti mati tersebut diangkut kerumahnya Nelwan. Bagian peti mati itu ternyata cukup luas untuk menampung belasan kayu tersebut. Nelwan lalu duduk di atas kursi dengan memegang dua penggal kayu di kedua tangannya. Dengan disaksikan oleh keluarga dan warga desa lainnya, mulailah dia menunjukkan kebolehannya memainkan kolintang waktu itu.

34

Namun Nelwan yang terbiasa memainkannya di atas batang pisang merasa agak kurang puas. Ternyata bunyi ketukan di atas batang pisang masih lebih baik daripada di atas peti kayu. Mungkinkah karena batang pisang memiliki daya pegas sehingga potongan kayu di atasnya dapat bergetar lebih baik, belumlah terpikirkan olehnya. Telinganya yang tajam mendengar bahwa ketukan di atas kayu menimbulkan bunyi yang ganda dengan dinding peti mati itu. Harus ditemukan cara yang tepat untuk menghilangkannya. Memang suara ketukan jadi lebih menyatu karena pantulan dari dinding dan dasar peti yang juga turut bergetar. Namun sebaliknya hal itu jadi meng~ ganggu keharmonisan bunyi. Lalu datanglah suara pendengar yang menyarankan bahwa barangkali bunyi akan lebih baik kalau tepi peti itu dialas dengan guntingan karet ban dalam mobil. Usul itu segera di terima dan potongan karet itu dipakukan di situ.

Dernikianlah pengalaman Nelwan dalam tahap-tahap permulaan mengembangkan alat mu~ik kolintang ini. Hal yang patut dicatat di sini adalah jasanya yang mengangkat musik sederhana dari kebun ke desa untuk menjadi alat hiburan bagi masyarakat setempat. Aplagi ia sebagai seorang buta yang karena keterbatasannya itu, tidak akan mampu berbuat apa-apa yang patut dihargai orang lain. Keluarga Katuuk telah berhasil mengangkat nama baik mereka dengan munculnya Nelwan sebagai pengembang seni dan alat musik kolintang di kalangan masyarakat desa mereka. Ada semacam kepuasan batin bagi Nelwan dengan penemuannya itu yang hanya ia sendiri yang mampu merasakan getarannya.

35

BAB Ill NELWAN KATUUK DAN SENI MUSIK

Setelah menguasai seni musik serta mampu membuat atau menyetel kolintang, maka mulai saat itu, keterampilan Nelwan dalam penguasaan alat-alat musik bertambah. Bahkan sebagai seorang pemuda yang buta, ia patut bangga karena mampu menguasai alat-alat musik lainnya sebelum menemukan kolintang. Ditambah dengan penguasaannya dalam memainkan alat musik yang baru ini. maka kebanggaan itu cukup beralasan. Tetapi seorang pemuda yang rendah hati seper ti dia tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang istimewa dan harus disombongkan kepada siapa saja. Tambahan pula ajaran agama melarang sifat yang demikian itu.

Sudah dijelaskan di depan, bahwa Minahasa sejak awal tahun 1942 sudah diduduki oleh tentara Jepang. D~ngan demikian maka pasukan pendudukan itu menghendaki agar seluruh rakyat diikutsertakan dalam kegiatan mempopulerkan bahasa dan kebudayaan mereka. Lagu-lagu dalam bahasa Jepang berkumandang di mana-mana. Anak-anak sekolah diajar menyanyikan lagu-lagu Jepang, dengan maksud untuk membina mereka dalam semangat dan kebudayaan Jepang. Dalam banyak hal maksud-maksud tersebut berhasil mempengaruhi masyarakat

36

luas. Hal inipun terlihat di Kauditan, desa di mana Nelwan bertempat tinggal selama hidupnya. Lagu-lagu Jepang dinyanyikan oleh anak-anak, baik di sekolah, di jalan, maupun di rumahrumah. Nelwan yang memiliki bakat menghafal yang kuat, mampu menghafal di luar kepala sejumlah lagu dalam bahasa Jepang. Bahkan dia sendiri mencoba memainkannya di atas kolintang sehingga alat itupun turut lebih mempopulerkan nyanyian-nyanyian terse but. Dijelaskannya kepada penulis bahwa lagu Jepang pertama yang dimainkannya dengan baik melalui alat musik kolintang adalah lagu yang mulai dengan kata-kata "Miyo Tokai no': Pada masa itu lagu-lagu Jepang disusun secara sederhana sehingga setiap orang dapat membawakan setidaktidaknya dengan bersenandung. Apalagi lagu-lagu itu bertempo mars sehingga mampu membangkitkan semangat kerja dan semangat juang, bahkan bagi orang yang tidak mengerti artinya sama sekali.

Hal itu pun dialami oleh Nelwan. Pada waktu itu ia sama sekali tidak tahu berbahasa Jepang sehingga lagu-lagu yang dimainkannya di atas kolintang hanya diikuti dengan senandung saja. Karena itu ia dibantu oleh anak-anak serta mereka yang tahu membawakan kata-katanya. Kalau ada orang yang menyanyikan lagu-lagu maka dapatlah dia lebih berkonsentrasi me- 'mainkan kolintang serta alat-alat musik lain yang telah dikuasainya. Suasana desa yang dulu sunyi itu menjadi hidup berkat kehadiran Nelwan yang penggemar musik ini.

Secara tidak disangka-sangka, kemahirannya memainkan kolin tang itu menarik perhatian orang-orang Jepang yang juga berada di desa itu. Mereka mendengar sendiri bagaimana lagulagu mereka dimainkan secara indah sekali oleh Nelwan. Alat musik yang dipakainya pun amat menarik perhatian karena baru sekali itu mereka melihat bahwa ada semacam alat musik yang dapat dibuat dari penggalan kayu. Jepang yang sedang berusaha memperbaiki citra mereka di kalangan rakyat Minahasa, dengan

37

cepat sekali melihat potensi yang dimiliki oleh pemusik buta ini. Alat yang baru ini pasti akan memikat hati kalangan masyarakat dari mana ia sendiri berasal. Nelwan diundang untuk mengisi acara melalui radio Jepang di Manado mulai tahun 1943. Ia diminta memainkan kolintang untuk mengiringi lagulagu Jepang yang akan dikumandangkan melalui radio. Suatu babak baru muncul dalam hidupnya.

Ternyata bukan saja bangsa sendiri yang menghrgai karya yang dengan susah payah diusahakannya walaupun dia seorang penyandang cacat. Orang-orang Jepang yang waktu itu berstatus sebagai pasukan pendudukan juga mau memberikan penghargaan karena Nelwan akan ditugaskan untuk mengisi siaran radi mereka. Tetapi bagi Nelwan sendiri, hal tersebut merupakan suatu kesempatan berharga yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Tambahan pula, apakah untungnya membangkang terhadap tentera pendudukan yang terkenal kejam selama ini. Ia sendiri belum pemah secara fisik mer~sakan bagaimana kejamnya mereka. Tetapi semua hal tersebut dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya karena dorongan penyalurnya bakat seni lebih berkuasa dalam dirinya.

Dengan demikian maka berangkatlah Nelwan ke Manado untuk pertama kalinya. Untuk pertama kali pula ia keluar desa kelahirannya, dan bukan atas kehendak sendiri pula. Pada waktu itu tidak ada mobil angkutan umum seperti sebelumnya yang memudahkan orang-orang bepergian ke mana-mana. Bahan bakar mobil lenyap dari pasaran sehingga hanya mobil-mobil milik pemerintah pendudukan yang lewat sekali-kali di Kauditan. Orang-orang lain yang hendak bepergian ke tujuan masingmasing, terpaksa harus membawa kendaraan sendiri berupa gerobak yang di Minahasa disebut roda. Kendaraan angkutan tradisional ini, ada yang ditarik oleh kuda, ada pula yang dihela oleh sapi. Yang ditarik oleh kuda biasa disebut roda kuda se-

38

dangkan yang oleh sapi disebut roda sapi. Menilik jenisnya, ada yang dinamakan roda tada karena tidak dilengkapi dengan per mobil bekas, dan ini biasanya ditarik oleh sapi. Yang disebut roda fer adalah gerobak yang mempergunakan per untuk mengurangi goncangan, dan ini biasanya ditarik oleh kuda.

Dengan demikian maka bagi Nelwan yang hendak ke Manado, tidak tersedia kendaraan angkutan selain roda. Dengan ditemani oleh saudaranya yang laki-laki dan beberapa orang lain, berangkatlah mereka ke Manado dengan mengendarai gerobak yang ditarik oleh sapi. Jarak antara Kauditan dengan Manado waktu itu sekitar 30 kilometer. Perjalanan itu akan melewati beberapa desa yang sekaliannya disebut Minawerot, untuk tiba di Airmadidi. Sesudah itu mereka akan melewati desa Sukur, Maumbi, Kairagi, untuk tiba di pinggiran Timur kota Manado. Tikala waktu itu merupakan bagian desa di pinggiran timur kota ini. Di desa itulah Jepang mendirikan satu pemancar radio, sehingga ke sanalah tujuan rombongan kecil ini. Perjalanan sekitar 12 jam itu mereka tempuh pada malam hari untuk menghindari teriknya matahari.

Betapa penatnya Nelwan ketika itu karena diguncangguncangkan gerobak yang dikendarainya. Matanya yang buta menghalangi dia menikmati pemandangan sepanjang jalan. Seperangkat alat kolintang turut pula dibawa bersarnanya. Selain itu ada sebuah gitar selaku pengiring dan sebuah alat musik bas. Ketiga alat musik ini untuk pertama kalinya membentuk suatu orkes kolintang carnpuran yang akan menyemarakkan lagi-lagi dalam bahasa Jepang melalui radio tentara pendudukan. Apakah artinya semua ini bagi kita sekarang? Setidak-tidaknya tampak adanya perpaduan antara alat-alat musik Barat dan alat musik tradisional yang didarnpinginya. Dan itu dipadukan untuk mengumandangkan lagu-lagu dari suatu bangsa yang sementara bertindak selaku penjajah. Temyata musik yang lem-

39

but itu mampu menerobos batas-batas kultural dan pandangan hidup yang melekat dalam kepribadian bangsa manapun juga. Dan sadar ataupun tidak, Nelwan telah turut menyum bangkan sesuatu bagi keindahan yang universal ini.

Dalam pada itu Nelwan berhasil menyelesaikan tugasnya mengisi acara siaran radio Jepang pagi hari sek.itar jam delapan. Rasa kantuk dan lelal1 dikalahkan oleh gairah, semangat, dan kegembiraannya dapat memainkan kolintang. Ada sedikit penjelasan dari penyiar mengenai alat musik kolintang dan siapa pemainnya, sehingga para pendengar radio memaklumi hal tersebut. Sejak saat itu maka nama Nelwan tidak dapat dipisahkan dari musik kolintang terutama bagi para pendengar di kalangan suku bangsa Minahasa. Sampai saat itupun Nelwan belum sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi. Kesan mendalam yang masih membekas hanyalah perasaan puas karena memperoleh sarana penyaluran bakat seninya dan ia akan semakin mantap dalam penguasaan berbagai alat musik dan perpaduannya.

Bukan hanya sekali itu Nelwan diminta mengisi siaran di radio Jepang atau Kosokyoku di Manado. Masih dua kali lagi dengan jarak waktu yang cukup lama, sehingga dengan demikian, tiga kali tersedia kesempatan baginya untuk mempopulerkan musik kolin tang melalui radio. Semakin lama namanya menjadi semakin tenar di kalangan masyarakat, demikian pula lagu-lagu Jepang, lagu-lagu bahasa Indonesia, bahkan lagulagu bahasa daerah yang dibawakan oleh orkesnya itu. Dalam ketiga kesempatan tersebut, lagu-lagu yang berbahasa daerah semakin memukau para pendengar karena terbangkitlah kegairahan mereka akan keindahan lagu-lagu dalam bahasa mereka sendiri. Biasanya lagu-lagu demikian tidak pernah memperoleh kesempatan untuk disiarkan melalui radio dalam masa penjajahan Belanda (karena di Manado belum didirikan pemancar radio pada waktu itu). Jepang datang dan memperkenankan

40

lagu-lagu bahasa daerah berkumandang melalui radio. ltu terjadi berkat hadirnya seorang seniman buta yang berhasil mengangkat musik kolin tang ke gelanggang seni musik, berdampingan dengan alat-alat musik lainnya yang sudah lebih dulu dipopulerkan.

Banyak juga yang dialami oleh Nelwan dalam masa pendudukan Jepang. Dari wama desanya ia mendengar bahwa Jepang mengerahkan tenaga rakyat untuk mengerjakan jalan raya yang melalui desa itu menuju ke Kema. Jalan itu melalui depan rumahnya sendiri. Kebetulan pada waktu itu dikerahkan rombongan pekerja yang disebut giliran yang didatangkan dari Amurang, kota pelabuhan di bagian Minahasa Selatan. Dalam waktu istirahat, ada seorang di antara kelompok giliran itu yang bertamu ke rumahnya. Orang itu ingin menemui Nelwan dan memperkenalkan diri bernama Eddy Wartz. Ia sempat mendengar adanya musik kolintang dan nama Nelwan yang memainkannya melalui radio. Orang itu menceriterakan bahwa ia sesungguhnya juga berkat musik yaitu sebagai pemain musik bambu yang mahir. Selain itu ia juga banyak menciptakan lagu. Diajaknya Nelwan untuk bekerja sama menciptakan lagu, yang dapat diiringi oleh musik bambu, kolintang ataupun alat-alat musik lainnya.

Nelwan berpikir bahwa tidak ada jeleknya menerima tawaran itu. Mulai saat itu keduanya bersahabat baik dan bekerja sama menciptakan lagu-lagu. Lagu-lagu ya ng mereka ciptakan dalam bahasa Jepang karena Eddy menguasai bahasa tersebut. Nelwan mengusahakan agar sesuai den gan berbagai alat musik yang ada. Pemerintah pendudukan kemudian membebaskan Eddy dari tugas-tugas menjadi anggota giliran dan bersama Nelwan, keduanya sekarang ditugaskan mengarang syair-syair dan lagu-lagu bah'asa Jepang untuk kepentingan propaganda. Dalam latihan-latihan di Kaduitan, keduanya memadukan alat

41

musik kolintang yang diiringi oleh tiga gitar serta satu musik bas. Mulailah orkes mereka meramaikan desa tersebut Keduanya sangat gembira karena diberikan keleluasaan yang besar untuk mengembangkan seni musik oleh pemerintah pendudukan yang merupakan penyaluran bakat masing-masing.

Menjelang kekalahan tentara pendudukan Jepang menghadapi Sekutu maka pemerintah pendudukan Jepang meninggalkan kota Manado lalu memusatkan pemerintahannya di kota Tondano, terutama mulai Oktober 1944. Berbagai usaha dijalankan untuk menghadapi kemungkinan pendaratan tentara Sekutu, antara lain dengan pendidikan lobang-lobang pertahanan dan menara-menara radar pelacak pesawat musuh. Nelwan merasa heran sekali ketika ia ditawarkan pekerjaan oleh pemerintah pendudukan untuk menjadi penjaga salah satu radar yang ditempatkan di Kakaskasen,Tomohon. Setelah dijelaskan bahwa radar mereka mengandalkan bunyi sebagai tanda akan datangnya pesawat musuh, maka Nelwan mau menerimanya. Ia diberangkatkan dengan mobil ke Kakaskasen lalu bekerja di situ sekitar empat bulan. Kalau di desan ya ia dipanggil Nel sehariharinya, maka orang-orang Jepang memanggilnya Neru. Nelwan diberikan gaji setiap bulan ditambah rangsum sebanyak dua karung beras. Penghasilannya itu telah turu t meringankan beban keluarga terutama ibunya, dalam masa-masa di mana makanan sulit didapat.

Semenjak masih bayi, ia selalu tergantung dari orang lain. Dan dalam keadaan demikian, amatlah besar peranan ibu. Hal ini senantiasa menguasai pikirannya. Tidak dapat dibayangkan cara yang sebaiknya dilakukan sebagai cara untuk menyatakan rasa terima kasih tak terhingga kepada ibunya itu. Pada suatu malam, tiba-tiba Nelwan terbangun dan mulai bersiul. Ibunya heran mengapa malam-malam bennain suling. Tetapi dijelaskannya bahwa dia bennimpi dan memperoleh ilham untuk mengarang satu lagu sebagai pemyataan terima kasih. Esok paginya ia

42

bangun lalu meminta bantuan kakaknya untuk rnenuliskan syair yang didiktekannya. Syair itu dalam bahasa daerah dan diber judul "0 Mamaku ". Inilah lagu pertama yang diciptakannya sendiri. Sebuah lagu sebagai tanda terima kasih kepada ibunya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1943 dalam masa pendudukan Jepang. Segera lagu itu dipadukannya dengan rnsuik kolintang.

Setelah ciptaannya yang pertama itu, maka berturut-turut lahirlah lagu-lagu ciptaannya sendiri, an taralain yang berjudul "UngJ...'Uanu Aku Rawoy". Kalau dalam lagu pertama, ia mengungkapkan rasa terima kasih kepada ibunya, maka dalam lagu ini ia teringkat akan sendiri sebagai seorang pemuda yang rnenanjak dewasa. Dalam keadaan wajar banyak ternan-ternan sedesa yang sebayanya telah kawin. Ia sendiri tidak dapat rnembayangkan bagairnana pacta suatu hari kelak dapat ia rnenikah. Namun dorongan jiwanya begitu kuat sehingga rnelalui ilham yang diterimanya sewaktu tidur diciptakannya lagi tersebu t. Lagu itu pacta intinya rnerupakan persiapan mental baginya kalau ia kawin dan suatu ketika isterinya rnenyeleweng dan berniat rneninggalkannya. Nelwan rnenjelaskan kepada penulis bahwa sejak pengalamannya yang pertama itu, rnaka setiap lagu selalu rnuncul rnengilhaminya sewaktu tidur di rnalam hari. Dalam keadaan begitu, ia lalu bangun, bersiul, lalu esoknya menulis syair. Selesai itu lagu yang baru dimainkan sendiri dengan mempergunakan alat-alat rnusik terutama kolintang.

Lagu lainnya adalah yang berjudul Jam Pukul Lima. Sebenarnya lagu ini rnerupakan salah satu nyanyian para petani di desanya yang berangkat ke kebun untuk bekeija. Hanya saja katak-katanya tidak teratur dan pengalimatannya kurang baik. Nelwan yang tertarik dengan lagu ini, meminta rnereka untuk bersenandung. Setelah tahu nadanya, rnaka ia lalu menyelesaikan kata-kata dalam bentuk kalimat dalam bahasa daerahnya. Lagu apapun yang berhasil diciptakannya selalu dimainkan dengan rnempergunakan alat musik kolintang. Ternyata rnusik

43

kolintang akan lebih berkesan hila dipakai mengiringi lagu-lagu dalarn bahasa daerah hila dibandingkan dengan lagu-lagu dalarn bahasa lain. Inilah yang membuatnya semakin bergairah mertGiptakan lagu-lagu tersebut. Begitu banyak yang telah diciptakannya sehingga ia sendiri sekarang tidak marnpu mengingatnya lagi.

Saat yang paling berkesan baginya terjadi pada tahun 1950. Ketika itu Nelwan sudah berusia 28 tahun, telah menjadi seorang pemuda matang. Tetapi siapakah yang mau menikah dengannya? Walaupun narnanya tenar· tetapi tubuhnya cacat. Untunglah ada orang tua sarani yang juga bibi atau tan tenya, bernama Ferdina Turnatar, saudara perempuan ibunya. Berkat jasa tantenya ini, maka Nelwan diperkenalkan dengan seorang gadis yang berasal dari desa lain yakni Desa Pineleng. Desa itu sekarang ini menjadi pusat Kecamatan Pineleng, di sebelah selatan Kota Manado. Gadis tersebut bemarna Susana Lasut yang sehari-harinya dipanggil Rameng oleh keluarganya.

Dari perkawinan mereka pada tahun 1950, lahirlah anak mereka yang pertama yang diberi nama Yantje, seorang bayi laki-laki. Sayang sekali anak pertama ini tidak berumur panjang Baru seminggu lahir, anak tersebut meninggal dunia. Betapa sedih hati mereka tidak terperikan karena kehilangan anak pertama yang menjadi buah perkawinan itu. Barulah dua ta·hun kemudian lahir anak kedua. Anak laki-laki ini diberi nama Albert yang lahir tahun 1953. Anak ketiga mereka adalah searang perempuan, yang lahir pada tahun 1955 dan diberi nama Mieke. Ia sekarang sudah mempunyai dua orang anak bemama Rommy dan Jimmy. Baru kedua anak itulah yang merupakan cucu Nelwan dan isterinya. Bertahun-tahun larnanya Rameng tidak lagi mengandung sehingga mungkin hanya itulah anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Narnun secara tidak terduga, tahun 1962 Rarneng mengandung dan tahun berikutnya, lahirlah seorang bayi perempuan. Anak keempat ini diberi nama

44

Rachel. Kebetulan pada waktu itu ada sepasukan tentara yang clitempatkan di Kauclitan. Mereka berasal dari Jawa Timur. dan bersahabat erat dengan Nelwan. Karena Rachel lahir tanggal 1 Juni 1963, maka salah seorang anggota tentara memberinya nama Eka Yuniwati. Karena itu Rachel sehari-harinya dipanggil Eka sekarang ini.

Barangkali ada orang yang seakan tidak segera akan percaya atau memahami kenyataan-kenyataan di atas. Bagaimana tidak. Seorang pemuda buta yang hidupnya dapat dikatakan sangat tergantung dari perhatian orang lain, akhirnya memperoleh gaclis yang mencintai bahkan mau kawin dengannya. Nelwan memiliki isteri yang mencintai serta memberikan beberapa orang anak peadanya. lsteri dan anak-anaknya inilah yang menggantikan peranan ibu dalam masa-masa hidup Nelwan selanju tnya. Semuanya memberikan andil yang berharga kepada Nelwan untuk tents berkecimpung dalam bidang seni musik. Bal1kan penguasaannya dalam berbagai alat musik semakin bertambah berkat dorongan semua anggota keluarganya.

Di depan sudah dise butkan bahwa Nelwan mahir memainkan beberapa jenis alat musik sejak kecilnya seperti suling. harmonika, dan gitar. Kemudian ia berhasil mengem bangkan alat musik kolintang semasa pendudukan Jepang. Dalam m asa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1947 Nelwan sangat ingin memiliki sebuah alat musik lain yaitu yang disebut hawaiian gitar. Alat ini milik Landy Dumalang yang baru pulang dari luar negeri. Orang asal desa Paslaten Tonsea ini, mau menjual barang tersebut bersama amplifier. Karena itu Nelwan mendesak ibunya agar menjual sebuah kebun kelapa untuk membayar barang-barang tersebut seharga 300 gulden. Karena sudah menjadi milik sendiri, tidak memerlukan waktu lama baginya untuk dapat memahirkan diri. Sebelum itu menjelang masuknya Jepang, ia belajar piano dari guru piano Hengky

45

Pelengkahu di Airmadidi. Tetapi baru tiga minggu belajr, pecahlah perang. Namun akhirnya alat musik ini pun dikuasainya dengan baik.

Pada tahun 1980 banyak alat musik yang mahir dikuasainya se1ain alat-alat yang sudah disebutkan di atas. Nelwan dapat memainkan akordion, dimu1ai dengan meminjam alatnya milik ke nalannya di Desa Kawiley, Tonsea. Ketika antara 1958-1961 Minal1asa dilanda pergolakan PERMESTA, pemerintah mendatangkan banyak ten tara dari tempat-tempat lain untuk melawan gerakan itu. Ada beberapa batalyon yang silili berganti ditempatkan di Kauditan. Di antara anggota dari berbagai batalyon itu, ada yang gemar musik sehingga selalu membawa-bawa alatnya walaupu n di tempat bertugas. Antaranya Letnan Suradji dari Yon 525/ Brawijaya yang pandai memainkan terompet jazz. Tiga minggu lamanya Ne1wan belajar dan sesudah itu, ia lebih maltir dari gurunya. Bahkan ia pemah diangkat menjadi pelatih ala t-alat musik keroncong dan terompet jazz untuk Yon 342 dan 525. Selanjutnya antara 1962-1963, e1wan belajar saxofon dari seorang anggota Yon 509 yang baru pulang bertugas di frian Jaya. mayor S1amet yang menjadi gurunya, harus mengakui keunggulan e1wan sesudah be1ajar dua minggu saja. A1at musik organ ada1ah yang terakhir dikuasainya pada talmn 1980.

Ala t irti milik Gereja Pentakosta di Kauditan I di mana dia menjadi anggotanya sejak taJllln 1952.

Perlu diketahui bahwa semenjak 1ahir sampai kawin dan beroleh seorang anak, Nelwan adalah anggota GMIM. Tetapi di antara anggota keluarganya yang lain, ada yang sudah pindal1 menjadi anggota organisasi gereja pentakosta. Namanya Hendrik yang te1ah menjadi pemimpin jemaat yang dinamakan Gembala di gereja itu. Da1am semua kebaktian organisasi ini mempergunakan alat-alat musik untuk mengiringi nyanyian, sedangkan GMIM belumlah lasim menggunakannya. Salah satu hal menga-

46

pa Nelwan pindah menjadi anggota GMIM adalah ketika anaknya yang pertama meninggal, maka untuk menghibumya, kakaknya mengajak bermain musik di gereja tersebu t. Lama kelamaan dia menyenangi permintaan untuk terus bermain musik di gereja. Lalu bersama isterinya, mereka beralih menjadi anggota Gereja Pantekosta.

Setelah tiga kali mengisi acara melalui siaran radio Jepang, maka dalam masapemerintahan NIT, Nelwan juga diminta untuk mengisi siaran radio NIROM. Pada waktu itu Iokasi studionya tidak di Tikala sebagaimana halnya radio Jepang, melainkan di Sario di kota Manado. Beberapa kali ia diminta melakukannya dan dalam semua kesempatan selalu dimunculkannya o rkes musik kolintang campuran yang semakin dikuasai cara memainkannya itu. Ia sendiri yang selalu memainkan alat kolintang, diiringi oleh teman-temannya yang memainkan gitargitar dan musik bas. Ada yang dimainkan secara instrumentalia. dan ada yang merupakan pengiring penyanyi lagu-lagu daerah. Walaupun Radio NIROM merupakan milik Belanda yang sering digunakan untuk tujuan propaganda kehadirannya kembali di Indonesia, tujuan Nelwan hanya untuk menyalurkan bakatnya sambil mempopulerkan musik kolintang untuk hiburan segar bagi masyarakat luas.

Oleh radio NIROM Nelwan dikontrak sejak 1946 untuk mengisi acara-acaranya. Kontrak ini berlanjut terus sete1ah radio tersebut menjadi milik Pemerintah RI tahun 1950, yang berlangsung sampai tahun 1958. Pada tahun itu Nelwan sendiri memutuskan untuk menghentikan kontraknya, karena ingin 1ebih mengembangkan bakat dengan membina secara penuh orkesnya di desa. Langkah awal dalam pembinaan itu adalah dengan membentuk orkes kolintang campuran dan diberinya nama "Nasib" pada tahun 1951. Orkes ko1intang campuran inilah yang dapa t dianggap menjadi cikal bakal dari beberapa orkes

47

lain yang dipirnpinnya. Nama orkes pertama ini dipakai untuk mengenangkan nasibnya sebagai seorang buta. Sayang sekali orkes itu terpaksa dibubarkan tahun 1958 tatkala daerah ini di- 1anda pergolakan PERMESTA. Nelwan menemui banyak kesu- 1itan untuk meneruskannya karena banyak anggotanya yang terpaksa menyingkirkan diri ke tempat-tempat lain.

Pengalaman pertama keluar Minahasa adalah ketika tahun 1957 orkesnya diundang ke Surabaya. Pada waktu itu sedang dilangsungkan Kongres Pemuda di sini. Dengan penumpang KM Prambanan, berangkatlah kelompok musik dan rombongan utusan pemuda dari Manado. lrulah untuk pertama kalinya orkes kolintang "Nasib" melakukan debutnya di luar Minahasa. Nelwan berangkat didampingi oleh isterinya yang dengan setia sela1u menyertainya kemanapun Nelwan pergi. Dalam pertemuan pemuda seluruh Indonesia waktu itu, dikumandangkan- 1ah orkes musik ko1intang yang berhasil memikat para pendengamya. Nelwan senang sekali dengan suksesnya pada waktu

i tu. Perasaan hati yang sedih merunggalkan kampung halamannya menjadi hilang.

Memang sesungguhnya perasaan demikian menyertainya di saat-saat pertama kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Manado.Teringa tlah dia akan kawan-kawan dekat yang namanamanya hanya dikenal melalui suara mereka saja. Entah apa yang sedang mereka lakukan sepeninggal dirinya. Apakah mereka juga inga t akan halnya sekarang? Hal ini mendorongnya untuk mengarang sebuah Jagu semen tara kapal berlayar menuju Surabaya. Lahirlah lagu yang diberi judul "Woo Mengura-ngura" Lagu itu mengisahkan perasaan hatinya yang seakan direnggu tkan dari kehangatan pergaulan ramah teman-temannya di desa. Mata seorang buta kadang-kadang lebih tajam daripada yang melek. Perasaannya jauh lebih peka pula . Tidak dapat ia menyaksikan keindahan yang membiru. mengalun dan mengombak

48

di mana kapal yang ditumpanginya berlayar. Tetapi suara hatinya berkata bahwa semuanya itu tidak lupu t dari jangkau:.tn perasaan. Dalam kesunyian malam di atas kapal. Nelwan terb:.tngun dan mulai bersiul. Besok paginya. lahirlah lagu "LauTan Mabim-bint " berupa syair yang lengkap dengan notasinya. Orkes kolintangnya setiap waktu dapat dikerahkan untuk memainkan lagu-lagu ciptaannya selama di atas kapal yang sedang berJayar. Masih ada beberapa lagu lagi yang sekarang ini ia sen diri sudah lupa. Semuanya diciptakan di atas kapal dalam perjalanan perdananya itu.

Sepulangnya dari Surabaya situasi Minahasa semakin hilngat karena pergolakan PERMESTA. Tahun berikutn ya dia membatalkan kontraknya dengan radio. dan beberapa bulan kemudian o rkesnya bubar. Masa antara 1958- I961 adalah masa yang penuh tantangan bagi !\'e!wan. Kesulitannya meneruskan orkes kolintang campurann ya semakin besar. ketika di pasaran tidak ada lagi orang yang menjual dawai untuk gitar, baik yang terbuat dari bahan logam maupun dari tali rami. Tetapi hal itu tidak menyeba bkan ia putus asa. Nelwan beranggapan bahwa haruslah ditemukan cara untuk mengatasi hal tersebut. Pikirannya segera beralih ke alat musik kolintang. Mengapa alat ini harus selalu dilengkapi dengan gitar dan bas. Ia meliha t ada dua kekurangan besar pada kolintang waktu itu. Yang pertama ialah tidak adanya tangga nada se tengah dan tidak adanya instrumen pengiring melodi yang juga berasaJ dari pengem ba ngan kolintang. Kalau begitu ia akan berusaha untuk menga tasinya dengan idenya sendiri pula.

Teringatlah ia ta tkala dengan susah payah di masa pendudukan Jepang menata tangga-tangga nada. sehingga diperoleh Jebih dari dua oktaf. Pe ti yang dipakain ya sekarang tidak Jagi peti biasa melainkan pcti khusus yang dibuat oleh tukang kayu. Ia minta agar dicarikan kayu manderan sebanyak-banyaknya

49

lalu dikeringkan , karena ia akan bekerja mewujudkan idenya. Dengan susah payah akhimya didapatkan dua o ktaf tangga nada se tengah yang dicarin ya. Untuk me masangnya agar mudah digunakan, tukang kay u membantunya mem buat pe ri eli mana kedua deretan tangga nada ini dapat disusun. Tidak sa mpai di situ

aja. Nelwan terus berusaha m~nyet e l sendiri instrum en pengjring rn elodi sampai bas. Semakin sempumalah musik ko lintang ya ng di tc kuninya bertah un-tahun itu. O rkesn ya sekarang terdiri a tas satu ml!lodi, du a pengiring dan satu bas, yang semuanya dibuat dari kayu manderan. Orang menamakan orkes barunya ini scbagai orkes kolintang-melulu. karena tidak lagi pakai gitar. keroncong, dan string bas untuk m elengkapin ya.

Pada tahun 196 1, untuk pertama kalin ya orkes kolintangmelulu yang dipimpin Nelwan Katuuk dikenal masyarakat. Dengan rerciptanya nada setengah serta memakai instrum en lain yang mengiringnya, maka sekarang orkes kolintang jauh lebih baik dan sesuai untuk setiap jenis lagu , baik instrum ental ia maup un denga n vokalia. Bahkan tangga nadanya tidak Jagi dua o kra f, mdainkan dapat dibuat san1pai empat oktaf. Susunan nada dua oktaf, m elainkan dapat dibuat sampai empat o ktaf. Susunan nacta pacta kolintang melocti yang berjajar ctua cti ctua tingkat m engingatkan orang pacta alat musik piano. Kayu pemukul untuk kolintang melodi yang dahulunya dua, se karang menjadi tiga buah, dua yang dipegang rangkap di tangan kiri untuk dua nada, dan satu di tangan kanan untuk m engarahkannya. Sungguh diperlukan bakat yang luar biasa untuk dapat menciptakan hasil yang demikian sempurna ini.

Pemah Nelwan menceriterakan penderitaan lahir batin yang dialaminya dalam usaha mengembangkan alat musik kolintang ini kepada H V Worang sewaktu menjaba t sebagai G ubernur KDH Sulawesi Utara. Dikisahkannya bagaimana caranya ia menata pot ongan demi potongan kayu yang disuruhny'l diseso

diakan waktu itu. Memang ada orang yang membantunya untuk menggergaji agar semua penggalan kayu itu dipotong sama panjang. Terapi setelah itu, Nelwan sendiri yang harus menyetelnya sedemikian rupa agar nada yang diinginkannya dapat diperoleh. Untuk menyetel diperlukan sebuah atau beberapa bual1 pisau yang tajam. Untunglah kayu manderan tergolong kayu yang Junak sehingga gampang diraut. Tetapi matanya buta. Sedangkan orang yang melek pun tidak jarang terluka oleh sayatan pisau, apalagi dirinya yang cacat itu. Tangannya penuh luka bekas sayatan pisau di mana luka yang satu belum sernbuh. sudah disusul sayatan lainnya. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Tonsea. Ungkapan-ungkapan yang dipergunakan elwan dalam bahasa itu sangat menggugah hati Worang, bahkan ia sampai mencucurkan air mata ketika itu. Tidak saja Nelwan, isteri dan anak-anaknyapun turut dilibatkan dalam usaha yang penuh dedikasi di bidang seni musik itu.

Pdada tal1un 1965 sekali lagi ia diundang ke Jakarta untuk memainkan orkes kolintang melulu-nya. Kali itu rombongannya diminta oleh PNI untuk bermain di sana walaupun dia sendiri tidak menjadi anggota partai tersebut. Yang menjemputnya adalah seorang pimpinan PNI di Sulawesi Utara bernama Jo Lengkong. Di Jakarta. ia ditegur oleh M V Worang yang waktu itu berpangkat mayor, mengapa ia mau main untuk PNI. Nelwan menjawab bahwa sebagai seniman ia akan memanfaatkan kesempatan apa saja untuk menyalurkan bakat. Apalagi ia buta sehingga tidak tahu secara pasti segala sesuatu, termasuk percaturan politik yang terjadi dalam masyarakat. Worang menasihati agar ia dan rom bongannya segera pulang ke Minahasa dalam kesempatan pertama. Berangkatlah mereka pulang ke Manado dan singgah di Balikpapan. Ketika akan meninggalkan Pelabuhan Balikpapan, didengarnya siaran radio tentang peristiwa G30S/ PKI. Barulah ia mulai maklum akan situasi politik yang gawat ketika itu.

5 1

Dua tahun sesudahnya, ia diundang oleh organisasi Kawanua di Jakarta. Dalam bulan Desember 1967 orkesnya untuk pertama kalinya diberi kesempatan mengadakan siaran lang;ung melalui TVRI J akarta. Namun orkes kolintang yang dibawanya adalah orkes kolintang campuran. Lagu-lagu yang dikum andangkan bukannya lagt1-lagu Natal walaupun dalam suasana m enjeIang hari besar Kristen, melainkan lagu-Jagu daeral1 Minahasa hasil ciptaannya sendiri. Anaknya laki-laki yang bemama Albert turut berperan sebagai pemain gitar, dibantu seorang pemuda Minahasa di Jakarta yang mernainkan string-bas. Hal ini rn em berikan kesan kepada kita bahwa Nelwan benar-benar membina keluarganya untuk mencintai seni musik seperti dia sendiri. Kelak anaknya Mieke dibinanya sebagai penyanyi sedangkan

Eka bertindak pula sebagai pemain gitar dalam orkesnya itu.

Sungguh banyak kesulitan bagi seorang buta dal am statusn ya sebagai kepala rumah tangga dan pecin ta musik. Seorang yah yang matany a n ormal pun tidak jarang gaga) bertindak selaku pemimpin dalam rumah tangganya. A palagi karena cacat mata ia tidak dapat ia bekerja me ncari nafkah untuk me nghidupi keluarganya. Unt unglah tugas itu diambil alih oleh sang isteri yang setia. Demikian pula dalam pendidi kan ana k-a nak, isterinya itu senantiasa memikul tanggu ng jawab yang lebih besa r dibandingkan dengan ibu rumah tangga lain. Eka rnenceriterakan kepada penulis bahwa ayahnya ini mudah sckali tersinggung dan sering m arah-marah di rumah. Penulis berpendapat bahwa hal itu mungkin sekali dila tarbclaka ngi oleh kesadaran bahwa sebagai ay ah yang buta, ia merasa kurang mampu mengawasi dan me ndidik anak-anaknya. Dan kalau se karang ini m ereka hidup rukun dan damai, tentulah amat besar peranan yang dimainkan ibu mereka dalam bidang pendidikan dan tatacara pergaulan di rumah dan masyarakat.

52

Seniman tua dan buta ini ternyata menyenangi nyanyian anak-anak yang sudah direkam dalam kaset. Hal itu disampaikannya kepada penulis ketika berkunjung ke rumahnya. Ia terkesan dengan bakat nyanyi Adi Bing Slamet dan Chicha Koeswoyo serta mengagumi pencipta lagu anak-anak yang mereka nyanyikan. Akhir-akhir ini hatinya tergugah mendengarkan lagu " Tunanetra' ' yang dibawakan oleh Yulius Sitanggang. Kepada ternan-ternan sekampungnya ia berkelakar bahwa kalau suatu ketika ia mati, hendaknya lagi ini dikumandangkan sebelwn ia dikuburkan.

Sekarang ini semakin banyak orang yang namanya menanjak berkat musik kolintang dan lagu-lagu ciptaannya, sehingga nama Nelwan seakan-akan terlupakan orang. Ia kecewa karena ada orang yang membajak lagu-lagunya bahkan menggantinya dengan judul lain. Misalnya lagu "0 Mamaku" yang sudah diganti judulnya menjadi "Ndoon Niserae". Ia menghimbau masyarakat agar sudi menghargai hak cipta yang dimiliki siapapun termasuk dirinya sendiri. Janganlah hak ciptanya turut diperkosa oleh nafsu mengejar keuntungan komersial sambil melupakan sengaja atau tidak orang yang menciptakannya.

Nelwan sendiri pada hakeka tnya tidak menginginkan agar orang lain menghargainya berlebih-lebihan. Semakin banyak orang yang namanya tenar karena musik kolintang, sama sekali tidak membuat hatinya risau. Sejarahlah yang membuktikan serta menyaksikan, bagaimana besar penderitaannya menata musik tersebut sehingga populer ketingkatnya yang sekarang. Namun sedikit sekali orang yang menyadari hal tersebut, bahkan ada yang karena ingin menonjolkan diri sebagai pencipta kolin tang, menyebarkan berita bahwa Nelwan sudah meninggal. Desas-desus itu sampai juga ke telinganya sehingga hatinya menjadi gundah. Namun apa daya baginya sebagai seorang buta. Satu-satunya harapan yang masih ada baginya ialah sekali wak-

53

tu, kalau perlu secepat mungkin, ia dapat muncul di layar TVRI Manad:o un·tuk menunjukkan kebolehannya memainkan berbagai alat musik termasuk kolintangnya. ltulah harapan yang disampaikannya kepada penulis. Ia secara pribadi berterima kasih karena masih ada orang yang mau menulis riwayat hidup dan pengabdiannya dalam seni musik.

Ia merasa bersyukur ketika pada tahun 1976 pemerintah daerah menganugera.hkannya sebuah piagam penghargaan. Pada waktu itu Sulawesi Utara merayakan hari ulang tahun keduabelas. Kesempatan tersebut antara lain dipergunakan oleh gubernur untuk menganugerahkan tanda penghargaan kepada beberapa orang yang berbakat serta prestasinya menonjol dalam berbagai bidang antaranya seni musik. Nelwan diberikan piagam penghargaan sebagai Seninam Terbaik. Piagam tersebut yang bertanggal 23 September 1976, merupakan satu-satunya pajangan di dinding rumahnya yang sederhana di Kauditan II.

54

BAB IV MUSIK KOUNTANG DEWASA INI

Sejak Nelwan Katuuk mempopulerkan musik kolintang, maka di mana-mana di seluruh Minahasa orang mencoba membuat sendiri alatnya dan sekaligus memainkannya. Siaran-siaran melalui radio Jepang, NIROM dalam masa NIT, serta RRI semenjak tahun 1950 turut mem berikan andil yang besar dalam hal tersebut. Apalagi Nelwan dengan orkes kolintang campurannya itu memainkan lagu-lagu daerah yang dikenal merata, serta sejurnlah lagu lainnya pada waktu itu. Ketukan bunyi kolintang, baik secara tunggal maupun dengan iringan alat-alat musik lain seperti yukulele dan gitar, berkumandang di mana-mana.

Sejak masa sebelum Perang Dunia II, setiap tahun di Manado diadakan perayaan yang diisi dengan pertandingan pacuan kuda. Salah satu organisasi olahraga pacuan kuda menjadi sponsor perayaan tersebut. Untuk itu maka di Sarlo, di bagian selatan kota, dibangun sebuah gelanggang pacuan kuda, lengkap dengan panggung untuk penonton. Dalam kesempatan seperti itu tidak hanya pacuan kuda yang meramaikan suasana, melainkan juga berbagai orkes musik. Inilah kesempatan bagi mereka untuk berkrihipul memajukan ·~ru musik tradisioial Minahasa seperti musik bambu melulu, musik bambu seng, musik bambu

55

klarinet, bahkan berbagai jenis tarian daerah. Muncu1nya musik kolintang semakin menyemarakan suasana waktu itu. Tim bullah ide untuk mempertandingkan orkes-orkes kolintang yang semakin banyak bermunculan, seperti halnya dengan berbagai orkes musik lain yang dipertandingkan sejak sebelum perang. Hal itu untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1956 di tempat yang sama.

Yang dipertandingkan waktu itu adalah orkes ko1intang dengan segala versi yang bermunculan di berbagai pelosok Minahasa. Dari hasil penilaian, ternyata orkes kolintang "Nasib" pimpinan Nelwan yang menjadi juara Festival Orkes Kolintang saat itu. Tetapi dalam festival yang sama yang diadakan pada tahun berikutnya (1957), orkes pimpinan Nelwan tidak muncul karena sedang berada di Surabaya sebagaimana telah disampaikan di depan. Tahun itu sebagai pemenang festival adalah orkes kolintang dari Tomohon. Festival itu sendiri diadakan dengan maksud untuk mengembangkan seni musik tradisional khususnya kolintang yang berada di puncak ketenaran pada waktu itu. Dari alat hiburan di kebun-kebun. kolintang telah terangkat naik dan berada sejajar dengan alat-alat musik tradisional Minahasa lainnya. Semakin banyak yang menggemarinya, semakin membuka kemungkinan pengembangannya lebih lanjut.

Festival-festival di atas sesungguhnya merupakan penyaluran spontanitas masyarakat pencipta seni musik tradisional. Spontanitas itu pada hakekatnya timbul karena adanya dorongan naluri yang mencintai keindahan termasuk keindahan bunyi. Masa pertengahan tahun 1950-an itu dalam pengertian yang khusus, dapatlah dianggap sebagai masa bangkitnya kernbali suku bangsa ini untuk m enengok masa silamnya dan mencintai seni budaya sendiri. Mereka menyadari bahwa khasanah seni budaya mereka cukup kaya dengan warisan nenek moyang khususnya dalam bidang seni musik. Un·sur kebangsaan turut

56

pula berperan yang mendorong mereka untuk semakin mencintai seni budaya bangsa sendiri. Yang baik dari Barat mereka mau gunakan terus setelah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan estetis setempat. Itulah sebabnya sehingga kolin tang dimainkan berdampingan dengan gitar dan stringbas, dua di £!ntara alat musik yang diperkenalkan Barat di sini.

Setelah Nelwan Katuuk berhasil m enata orkes kolintang melulu tahun 196 1, maka periode sampai 1964 ditandai den gan munculnya berbagai jenis orkes koUntang melulu di seluruh Minahasa. Tahun 1975 di Jakarta diadakan semacam uji coba teknik musik kolintang di mana ternyata mereka yang tahu main piano dengan mudah dapat memainkan kolintang. Timbul pemikiran bahwa kal au tangga nada dan teknik pembuatannya dapat distandarisasi, maka kolintang mampu disejajarkan dengan berbagai jenis alat m usik internasional.

Sebuah sumber yang patut dikemukakan ialah yang ditulis oleh M J R Kumaat (1981 : 46-60) un tuk mencapai gelar sarjana pendidikan se ni musik. Dikatakannya bahwa Tam an Budaya di Manado pada tanggal 8 Mei 1980 m engundang semua pimpinan orkes, pelatih, dan pemain kolintang untuk membicarakan bagaimana sebaiknya menata musik kolintang itu. Waktu itu diedarkan angket agar supaya diisi oleh yang hadir untuk mengumpulkan pendapat m ereka tentan g penyelenggaraan festival, tangga nada, dan sebagainya.

Masalah-masalah yang dilontarkan waktu itu antara lain :

1. Membawa kolintang dari tem pat asal ke tempat festival

memakan ongkos yang banyak;

2. Memuat kolintang ke mobil a kan mengakibatkan kerusakan bagi alat-alatn ya;

3. Berganti-ganti alat untuk naik turun panggung m engganggu

tatatertib festival;

57

4. Banyak waktu yang digunakan untuk mengganti alat di

atas panggung dengan yang dibawa tiap kelompok.

Selanjutnya perlu dipikirkan agar :

a. Kelompok orkes kolintang tidak perlu mengeluarkan biaya

pengangkutan alat;

b. Orkes kolintang perlu disediakan satu set saja untuk dipakai oleh seluruh peserta festival;

c. Ketertiban naik panggung lebih terjamin.

d. Kolintang milik organisasi lebih tahan lama.

e. Hendakn ya dibuatkan satu alat yang dapat diterima oleh

semua pihak/ pemain.

Setelah meneliti masaJah-masalah ini maka ditarik kesimpulan sebagai beriku t :

1) Perlu ada standarisasi kolin tang.

2) Perlu ada uniformitas pembuatan alat dengan struktur

nada yang sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah/ ham10ni.

1.

Standarisasi Kolintang.Mengadakan standarisasi kolin tang berarti mengadakan

perubahan total terhadap seluruh alat yang ada di Minahasa/ Manado dan alat-alat kolintang yang ada di seluruh Indonesia.

Standarisasi kolintang yang dimaksud adalah penyempurnaan bentuk, ukuran dan kualitas sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Pedoman standarisasi yang akan dipakai adalah pedoman hasil sem inar musik kolintang yang dilaksanakan di Jakarta tahun 1974 melalui kertas kerja yang dibawakan oleh penulis sendiri dan diikuti oleh ahli-ahli musik dari Direktorat Pendidikan Kesenian Departemen Dikbud . bersama guru-guru kesenian se Jakarta dan guru dari Sekolah Labor IKIP Jakarta. Standarisasi tersebut bertitik tolak pada :

58

a. Hasil pengetahuan beberapa alat yang dibuat oleh beberapa pemuat alat yang kenamaan di Minahasa/Manado.

b. Hasil pengujian jenis kayu nada yang digunakan.

c. Hasil pengujian penyesuaian dengan ilmu harmoni dengan

struktur nada yang ada.

d. Hasil penelitian penerapan paduan pada waktu membawa

lagu.

Demikian pun dengan ukuran-ukuran kotak tiap jenis alat adahili sebagai berikut:

1) Kotak kolintang melodi (lihat gam bar 1)

2) Kotak kolin tang pengiring kecil/arsis (Iihat gambar 2)

3) Kotak kolintang pengiring besar/thosis (lihat gambar 3)

4) Kotak kolintang calo (Iihat gambar 4)

5) Kotak kolintang bas (lihat gam b~r 5)

Ukuran panjang kotak adalah hasil penjumlahan lebar nadanada yang dipakai sedangkan lebar kotak adalah hasil perbandingan panjang nada yang diletakkan.

2. Unifonnitas pembuatan alat dengan struktur nada serta

ukuran-ukuran nada tiap jenis alat

Untuk dapat menyodorkan satu jenis alat yang dapat digunakan oleh semua pemain maka salah satu prinsip yang harus ditempuh adalah membuat seluruh kolintang itu dalam satu standar nada ialah al. 440. Tinggi not-notnya hendaknya mengikuti bunyi garpu tala. Salah satu hal lagi yang diperhatikan ialah prinsip-prinsip harmoni hendaknya dapat diterapkan dan dapat membunyikan not-not atas dan not-not oktaf bawah. Maksudnya adalah dalam kolintang itu hendaknya ada perbedaan register pada bagi alat-alat pengiring yang nampaknya sampai saat ini kurang diperhatikan, sehingga pengiring tersebut tidak memiliki jenis-jenis register yang berlainan.

59

Struktur nada pada tiap jenis pengiring sangat menentukan harmonisasi kolintang itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya nada yang terdapat pada oktaf bawah dan oktaf atas dari nadanada yang ada pada kolintang itu. Bagi kebanyakan alat kolintang dewasa ini nampaknya hal ini tidak diperhatikan oleh pembuat. Demikian juga pembelinya sehingga setiap alat yang ke luar dari satu pembuat selalu berbeda dengan alat-alat dan struktur nada dari alat yang mendahuluinya. Ini terjadi karena:

a. Pembuat alat ingin menghemat kayu

b. Pembeli tidak mengetahui struktur nada kolintang yang

sebenarnya.

Akibat yang lebih besar lagi adalah setiap pemain setrampilnya ia bermain, hanya boleh bermain pacta alatnya sendiri. Bila pacta suatu acara disuruh bermain dengan alat lain tidak dapat ia laksanakan sebab struktur alat berbeda. Hal inilah yang mendorong karni untuk mengatasi hal-hal tersebu t di atas demi pelestarian kolintang itu dengan jalan:

I) Semua kolintang harus distandarisasi

2) Struktur nada kolintang distandarisasi

Sesuai ukuran dan fungsinya maka alat-alat pada musik kolintang diberi nama sebagai berikut:

a) Kolintang melodi

b) Kolintang pengiring kecil/ arsis

c) Kolin tang pengiring besar/guitar/ thesis

d) Celo

e) Bas

Nama-nama ini merupakan nama umum sedangkan pembuat menggunakan nama-nama yang berbeda-beda sungguhpun peranannya sama. Karena nama dan fungsi alat ini berbeda, maka susunan nada-nadanya pun berbeda pula. Di bawah ini kami berikan gam baran susunan nada berdasarkan penelitian dan manfaatnya dalam permainan. Juga dihubungkan dengan

60

ilmu hannoni. Untuk maksud itu didapatlah struktur nada sebagai berikut:

I) Kolintang melodi struktur nadanya adalah c..... . ... g

c g1

I

Susunan dan jumlah nada itu demikian karena menurut hasil penelitian ada lagu-lagu instrumentalia yang harus dimainkan sampai pada nada tersebut di atas umpamanya lagu S paines E yes. Pada waktu dimodulasikan ke tangga nada F maka melodi itu mampu memainkannya. Akan tetapi ini tidak mengikat sebab ada juga melodi yang hanya sampai C dengan kata lain hanya memilik.i tiga oktaf, malah ada kolintang yang kurang dari itu.

2) Pengiring Yukulele. Pengiring ini tidak ada pada kolintang

kolintang lain. Bagi kolintang baik luas nadanya adalah

c c

c. Pengiring kecil : luas nadanya adalah G - G

d. Pengiring besar : luas nadanya C - C

e. Untuk celo ada kalanya tumpukan lain digabung dengan

Bas disesuaikan dengan jumlah pemain, luas nadanya

G - G

Sumber  Tulisan  dari  Buku NELWAN  KATUUK  SENI  MUSIK  KOLINTANG  MINAHASA  oleh : Drs. Fendy E.W.Parengkuan_1984

 

Postingan populer dari blog ini

Sangihe - Siau - Taghulandang sampai tahun 1939

Mengenal Gajah Purba Sangihe, Stegodon Pintarengensis

Fam Makaminan dan Perannya di Masa Lalu