NELWAN KATUUK
NELWAN KATUUK
Orang pertama yang menciptakan alat music
Kolintang Kayu di
Minahasa
Lahir di Tonsea/Minahasa Utara - Sulawesi Utara pada tanggal 31 Maret
1922.
Menikah dengan Susana
Lasut
Meninggal : 28 Januari 1996
Nelwan tidak sebahagia anak-anak lain yang dapat bermain
sepuas hati ke mana saja. Dia tidak dapat mengagumi bungabungaan yang menghiasi
halaman-haiaman rumah di desanya.
25
Matanya buta sehingga dunia ini seakan-akan gelap saja
layaknya. Bahkan dia tidak dapat melihat dan mengenal dari dekat saja, juga
kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Asuhan ibu, perhatian ayah, dan
kehadiran kakak-kakaknya hanya dapat dihayatinya melalui perasaannya yang
berkembang semakin peka. DaJam segala hal dia selalu perlu bantuan keluarganya
sehingga benar-benar dia menjadi beban yang harus diperhatikan baikbaik.
Beruntunglah Nelwan dilahirkan di tengah-tengah keluarga Kristen yang menghayati
serta melaksanakan dengan baik ajaran-ajaran yang termaktub di dalam Alkitab
yang mengajarkan bahwa wajiblah setiap orang melayani serta menghargai dan
mencintai sesamanya seperti diri sendiri.
Kenyataan hidup yang pertama yang menyedihkan bagi dia dan
keluarganya adalah ketika berurnur tiga tahun, ayahnya meninggal dunia karena
sakit. Kalau selama ini Clara mendampingi Yoseph mem bina keluarga mereka yang
berjumlah delapan anak. maka sekarang dia sendiri yang harus bertanggungjawab.
Dapatlah dibayangkan bagaimana beratnya pikulan seorang wanita yang ditinggal
pergi suaminya. Apalagi masih harus menanggung beban pemeliharaan delapan anak
sekaligus. Untunglah sudah ada beberapa kakak Nelwan yang cukup dewasa dan kuat
membantunya. Sebagai kakak tertua maka Yulius mau tidak mau mengam bil alih
tugas dan tanggung jawab ayah dalam memenuhi nafkah keluarga mereka. Adik-adik
Yoseph sendiri tidak membiarkan keluarga kakak tertua mereka yang memiliki banyak
anak, bahkan ada yang cacat. Demikian pula halnya dengan adik-adiknya Oara.
Pendeknya, kepergian Yoseph harus segera diisi agar keluarga yang
ditinggalkannya mampu memantapkan diri.
Nelwan walaupun masih kecil hanya dapat menghayati kepergian
ayahnya di tahun 1925 itu di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya juga ia
tergugah mendengar nyanyian-nyanyian
~6
yang dikumandangkan dalam suatu upacara kebaktian Kristen
yang mengantarkan ayahnya meninggalkan dunia yang fana ini. .Dalam keadaan
wajar, tentulah anak berumur tiga tahun memerlukan ternan bermain dan berbagai
jenis permainan. Karena ia tidak dapat bermain dengan teman-temannya maka
kakakkakakn yalah yang menggantikan kebutuhan itu. Di antaranya Yulius yang
dengan penuh perhatian menjaganya sambil hermain-main di waktu senggang. Juga
mem berikan jenis permainan yang dirasanya mampu membahagiakan adiknya yang
buta ini. Yuliuslah yang membuatkan dan memberikan serta mengajarkannya main
suling bambu. Betapa gembiranya hati Nelwan memiliki sebatang suling yang telah
mampu dimainkannya pacta sekitar umur lima tahun. Melihat bakat adiknya itu
maka Yulius membelikan sebuah harmonika tangan yang dibunyikan dengan cara
meniupnya. Suasana rumah menjadi cerah di kala itu.
Dengan mahirnya Nelwan memainkan alat musik suling bambu dan
harmonika, maka gairah hidupnya semakin nyata. lbunya juga merasa gembira
karena di tengah kesibukannya sehari-hari, kehadiran anak yang walaupun buta
tapi pandai main musik merupakan kesan tersendiri yang menyenangkan baginya.
Anaknya yang cacat ini bukan semata-mata beban lagi melainkan juga mampu
menghibur hati orang tua dan saudarasaudaranya melalui alunan lembut harmonika
dan lengkingan irama suling. Kepadanya diajarkan lagu-lagu gereja dan lagulagu
rakyat yang hidup pada masa itu. Mulai saat itu maka ke manapun Nelwan pergi,
kedua alat musik itu selalu dibawanya serta. Jiwanya mulai menyatu dengan seni
musik yang mulai bersemi. Kalau ada la~ yang belum diketahuinya benar, maka
tidak segan-segan ia rnipta diajarkan agar dapat dimainkannya kembali melalui
kedua alat musik yang dimilikinya itu.
Sumber Tulisan dari
Buku NELWAN KATUUK SENI
MUSIK KOLINTANG MINAHASA
oleh : Drs. Fendy E.W.Parengkuan_1984
Pacta masa itu di J)esa Kauditan ada sekolah rakyat yang
27
·~
disebut sekolah Zending. Di antara para gurunya, seorang
yang bernama Kalangie yang juga peminat dan pemain musik. Ia memiliki sebuah
biola dan mahir memainkannya dengan memikat hati. Alunan suara biola ini sampai
ke telinga Nelwan yang semakin gandrung dengan musik itu. Semua warga desa
termasuk guru Kalangie maklum bahwa Nelwan yang buta ini memiliki bakat yang
luar biasa, walaupun umurnya baru enam tahun. Bagaikan bertemu ruas dengan
buku, guru ini mau membina Nelwan sedangkan Nelwan sendiri dengan penuh harapan
ingin menguasai cara-cara memainkan biola yang rumit itu. Mulailah dia menerima
pelajaran bagaimana cara memainkan alat musik biola dari guru tersebut. Dialah
sesungguhnya menyatukan diri dengan seni musik sejak masih kecil. Dalam umur
enam tahun, anak kecil yang tidak dapat melihat ini telah mahir memainkan tiga
alat musik, yakni suling, harmonika, dan biola. Sungguh suatu bakat yang dapat
dibanggakan bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya waktu itu.
Masa antara tahun 1930 sampai masuknya pasukan pendudukan
Jepang merupakan masa di mana Nelwan berusaha untuk lebih memaltirkan diri
dalam memainkan ketiga alat musiknya itu. Dirinya telah menanjak menjadi remaja
dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam dirinya yang cacat. Namun
hal tersebut tidak menghalanginya melakukan berbagai kegiatan di rumah, di
tengah masyarakat, dan di mana saja karena setiap orang ingin membantunya. Ada
yang karena tergugah hati menyaksikan cacat tubuh Nelwan, ada pula yang karena
merasa kagum oleh kecakapannya bermain-musik. Walaupun begitu, orang yang
senantiasa mengasuh serta menuntunnya ke mana dia pergi adalah ibunya sendiri.
Bahkan untuk bekerja di kebun sekalipun, Oara selalu membawa anaknya yang
bungsu ini. Bukannya dia tidak percaya anak-anaknya yang lain akan
memperhatikan Nelwan, namun nalurinya sebagai seorang ibu menghendakinya
demikian. Clara ingin selalu dekat dengan anaknya
28
ini. Hatinya semak.in bangga karena Nelwan sekarang pandai
main beberapa jenis alat musik.
Di depan sudah dikemukakan bahwa bagi para petani Minahasa,
alat hiburan berupa alat musik yang sering digunakan ketika beristirahat di
kebun atau di rumah, antara lain adalah suling. Selain itu mereka juga tahu
membuat dan memainkan alat-alat musik lainnya seperti Kalembosan, noolingen,
kekentengen, rorondon, talontalod, tetengkoren, dan sebagainya. Selain
bahannya dari bambu, ada pula yang dibuat dari rotan, bahkan dari batang padi,
Ada yang dapat bertahan lama disimpan, tetapi ada juga yang hanya untuk sekali
pakai saja misalnya yang dari batang padi itu. Bahkan ada yang tidak dapat
dibawa ke mana-mana karena memerlukan bantuan alur galian di tanah untuk dapat
menyembunyikannya. Kesemua alat musik tradisional di atas sekarang ini sebagian
besar sudah punah. Tetapi ternyata ada juga yang mampu bertahan antara lain
karena pengembangan fungsinya yaitu dari alat hiburan petani menjadi hiasan
bahkan dihadirkan dalam acara resmi seperti misalnya tetengkoren. Hal
ini sudah dikemukakan di atas.
Selain alat-alat musik tradisional itu, di desa-desa
Minahasa berkumandang pula jenis-jenis alat musik sebagai hasil pengaruh
kebudayaan luar. Misalnya biola seperti yang cara memainkannya telah dikuasai
oleh Nelwan. Dan dalam umurnya yang menanjak remaja itu, semakin banyak pula
alat musik yang dikuasainya. Misalnya keroncong yang merupakan pula alat
hiburan di mana-mana. Demikian pula dengan alat musik gitar, yang seperti
halnya keroncong merupakan alat musik petik yang populer semenjak dulu. Nelwan
pun tahu memainkan kedua alat musik tersebut dengan baik. Apalagi karena Yulius
sebagai kakaknya yang tertua memiliki sendiri sebuah gitar. Yulius pandai
memainkan gitar dan dari dia juga Nelwan belajar sampai mahir. Alat musik
keroncong ini ada di mana-mana se-
29
hingga dengan mudah Nelwan dapat meminjam dan belajar memainkannya
juga.
Namun satu hal telah menggugah hatinya untuk mengembangkan
suatu alat musik. Hal itu terjacli dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Jepang
masuk ke Minahasa mulai bulan J anuari 1942, menjelang umumya 20 tahun. Selama
itu ibunya selalu membawanya ke mana-mana termasuk kalau pergi ke kebun. Sudah
lama Nelwan mendengar bahwa para petani di sana mengetuk-ngetukkan kayu-kayuan
di waktu luang misalnya ketika beristiraha t. Ketukan-ketukan itu hanya
didengarnya jika berada di kebun mengikuti ibunya. Hatinya tergerak ingin
mengetahui lebih jauh mengenai bunyi-bunyian itu. Ibunyalah satu-sa tunya orang
terdekat waktu itu. Ia bertanya dari manakah asal bunyi-bunyian itu dan alat
atau bahan apakah yang dipakai. Ibunya menjelaskan bahwa bunyi-bunyian itu
hanyalah beberapa potong kayu lunak yang diketuk-ketuk sekedar untuk
menghabiskan waktu saja. Kegandrungannya pacta bunyi-bunyian itulah yang
semakin mendorong hatinya untuk mengetahui Iebih jauh. Hanya melalui telinga
saja dia dapat mempersatukan diri dengan lingkunganny a dan kepekaan ini kelak
akan membuahkan sesuatu.
Karena selama ini hidupnya terlambat pacta berbagai alat
musik yang telah mahir dimainkannya, maka walaupun sejak dulu dia mendengar
bunyi-bunyian tadi di kebun, hatinya betum tersentuh untuk mengetahuinya Iebih
Ianjut. Tetapi barulah di masa pendudukan Jepang ketika rakyat desa banyak yang
mengungsi ke kebun-kebunnya. Nelwan tergugah dengan suara ketukan yang keluar
dari batang-batang kayu seperti yang dijelaskan sepintas lalu oleh ibunya. Hal
tersebut ditanyakannya pula kepada kakak-kakaknya tetapi jawaban mereka masih
belum memuaskan hatinya. Sementara itu suara-suara ketukan kayu itu semakin
memukau, sehingga walaupun beracla di ru-
30
mah, suara-suara alunan itu seperti terngiang-ngiang di
telinganya. Nelwan memutuskan untuk mengetahui lebih lengkap lagi mengenai hal
tersebut.
Kesempatan itu diperolehnya di kebun ketika ibunya
membawanya ke sana lagi. Sementara ibunya beristirahat, maka hal itu
ditanyakannya lagi. Nelwan sekarang memerlukan keterangan yang mendetail
mengenai alat tersebu t. lbunya sadar bahwa darah seni mengalir deras dalam
diri anak yang cacat ini. Oleh karena itu maka mulailah dia berceritera
mengenai hal ikhwal bunyi-bunyian yang dikehendaki oleh Nelwan. Hal tersebut
diceriterakannya kembali kepada penulis dalam suatu kesempatan bcrwawancara di
rumahnya di Kauditan II. Jbunya mengatakan bahwa bunyi-bunyian itu bersal dari
suatu alat yang dinamakan kolintang oleh para petani Minahasa waktu itu.
Ketika itu kolintang baru berupa empat atau lima potong kayu, yang
dipakai adalah jenis kayu lunak yang dikeringkan. Setelah kering benar, maka
kayu lunak yang ringan itu siap mengeluarkan bunyi-bunyian yang terasa aneh di
telinga Nelwan waktu itu. Adapun jenis kayu yang baik untuk ko/intang adalah
kayu manderan atau wanderan. Kalau sudah kering benar, maka
potongan-potongan kayu itu diletakkan melintang di atas sepasang batang pisang
yang diatur sejajar. Untuk mengetuk dipakai sepotong kayu atau ranting,
perbedaan ketebalan dan panjangnya potongan kayu, menentukan nada yang akan
keluar. ltulah keterangan ibunya kepadanya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya maka
Nelwan, pemuda buta yang berjiwa seni itu, meminta bantuan ibu dan kakaknya
untuk membuatkan alat musik kolintang untuknya. Karena hutan-hutan
sekitar kebun mereka banyak ditumbuhi dengan kayu menderen, maka tentu
saja ibu dan kakaknya menyanggupi permintaannya itu. Beberapa hari kemudian,
Nelwan duduk di pondok kebun mereka menghadap
31
kolintang yang siap unruk dirnainkan. Di tangannya
a<la sepotong ranting sebesar jari yang berfungsi sebagai alat pemukulnya.
Kakaknya, Yulius, yang sekali lagi bertindah mengjarkannya cara<ara memukul
dan memainkan alat tersebut. Sekali saja diajarkan tahulah Nelwan cara
memainkannya. Apalagi hanya lima potong kayu yang jaraknya diatur di atas dua
batang pisang. Dengan tangannya Nelwan dapat mengetahui letak yang tepat dari
kelima potongan kayu itu dan segera menguasai nada yang sederhana yang timbul
setelah dipukul-pukulkan sepotong kayu di tangannya.
Untuk sementara waktu, Nelwan melupakan berbagai alat musik
yang telah dikuasainya, perhatian dan minatnya tertambat untuk menekuni alat
musik baru yang dibuatkan untuknya itu. Kolintang ternyata memiliki rangkaian
nada yang dapat diatur sedemikian rupa kalau saja dia dapat menanganinya
sendiri cara pembuatannya. Ide itu muncul dalam benaknya setelah puas memainkan
alat tersebut hari itu . Di rumahnya, hampirhampir dia tidak dapat tertidur
karena memikirkan bagaimana kalau kelima potongan kayu itu ditambah. Nada
apakah yang akan muncul dan dapatkah itu dipakai untuk mengiringi berbagai
jenis lagu yang diketahuinya sejak masa kanak-kanak. Kelima potong kayu tadi
seperti kedengaran sumbang. Mungkinkah karena hanya diletakkan di atas batang
pisang yang mengandung air dan keras. Begitu antusiasnya dia menggeluti hal
tersebut. Ini pula yang mendoro~gnya untuk mengusulkan peningkatannya kepada
ibu dan kakaknya. Nelwan hanya memerlukan bantuan mereka untuk menyediakan
potongan-potongan kayu menderan lebih banyak.
Tahun 1942 adalah tahun yang penuh perjuangan bagi Nelwan.
Dengan penuh kesungguhan ia duduk menghadapi dua batang pisang yang diletakkan
sejajar di mana di atasnya ada potongan kayu manderan yang semakin
banyak. Potongan-
32
potongan kayu itu disediakan oleh kakaknya sedangkan ibunya
mendampingi dia untuk membantu memilihkan bentuk yang dikehendakinya. Onggokan
kayu manderan yang telah dikeringkan itu begitu banyak sehingga
memerlukan waktu dan ketelitian mata untuk memilihnya agar ditemukan nada yang
tepat. Betapa sulitnya bagi seorang buta yang ternyata memiliki bakat daya
cipta ini. Tetapi ia tidak mengenal menyerah. Keuletannya itu ditunjang
sepenuhnya oleh ibu yang semakin bangga dan memperhatikannya setiap waktu. Bagi
orang yang dapat melihat, tentu tahu membedakan mana siang dan mana malam.
Tidak demikian halnya dengan Nelwan. Malam hari pun ia mau saja terus berusaha
kalau tidak diperingatkan oleh ibunya itu.
Berkat ketekunannya maka Nelwan berhasil menyusun tujuh
potongan kayu yang mewakili satu oktaf nada. Ia masih terus saja berusaha
sehingga jerih payahnya menghasilkan 18 potongan kayu yang mewakili lebih dari
dua oktaf. Dengan begitu maka sekarang lebih leluasalah ia memainkan hampir
semua jenis lagu, kecuali yang bernada setengah. Tanpa disadari oleh siapa pun,
seorang pencipta musik kolin tang yang mem buka pengembangan lebih
lanjut telah muncul. Nelwan bagaikan bual1 padi di sawah yang tumbuh diam-diam,
berbuah untuk kemanfaatan manusia sekelilingnya. Jari-jari tangannya penuh
bekasbekas sayatan pisau raut yang dipergunakan untuk menyetel kolintangnya
itu. Hal ini karena ia sendiri yang merau t batangbatang kayu manderan untuk
mendapatkan nada yang sesuai. Penemuannya yang masih kasar itu dibawa pulang
dari kebun ke rumahnya. Semakin banyak orang yang kagum terhadap dirinya dan
semakin harumlah namanya di desanya sendiri.
Alat musik yang dirasa aneh itu memikat banyak warga desa
untuk melihat bagain1ana caranya Nelwan memainkannya. Setelah mereka lihat,
tahulah mereka bahwa alat itu tidaklah
33
aneh karena setiap petani dapat membuatnya sendiri walaupun
secara sangat sederhana di kebun-kebun mereka. Namun demikian, rasa ingin tahu
mengajak mereka untuk menyaksikan sendiri alunan lagu yang dimainkannya. Bahkan
potongan kayu pemukul tidak lagi hanya satu melainkan telah dijadikan sepasang
oleh Nelwan, untuk lebih menyerasikan bunyi yang muncul. Karena melihat bahwa
belasan potong kayu itu masih diletakkan di atas dua batang pisang sejajar,
maka ada seorang tua yang menyarankan cara lain. Nelwan menjelaskan kepada
penulis bahwa orang tua itu menyarankan kepadanya agar belasan potong kayu
kolintang itu dilt:takkan di atas sebuah peti.
Saran di atas dirasa baik sekali oleh Nelwan, namun peti
yang bagaimanakah yang bidang atasnya cukup luas untuk ternpat menjajarkan
belasan potong kayu tersebut. Untuk membuat sebuah peti yang cocok tentulah
membutuhkan waktu yang lama bagi seorang tukang kayu. Secara berkelakar orang
tua tadi menyarankan bagaimana kalau diletakkan saja di atas peti jenazah.
Semua yang hadir tertawa mendengarnya namun Netwan sendiri di dalam hatinya
menyetujui saran tersebut. Sebagaimana diketahui pada waktu dulu, setiap desa
memilik.i semacam organisasi sosial untuk membantu warganya yang meninggal
dunia. Ada juga kebiasaan bagi para orang tua untuk menyediakan lebih dahulu
peti mati untuk menjaga kemungk.inan sewaktu-waktu meninggal, tidak lagi sibuk
membuatnya. Jadi selalu ada tersedia peti mati yang siap untuk dipakai di
manamana. Tapi siapakah yang sudi meminjamkan peti matinya untuk maksud yang
lain. Untung saja ada orang mau sehingga peti mati tersebut diangkut kerumahnya
Nelwan. Bagian peti mati itu ternyata cukup luas untuk menampung belasan kayu
tersebut. Nelwan lalu duduk di atas kursi dengan memegang dua penggal kayu di
kedua tangannya. Dengan disaksikan oleh keluarga dan warga desa lainnya,
mulailah dia menunjukkan kebolehannya memainkan kolintang waktu itu.
34
Namun Nelwan yang terbiasa memainkannya di atas batang
pisang merasa agak kurang puas. Ternyata bunyi ketukan di atas batang pisang
masih lebih baik daripada di atas peti kayu. Mungkinkah karena batang pisang
memiliki daya pegas sehingga potongan kayu di atasnya dapat bergetar lebih
baik, belumlah terpikirkan olehnya. Telinganya yang tajam mendengar bahwa
ketukan di atas kayu menimbulkan bunyi yang ganda dengan dinding peti mati itu.
Harus ditemukan cara yang tepat untuk menghilangkannya. Memang suara ketukan
jadi lebih menyatu karena pantulan dari dinding dan dasar peti yang juga turut
bergetar. Namun sebaliknya hal itu jadi meng~ ganggu keharmonisan bunyi. Lalu
datanglah suara pendengar yang menyarankan bahwa barangkali bunyi akan lebih
baik kalau tepi peti itu dialas dengan guntingan karet ban dalam mobil. Usul
itu segera di terima dan potongan karet itu dipakukan di situ.
Dernikianlah pengalaman Nelwan dalam tahap-tahap permulaan
mengembangkan alat mu~ik kolintang ini. Hal yang patut dicatat di sini adalah
jasanya yang mengangkat musik sederhana dari kebun ke desa untuk menjadi alat
hiburan bagi masyarakat setempat. Aplagi ia sebagai seorang buta yang karena
keterbatasannya itu, tidak akan mampu berbuat apa-apa yang patut dihargai orang
lain. Keluarga Katuuk telah berhasil mengangkat nama baik mereka dengan
munculnya Nelwan sebagai pengembang seni dan alat musik kolintang di kalangan
masyarakat desa mereka. Ada semacam kepuasan batin bagi Nelwan dengan
penemuannya itu yang hanya ia sendiri yang mampu merasakan getarannya.
35
BAB Ill NELWAN KATUUK DAN SENI MUSIK
Setelah menguasai seni musik serta mampu membuat atau
menyetel kolintang, maka mulai saat itu, keterampilan Nelwan dalam penguasaan
alat-alat musik bertambah. Bahkan sebagai seorang pemuda yang buta, ia patut
bangga karena mampu menguasai alat-alat musik lainnya sebelum menemukan
kolintang. Ditambah dengan penguasaannya dalam memainkan alat musik yang baru
ini. maka kebanggaan itu cukup beralasan. Tetapi seorang pemuda yang rendah
hati seper ti dia tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang istimewa
dan harus disombongkan kepada siapa saja. Tambahan pula ajaran agama melarang
sifat yang demikian itu.
Sudah dijelaskan di depan, bahwa Minahasa sejak awal tahun
1942 sudah diduduki oleh tentara Jepang. D~ngan demikian maka pasukan
pendudukan itu menghendaki agar seluruh rakyat diikutsertakan dalam kegiatan
mempopulerkan bahasa dan kebudayaan mereka. Lagu-lagu dalam bahasa Jepang
berkumandang di mana-mana. Anak-anak sekolah diajar menyanyikan lagu-lagu
Jepang, dengan maksud untuk membina mereka dalam semangat dan kebudayaan
Jepang. Dalam banyak hal maksud-maksud tersebut berhasil mempengaruhi
masyarakat
36
luas. Hal inipun terlihat di Kauditan, desa di mana Nelwan
bertempat tinggal selama hidupnya. Lagu-lagu Jepang dinyanyikan oleh anak-anak,
baik di sekolah, di jalan, maupun di rumahrumah. Nelwan yang memiliki bakat
menghafal yang kuat, mampu menghafal di luar kepala sejumlah lagu dalam bahasa
Jepang. Bahkan dia sendiri mencoba memainkannya di atas kolintang sehingga alat
itupun turut lebih mempopulerkan nyanyian-nyanyian terse but. Dijelaskannya
kepada penulis bahwa lagu Jepang pertama yang dimainkannya dengan baik melalui
alat musik kolintang adalah lagu yang mulai dengan kata-kata "Miyo
Tokai no': Pada masa itu lagu-lagu Jepang disusun secara sederhana sehingga
setiap orang dapat membawakan setidaktidaknya dengan bersenandung. Apalagi
lagu-lagu itu bertempo mars sehingga mampu membangkitkan semangat kerja dan
semangat juang, bahkan bagi orang yang tidak mengerti artinya sama sekali.
Hal itu pun dialami oleh Nelwan. Pada waktu itu ia sama
sekali tidak tahu berbahasa Jepang sehingga lagu-lagu yang dimainkannya di atas
kolintang hanya diikuti dengan senandung saja. Karena itu ia dibantu oleh
anak-anak serta mereka yang tahu membawakan kata-katanya. Kalau ada orang yang
menyanyikan lagu-lagu maka dapatlah dia lebih berkonsentrasi me- 'mainkan
kolintang serta alat-alat musik lain yang telah dikuasainya. Suasana desa yang
dulu sunyi itu menjadi hidup berkat kehadiran Nelwan yang penggemar musik ini.
Secara tidak disangka-sangka, kemahirannya memainkan kolin
tang itu menarik perhatian orang-orang Jepang yang juga berada di desa itu.
Mereka mendengar sendiri bagaimana lagulagu mereka dimainkan secara indah
sekali oleh Nelwan. Alat musik yang dipakainya pun amat menarik perhatian
karena baru sekali itu mereka melihat bahwa ada semacam alat musik yang dapat
dibuat dari penggalan kayu. Jepang yang sedang berusaha memperbaiki citra
mereka di kalangan rakyat Minahasa, dengan
37
cepat sekali melihat potensi yang dimiliki oleh pemusik buta
ini. Alat yang baru ini pasti akan memikat hati kalangan masyarakat dari
mana ia sendiri berasal. Nelwan diundang untuk mengisi acara melalui radio
Jepang di Manado mulai tahun 1943. Ia diminta memainkan kolintang untuk
mengiringi lagulagu Jepang yang akan dikumandangkan melalui radio. Suatu babak
baru muncul dalam hidupnya.
Ternyata bukan saja bangsa sendiri yang menghrgai karya yang
dengan susah payah diusahakannya walaupun dia seorang penyandang cacat.
Orang-orang Jepang yang waktu itu berstatus sebagai pasukan pendudukan juga mau
memberikan penghargaan karena Nelwan akan ditugaskan untuk mengisi siaran radi
mereka. Tetapi bagi Nelwan sendiri, hal tersebut merupakan suatu kesempatan
berharga yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Tambahan pula, apakah
untungnya membangkang terhadap tentera pendudukan yang terkenal kejam selama
ini. Ia sendiri belum pemah secara fisik mer~sakan bagaimana kejamnya mereka.
Tetapi semua hal tersebut dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya karena dorongan
penyalurnya bakat seni lebih berkuasa dalam dirinya.
Dengan demikian maka berangkatlah Nelwan ke Manado untuk
pertama kalinya. Untuk pertama kali pula ia keluar desa kelahirannya, dan bukan
atas kehendak sendiri pula. Pada waktu itu tidak ada mobil angkutan umum
seperti sebelumnya yang memudahkan orang-orang bepergian ke mana-mana. Bahan
bakar mobil lenyap dari pasaran sehingga hanya mobil-mobil milik pemerintah
pendudukan yang lewat sekali-kali di Kauditan. Orang-orang lain yang hendak
bepergian ke tujuan masingmasing, terpaksa harus membawa kendaraan sendiri
berupa gerobak yang di Minahasa disebut roda. Kendaraan angkutan
tradisional ini, ada yang ditarik oleh kuda, ada pula yang dihela oleh
sapi. Yang ditarik oleh kuda biasa disebut roda kuda se-
38
dangkan yang oleh sapi disebut roda sapi. Menilik
jenisnya, ada yang dinamakan roda tada karena tidak dilengkapi dengan
per mobil bekas, dan ini biasanya ditarik oleh sapi. Yang disebut roda fer adalah
gerobak yang mempergunakan per untuk mengurangi goncangan, dan ini biasanya
ditarik oleh kuda.
Dengan demikian maka bagi Nelwan yang hendak ke Manado,
tidak tersedia kendaraan angkutan selain roda. Dengan ditemani oleh saudaranya
yang laki-laki dan beberapa orang lain, berangkatlah mereka ke Manado dengan
mengendarai gerobak yang ditarik oleh sapi. Jarak antara Kauditan dengan Manado
waktu itu sekitar 30 kilometer. Perjalanan itu akan melewati beberapa desa yang
sekaliannya disebut Minawerot, untuk tiba di Airmadidi. Sesudah itu mereka akan
melewati desa Sukur, Maumbi, Kairagi, untuk tiba di pinggiran Timur kota
Manado. Tikala waktu itu merupakan bagian desa di pinggiran timur kota ini. Di
desa itulah Jepang mendirikan satu pemancar radio, sehingga ke sanalah tujuan
rombongan kecil ini. Perjalanan sekitar 12 jam itu mereka tempuh pada malam
hari untuk menghindari teriknya matahari.
Betapa penatnya Nelwan ketika itu karena diguncangguncangkan
gerobak yang dikendarainya. Matanya yang buta menghalangi dia menikmati
pemandangan sepanjang jalan. Seperangkat alat kolintang turut pula dibawa
bersarnanya. Selain itu ada sebuah gitar selaku pengiring dan sebuah alat musik
bas. Ketiga alat musik ini untuk pertama kalinya membentuk suatu orkes
kolintang carnpuran yang akan menyemarakkan lagi-lagi dalam bahasa Jepang
melalui radio tentara pendudukan. Apakah artinya semua ini bagi kita sekarang?
Setidak-tidaknya tampak adanya perpaduan antara alat-alat musik Barat dan alat
musik tradisional yang didarnpinginya. Dan itu dipadukan untuk mengumandangkan
lagu-lagu dari suatu bangsa yang sementara bertindak selaku penjajah. Temyata
musik yang lem-
39
but itu mampu menerobos batas-batas kultural dan pandangan
hidup yang melekat dalam kepribadian bangsa manapun juga. Dan sadar ataupun
tidak, Nelwan telah turut menyum bangkan sesuatu bagi keindahan yang universal
ini.
Dalam pada itu Nelwan berhasil menyelesaikan tugasnya
mengisi acara siaran radio Jepang pagi hari sek.itar jam delapan. Rasa kantuk
dan lelal1 dikalahkan oleh gairah, semangat, dan kegembiraannya dapat memainkan
kolintang. Ada sedikit penjelasan dari penyiar mengenai alat musik kolintang
dan siapa pemainnya, sehingga para pendengar radio memaklumi hal tersebut.
Sejak saat itu maka nama Nelwan tidak dapat dipisahkan dari musik kolintang
terutama bagi para pendengar di kalangan suku bangsa Minahasa. Sampai saat
itupun Nelwan belum sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi. Kesan mendalam
yang masih membekas hanyalah perasaan puas karena memperoleh sarana penyaluran
bakat seninya dan ia akan semakin mantap dalam penguasaan berbagai alat musik
dan perpaduannya.
Bukan hanya sekali itu Nelwan diminta mengisi siaran di
radio Jepang atau Kosokyoku di Manado. Masih dua kali lagi dengan jarak
waktu yang cukup lama, sehingga dengan demikian, tiga kali tersedia kesempatan
baginya untuk mempopulerkan musik kolin tang melalui radio. Semakin lama
namanya menjadi semakin tenar di kalangan masyarakat, demikian pula lagu-lagu
Jepang, lagu-lagu bahasa Indonesia, bahkan lagulagu bahasa daerah yang
dibawakan oleh orkesnya itu. Dalam ketiga kesempatan tersebut, lagu-lagu yang
berbahasa daerah semakin memukau para pendengar karena terbangkitlah kegairahan
mereka akan keindahan lagu-lagu dalam bahasa mereka sendiri. Biasanya lagu-lagu
demikian tidak pernah memperoleh kesempatan untuk disiarkan melalui radio dalam
masa penjajahan Belanda (karena di Manado belum didirikan pemancar radio pada
waktu itu). Jepang datang dan memperkenankan
40
lagu-lagu bahasa daerah berkumandang melalui radio. ltu
terjadi berkat hadirnya seorang seniman buta yang berhasil mengangkat musik
kolin tang ke gelanggang seni musik, berdampingan dengan alat-alat musik
lainnya yang sudah lebih dulu dipopulerkan.
Banyak juga yang dialami oleh Nelwan dalam masa pendudukan
Jepang. Dari wama desanya ia mendengar bahwa Jepang mengerahkan tenaga rakyat
untuk mengerjakan jalan raya yang melalui desa itu menuju ke Kema. Jalan itu
melalui depan rumahnya sendiri. Kebetulan pada waktu itu dikerahkan rombongan
pekerja yang disebut giliran yang didatangkan dari Amurang, kota
pelabuhan di bagian Minahasa Selatan. Dalam waktu istirahat, ada seorang di
antara kelompok giliran itu yang bertamu ke rumahnya. Orang itu ingin menemui Nelwan
dan memperkenalkan diri bernama Eddy Wartz. Ia sempat mendengar adanya musik
kolintang dan nama Nelwan yang memainkannya melalui radio. Orang itu
menceriterakan bahwa ia sesungguhnya juga berkat musik yaitu sebagai pemain
musik bambu yang mahir. Selain itu ia juga banyak menciptakan lagu. Diajaknya
Nelwan untuk bekerja sama menciptakan lagu, yang dapat diiringi oleh musik
bambu, kolintang ataupun alat-alat musik lainnya.
Nelwan berpikir bahwa tidak ada jeleknya menerima tawaran
itu. Mulai saat itu keduanya bersahabat baik dan bekerja sama menciptakan
lagu-lagu. Lagu-lagu ya ng mereka ciptakan dalam bahasa Jepang karena Eddy
menguasai bahasa tersebut. Nelwan mengusahakan agar sesuai den gan berbagai
alat musik yang ada. Pemerintah pendudukan kemudian membebaskan Eddy dari
tugas-tugas menjadi anggota giliran dan bersama Nelwan, keduanya
sekarang ditugaskan mengarang syair-syair dan lagu-lagu bah'asa Jepang untuk
kepentingan propaganda. Dalam latihan-latihan di Kaduitan, keduanya memadukan
alat
41
musik kolintang yang diiringi oleh tiga gitar serta satu
musik bas. Mulailah orkes mereka meramaikan desa tersebut Keduanya sangat
gembira karena diberikan keleluasaan yang besar untuk mengembangkan seni musik
oleh pemerintah pendudukan yang merupakan penyaluran bakat masing-masing.
Menjelang kekalahan tentara pendudukan Jepang menghadapi
Sekutu maka pemerintah pendudukan Jepang meninggalkan kota Manado lalu
memusatkan pemerintahannya di kota Tondano, terutama mulai Oktober 1944.
Berbagai usaha dijalankan untuk menghadapi kemungkinan pendaratan tentara
Sekutu, antara lain dengan pendidikan lobang-lobang pertahanan dan
menara-menara radar pelacak pesawat musuh. Nelwan merasa heran sekali ketika ia
ditawarkan pekerjaan oleh pemerintah pendudukan untuk menjadi penjaga salah
satu radar yang ditempatkan di Kakaskasen,Tomohon. Setelah dijelaskan bahwa
radar mereka mengandalkan bunyi sebagai tanda akan datangnya pesawat musuh,
maka Nelwan mau menerimanya. Ia diberangkatkan dengan mobil ke
Kakaskasen lalu bekerja di situ sekitar empat bulan. Kalau di desan ya ia
dipanggil Nel sehariharinya, maka orang-orang Jepang memanggilnya Neru. Nelwan
diberikan gaji setiap bulan ditambah rangsum sebanyak dua karung beras.
Penghasilannya itu telah turu t meringankan beban keluarga terutama ibunya,
dalam masa-masa di mana makanan sulit didapat.
Semenjak masih bayi, ia selalu tergantung dari orang lain.
Dan dalam keadaan demikian, amatlah besar peranan ibu. Hal ini senantiasa
menguasai pikirannya. Tidak dapat dibayangkan cara yang sebaiknya dilakukan
sebagai cara untuk menyatakan rasa terima kasih tak terhingga kepada ibunya
itu. Pada suatu malam, tiba-tiba Nelwan terbangun dan mulai bersiul. Ibunya
heran mengapa malam-malam bennain suling. Tetapi dijelaskannya bahwa dia
bennimpi dan memperoleh ilham untuk mengarang satu lagu sebagai pemyataan terima
kasih. Esok paginya ia
42
bangun lalu meminta bantuan kakaknya untuk rnenuliskan syair
yang didiktekannya. Syair itu dalam bahasa daerah dan diber judul "0
Mamaku ". Inilah lagu pertama yang diciptakannya sendiri. Sebuah lagu
sebagai tanda terima kasih kepada ibunya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1943
dalam masa pendudukan Jepang. Segera lagu itu dipadukannya dengan rnsuik
kolintang.
Setelah ciptaannya yang pertama itu, maka berturut-turut
lahirlah lagu-lagu ciptaannya sendiri, an taralain yang berjudul "UngJ...'Uanu
Aku Rawoy". Kalau dalam lagu pertama, ia mengungkapkan rasa terima
kasih kepada ibunya, maka dalam lagu ini ia teringkat akan sendiri sebagai
seorang pemuda yang rnenanjak dewasa. Dalam keadaan wajar banyak ternan-ternan
sedesa yang sebayanya telah kawin. Ia sendiri tidak dapat rnembayangkan
bagairnana pacta suatu hari kelak dapat ia rnenikah. Namun dorongan jiwanya
begitu kuat sehingga rnelalui ilham yang diterimanya sewaktu tidur
diciptakannya lagi tersebu t. Lagu itu pacta intinya rnerupakan persiapan
mental baginya kalau ia kawin dan suatu ketika isterinya rnenyeleweng dan
berniat rneninggalkannya. Nelwan rnenjelaskan kepada penulis bahwa sejak
pengalamannya yang pertama itu, rnaka setiap lagu selalu rnuncul rnengilhaminya
sewaktu tidur di rnalam hari. Dalam keadaan begitu, ia lalu bangun,
bersiul, lalu esoknya menulis syair. Selesai itu lagu yang baru dimainkan
sendiri dengan mempergunakan alat-alat rnusik terutama kolintang.
Lagu lainnya adalah yang berjudul Jam Pukul Lima. Sebenarnya
lagu ini rnerupakan salah satu nyanyian para petani di desanya yang berangkat
ke kebun untuk bekeija. Hanya saja katak-katanya tidak teratur dan
pengalimatannya kurang baik. Nelwan yang tertarik dengan lagu ini, meminta
rnereka untuk bersenandung. Setelah tahu nadanya, rnaka ia lalu menyelesaikan
kata-kata dalam bentuk kalimat dalam bahasa daerahnya. Lagu apapun yang
berhasil diciptakannya selalu dimainkan dengan rnempergunakan alat musik
kolintang. Ternyata rnusik
43
kolintang akan lebih berkesan hila dipakai mengiringi
lagu-lagu dalarn bahasa daerah hila dibandingkan dengan lagu-lagu dalarn bahasa
lain. Inilah yang membuatnya semakin bergairah mertGiptakan lagu-lagu tersebut.
Begitu banyak yang telah diciptakannya sehingga ia sendiri sekarang tidak
marnpu mengingatnya lagi.
Saat yang paling berkesan baginya terjadi pada tahun 1950.
Ketika itu Nelwan sudah berusia 28 tahun, telah menjadi seorang pemuda matang.
Tetapi siapakah yang mau menikah dengannya? Walaupun narnanya tenar· tetapi
tubuhnya cacat. Untunglah ada orang tua sarani yang juga bibi atau tan
tenya, bernama Ferdina Turnatar, saudara perempuan ibunya. Berkat jasa tantenya
ini, maka Nelwan diperkenalkan dengan seorang gadis yang berasal dari desa lain
yakni Desa Pineleng. Desa itu sekarang ini menjadi pusat Kecamatan Pineleng, di
sebelah selatan Kota Manado. Gadis tersebut bemarna Susana Lasut yang
sehari-harinya dipanggil Rameng oleh keluarganya.
Dari perkawinan mereka pada tahun 1950, lahirlah anak mereka
yang pertama yang diberi nama Yantje, seorang bayi laki-laki. Sayang sekali
anak pertama ini tidak berumur panjang Baru seminggu lahir, anak tersebut
meninggal dunia. Betapa sedih hati mereka tidak terperikan karena kehilangan
anak pertama yang menjadi buah perkawinan itu. Barulah dua ta·hun kemudian
lahir anak kedua. Anak laki-laki ini diberi nama Albert yang lahir tahun 1953.
Anak ketiga mereka adalah searang perempuan, yang lahir pada tahun 1955 dan
diberi nama Mieke. Ia sekarang sudah mempunyai dua orang anak bemama Rommy dan
Jimmy. Baru kedua anak itulah yang merupakan cucu Nelwan dan isterinya.
Bertahun-tahun larnanya Rameng tidak lagi mengandung sehingga mungkin hanya
itulah anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Narnun secara tidak terduga,
tahun 1962 Rarneng mengandung dan tahun berikutnya, lahirlah seorang bayi
perempuan. Anak keempat ini diberi nama
44
Rachel. Kebetulan pada waktu itu ada sepasukan tentara yang
clitempatkan di Kauclitan. Mereka berasal dari Jawa Timur. dan bersahabat erat
dengan Nelwan. Karena Rachel lahir tanggal 1 Juni 1963, maka salah seorang
anggota tentara memberinya nama Eka Yuniwati. Karena itu Rachel sehari-harinya
dipanggil Eka sekarang ini.
Barangkali ada orang yang seakan tidak segera akan percaya
atau memahami kenyataan-kenyataan di atas. Bagaimana tidak. Seorang pemuda buta
yang hidupnya dapat dikatakan sangat tergantung dari perhatian orang lain,
akhirnya memperoleh gaclis yang mencintai bahkan mau kawin dengannya. Nelwan
memiliki isteri yang mencintai serta memberikan beberapa orang anak peadanya.
lsteri dan anak-anaknya inilah yang menggantikan peranan ibu dalam masa-masa
hidup Nelwan selanju tnya. Semuanya memberikan andil yang berharga kepada
Nelwan untuk tents berkecimpung dalam bidang seni musik. Bal1kan penguasaannya
dalam berbagai alat musik semakin bertambah berkat dorongan semua anggota
keluarganya.
Di depan sudah dise butkan bahwa Nelwan mahir memainkan
beberapa jenis alat musik sejak kecilnya seperti suling. harmonika, dan gitar.
Kemudian ia berhasil mengem bangkan alat musik kolintang semasa pendudukan
Jepang. Dalam m asa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1947
Nelwan sangat ingin memiliki sebuah alat musik lain yaitu yang disebut hawaiian
gitar. Alat ini milik Landy Dumalang yang baru pulang dari luar negeri.
Orang asal desa Paslaten Tonsea ini, mau menjual barang tersebut bersama
amplifier. Karena itu Nelwan mendesak ibunya agar menjual sebuah kebun kelapa
untuk membayar barang-barang tersebut seharga 300 gulden. Karena sudah menjadi
milik sendiri, tidak memerlukan waktu lama baginya untuk dapat memahirkan diri.
Sebelum itu menjelang masuknya Jepang, ia belajar piano dari guru piano Hengky
45
Pelengkahu di Airmadidi. Tetapi baru tiga minggu belajr,
pecahlah perang. Namun akhirnya alat musik ini pun dikuasainya dengan baik.
Pada tahun 1980 banyak alat musik yang mahir dikuasainya
se1ain alat-alat yang sudah disebutkan di atas. Nelwan dapat memainkan
akordion, dimu1ai dengan meminjam alatnya milik ke nalannya di Desa Kawiley,
Tonsea. Ketika antara 1958-1961 Minal1asa dilanda pergolakan PERMESTA,
pemerintah mendatangkan banyak ten tara dari tempat-tempat lain untuk melawan
gerakan itu. Ada beberapa batalyon yang silili berganti ditempatkan di
Kauditan. Di antara anggota dari berbagai batalyon itu, ada yang gemar musik
sehingga selalu membawa-bawa alatnya walaupu n di tempat bertugas. Antaranya
Letnan Suradji dari Yon 525/ Brawijaya yang pandai memainkan terompet jazz.
Tiga minggu lamanya Ne1wan belajar dan sesudah itu, ia lebih maltir dari
gurunya. Bahkan ia pemah diangkat menjadi pelatih ala t-alat musik keroncong
dan terompet jazz untuk Yon 342 dan 525. Selanjutnya antara 1962-1963, e1wan
belajar saxofon dari seorang anggota Yon 509 yang baru pulang bertugas di frian
Jaya. mayor S1amet yang menjadi gurunya, harus mengakui keunggulan e1wan
sesudah be1ajar dua minggu saja. A1at musik organ ada1ah yang terakhir
dikuasainya pada talmn 1980.
Ala t irti milik Gereja Pentakosta di Kauditan I di mana dia
menjadi anggotanya sejak taJllln 1952.
Perlu diketahui bahwa semenjak 1ahir sampai kawin dan
beroleh seorang anak, Nelwan adalah anggota GMIM. Tetapi di antara anggota
keluarganya yang lain, ada yang sudah pindal1 menjadi anggota organisasi gereja
pentakosta. Namanya Hendrik yang te1ah menjadi pemimpin jemaat yang dinamakan Gembala
di gereja itu. Da1am semua kebaktian organisasi ini mempergunakan alat-alat
musik untuk mengiringi nyanyian, sedangkan GMIM belumlah lasim menggunakannya.
Salah satu hal menga-
46
pa Nelwan pindah menjadi anggota GMIM adalah ketika anaknya
yang pertama meninggal, maka untuk menghibumya, kakaknya mengajak bermain musik
di gereja tersebu t. Lama kelamaan dia menyenangi permintaan untuk terus
bermain musik di gereja. Lalu bersama isterinya, mereka beralih menjadi anggota
Gereja Pantekosta.
Setelah tiga kali mengisi acara melalui siaran radio Jepang,
maka dalam masapemerintahan NIT, Nelwan juga diminta untuk mengisi siaran radio
NIROM. Pada waktu itu Iokasi studionya tidak di Tikala sebagaimana halnya radio
Jepang, melainkan di Sario di kota Manado. Beberapa kali ia diminta
melakukannya dan dalam semua kesempatan selalu dimunculkannya o rkes musik
kolintang campuran yang semakin dikuasai cara memainkannya itu. Ia sendiri yang
selalu memainkan alat kolintang, diiringi oleh teman-temannya yang memainkan
gitargitar dan musik bas. Ada yang dimainkan secara instrumentalia. dan ada
yang merupakan pengiring penyanyi lagu-lagu daerah. Walaupun Radio NIROM
merupakan milik Belanda yang sering digunakan untuk tujuan propaganda
kehadirannya kembali di Indonesia, tujuan Nelwan hanya untuk menyalurkan
bakatnya sambil mempopulerkan musik kolintang untuk hiburan segar bagi
masyarakat luas.
Oleh radio NIROM Nelwan dikontrak sejak 1946 untuk mengisi
acara-acaranya. Kontrak ini berlanjut terus sete1ah radio tersebut menjadi
milik Pemerintah RI tahun 1950, yang berlangsung sampai tahun 1958. Pada tahun
itu Nelwan sendiri memutuskan untuk menghentikan kontraknya, karena ingin 1ebih
mengembangkan bakat dengan membina secara penuh orkesnya di desa. Langkah awal
dalam pembinaan itu adalah dengan membentuk orkes kolintang campuran dan
diberinya nama "Nasib" pada tahun 1951. Orkes ko1intang
campuran inilah yang dapa t dianggap menjadi cikal bakal dari beberapa orkes
47
lain yang dipirnpinnya. Nama orkes pertama ini dipakai untuk
mengenangkan nasibnya sebagai seorang buta. Sayang sekali orkes itu terpaksa
dibubarkan tahun 1958 tatkala daerah ini di- 1anda pergolakan PERMESTA. Nelwan
menemui banyak kesu- 1itan untuk meneruskannya karena banyak anggotanya yang
terpaksa menyingkirkan diri ke tempat-tempat lain.
Pengalaman pertama keluar Minahasa adalah ketika tahun 1957
orkesnya diundang ke Surabaya. Pada waktu itu sedang dilangsungkan Kongres
Pemuda di sini. Dengan penumpang KM Prambanan, berangkatlah kelompok musik dan
rombongan utusan pemuda dari Manado. lrulah untuk pertama kalinya orkes
kolintang "Nasib" melakukan debutnya di luar Minahasa. Nelwan
berangkat didampingi oleh isterinya yang dengan setia sela1u menyertainya
kemanapun Nelwan pergi. Dalam pertemuan pemuda seluruh Indonesia waktu itu, dikumandangkan-
1ah orkes musik ko1intang yang berhasil memikat para pendengamya. Nelwan senang
sekali dengan suksesnya pada waktu
i tu. Perasaan hati yang sedih merunggalkan kampung
halamannya menjadi hilang.
Memang sesungguhnya perasaan demikian menyertainya di
saat-saat pertama kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Manado.Teringa tlah dia
akan kawan-kawan dekat yang namanamanya hanya dikenal melalui suara mereka
saja. Entah apa yang sedang mereka lakukan sepeninggal dirinya. Apakah mereka
juga inga t akan halnya sekarang? Hal ini mendorongnya untuk mengarang sebuah
Jagu semen tara kapal berlayar menuju Surabaya. Lahirlah lagu yang diberi judul
"Woo Mengura-ngura" Lagu itu mengisahkan perasaan hatinya yang
seakan direnggu tkan dari kehangatan pergaulan ramah teman-temannya di desa.
Mata seorang buta kadang-kadang lebih tajam daripada yang melek. Perasaannya
jauh lebih peka pula . Tidak dapat ia menyaksikan keindahan yang membiru.
mengalun dan mengombak
48
di mana kapal yang ditumpanginya berlayar. Tetapi suara
hatinya berkata bahwa semuanya itu tidak lupu t dari jangkau:.tn perasaan.
Dalam kesunyian malam di atas kapal. Nelwan terb:.tngun dan mulai bersiul.
Besok paginya. lahirlah lagu "LauTan Mabim-bint " berupa syair
yang lengkap dengan notasinya. Orkes kolintangnya setiap waktu dapat dikerahkan
untuk memainkan lagu-lagu ciptaannya selama di atas kapal yang sedang berJayar.
Masih ada beberapa lagu lagi yang sekarang ini ia sen diri sudah lupa. Semuanya
diciptakan di atas kapal dalam perjalanan perdananya itu.
Sepulangnya dari Surabaya situasi Minahasa semakin hilngat
karena pergolakan PERMESTA. Tahun berikutn ya dia membatalkan kontraknya dengan
radio. dan beberapa bulan kemudian o rkesnya bubar. Masa antara 1958- I961
adalah masa yang penuh tantangan bagi !\'e!wan. Kesulitannya meneruskan orkes
kolintang campurann ya semakin besar. ketika di pasaran tidak ada lagi orang
yang menjual dawai untuk gitar, baik yang terbuat dari bahan logam maupun dari
tali rami. Tetapi hal itu tidak menyeba bkan ia putus asa. Nelwan beranggapan
bahwa haruslah ditemukan cara untuk mengatasi hal tersebut. Pikirannya segera
beralih ke alat musik kolintang. Mengapa alat ini harus selalu dilengkapi
dengan gitar dan bas. Ia meliha t ada dua kekurangan besar pada kolintang waktu
itu. Yang pertama ialah tidak adanya tangga nada se tengah dan tidak adanya
instrumen pengiring melodi yang juga berasaJ dari pengem ba ngan kolintang.
Kalau begitu ia akan berusaha untuk menga tasinya dengan idenya sendiri pula.
Teringatlah ia ta tkala dengan susah payah di masa
pendudukan Jepang menata tangga-tangga nada. sehingga diperoleh Jebih dari dua
oktaf. Pe ti yang dipakain ya sekarang tidak Jagi peti biasa melainkan pcti
khusus yang dibuat oleh tukang kayu. Ia minta agar dicarikan kayu manderan sebanyak-banyaknya
49
lalu dikeringkan , karena ia akan bekerja mewujudkan idenya.
Dengan susah payah akhimya didapatkan dua o ktaf tangga nada se tengah yang
dicarin ya. Untuk me masangnya agar mudah digunakan, tukang kay u membantunya
mem buat pe ri eli mana kedua deretan tangga nada ini dapat disusun. Tidak sa
mpai di situ
aja. Nelwan terus berusaha m~nyet e l sendiri instrum en
pengjring rn elodi sampai bas. Semakin sempumalah musik ko lintang ya ng di tc
kuninya bertah un-tahun itu. O rkesn ya sekarang terdiri a tas satu ml!lodi, du
a pengiring dan satu bas, yang semuanya dibuat dari kayu manderan. Orang
menamakan orkes barunya ini scbagai orkes kolintang-melulu. karena tidak
lagi pakai gitar. keroncong, dan string bas untuk m elengkapin ya.
Pada tahun 196 1, untuk pertama kalin ya orkes
kolintangmelulu yang dipimpin Nelwan Katuuk dikenal masyarakat. Dengan
rerciptanya nada setengah serta memakai instrum en lain yang mengiringnya, maka
sekarang orkes kolintang jauh lebih baik dan sesuai untuk setiap jenis lagu ,
baik instrum ental ia maup un denga n vokalia. Bahkan tangga nadanya tidak Jagi
dua o kra f, mdainkan dapat dibuat san1pai empat oktaf. Susunan nada dua oktaf,
m elainkan dapat dibuat sampai empat o ktaf. Susunan nacta pacta kolintang melocti
yang berjajar ctua cti ctua tingkat m engingatkan orang pacta alat musik piano.
Kayu pemukul untuk kolintang melodi yang dahulunya dua, se karang menjadi tiga
buah, dua yang dipegang rangkap di tangan kiri untuk dua nada, dan satu di
tangan kanan untuk m engarahkannya. Sungguh diperlukan bakat yang luar biasa
untuk dapat menciptakan hasil yang demikian sempurna ini.
Pemah Nelwan menceriterakan penderitaan lahir batin yang
dialaminya dalam usaha mengembangkan alat musik kolintang ini kepada H V Worang
sewaktu menjaba t sebagai G ubernur KDH Sulawesi Utara. Dikisahkannya bagaimana
caranya ia menata pot ongan demi potongan kayu yang disuruhny'l diseso
diakan waktu itu. Memang ada orang yang membantunya untuk
menggergaji agar semua penggalan kayu itu dipotong sama panjang. Terapi setelah
itu, Nelwan sendiri yang harus menyetelnya sedemikian rupa agar nada yang
diinginkannya dapat diperoleh. Untuk menyetel diperlukan sebuah atau beberapa
bual1 pisau yang tajam. Untunglah kayu manderan tergolong kayu yang Junak
sehingga gampang diraut. Tetapi matanya buta. Sedangkan orang yang melek pun
tidak jarang terluka oleh sayatan pisau, apalagi dirinya yang cacat itu.
Tangannya penuh luka bekas sayatan pisau di mana luka yang satu belum sernbuh.
sudah disusul sayatan lainnya. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Tonsea.
Ungkapan-ungkapan yang dipergunakan elwan dalam bahasa itu sangat menggugah
hati Worang, bahkan ia sampai mencucurkan air mata ketika itu. Tidak saja
Nelwan, isteri dan anak-anaknyapun turut dilibatkan dalam usaha yang penuh
dedikasi di bidang seni musik itu.
Pdada tal1un 1965 sekali lagi ia diundang ke Jakarta untuk
memainkan orkes kolintang melulu-nya. Kali itu rombongannya diminta oleh PNI
untuk bermain di sana walaupun dia sendiri tidak menjadi anggota partai
tersebut. Yang menjemputnya adalah seorang pimpinan PNI di Sulawesi Utara
bernama Jo Lengkong. Di Jakarta. ia ditegur oleh M V Worang yang waktu itu
berpangkat mayor, mengapa ia mau main untuk PNI. Nelwan menjawab bahwa sebagai
seniman ia akan memanfaatkan kesempatan apa saja untuk menyalurkan bakat. Apalagi
ia buta sehingga tidak tahu secara pasti segala sesuatu, termasuk percaturan
politik yang terjadi dalam masyarakat. Worang menasihati agar ia dan rom
bongannya segera pulang ke Minahasa dalam kesempatan pertama. Berangkatlah
mereka pulang ke Manado dan singgah di Balikpapan. Ketika akan meninggalkan
Pelabuhan Balikpapan, didengarnya siaran radio tentang peristiwa G30S/ PKI.
Barulah ia mulai maklum akan situasi politik yang gawat ketika itu.
5 1
Dua tahun sesudahnya, ia diundang oleh organisasi Kawanua di
Jakarta. Dalam bulan Desember 1967 orkesnya untuk pertama kalinya diberi
kesempatan mengadakan siaran lang;ung melalui TVRI J akarta. Namun orkes
kolintang yang dibawanya adalah orkes kolintang campuran. Lagu-lagu yang dikum
andangkan bukannya lagt1-lagu Natal walaupun dalam suasana m enjeIang hari
besar Kristen, melainkan lagu-Jagu daeral1 Minahasa hasil ciptaannya sendiri.
Anaknya laki-laki yang bemama Albert turut berperan sebagai pemain gitar,
dibantu seorang pemuda Minahasa di Jakarta yang mernainkan string-bas. Hal ini
rn em berikan kesan kepada kita bahwa Nelwan benar-benar membina keluarganya
untuk mencintai seni musik seperti dia sendiri. Kelak anaknya Mieke dibinanya
sebagai penyanyi sedangkan
Eka bertindak pula sebagai pemain gitar dalam orkesnya itu.
Sungguh banyak kesulitan bagi seorang buta dal am statusn ya
sebagai kepala rumah tangga dan pecin ta musik. Seorang yah yang matany a n
ormal pun tidak jarang gaga) bertindak selaku pemimpin dalam rumah tangganya. A
palagi karena cacat mata ia tidak dapat ia bekerja me ncari nafkah untuk me
nghidupi keluarganya. Unt unglah tugas itu diambil alih oleh sang isteri yang
setia. Demikian pula dalam pendidi kan ana k-a nak, isterinya itu senantiasa
memikul tanggu ng jawab yang lebih besa r dibandingkan dengan ibu rumah tangga
lain. Eka rnenceriterakan kepada penulis bahwa ayahnya ini mudah sckali
tersinggung dan sering m arah-marah di rumah. Penulis berpendapat bahwa hal itu
mungkin sekali dila tarbclaka ngi oleh kesadaran bahwa sebagai ay ah yang buta,
ia merasa kurang mampu mengawasi dan me ndidik anak-anaknya. Dan kalau se
karang ini m ereka hidup rukun dan damai, tentulah amat besar peranan yang
dimainkan ibu mereka dalam bidang pendidikan dan tatacara pergaulan di rumah
dan masyarakat.
52
Seniman tua dan buta ini ternyata menyenangi nyanyian
anak-anak yang sudah direkam dalam kaset. Hal itu disampaikannya kepada penulis
ketika berkunjung ke rumahnya. Ia terkesan dengan bakat nyanyi Adi Bing Slamet
dan Chicha Koeswoyo serta mengagumi pencipta lagu anak-anak yang mereka
nyanyikan. Akhir-akhir ini hatinya tergugah mendengarkan lagu "
Tunanetra' ' yang dibawakan oleh Yulius Sitanggang. Kepada ternan-ternan
sekampungnya ia berkelakar bahwa kalau suatu ketika ia mati, hendaknya lagi ini
dikumandangkan sebelwn ia dikuburkan.
Sekarang ini semakin banyak orang yang namanya menanjak
berkat musik kolintang dan lagu-lagu ciptaannya, sehingga nama Nelwan
seakan-akan terlupakan orang. Ia kecewa karena ada orang yang membajak
lagu-lagunya bahkan menggantinya dengan judul lain. Misalnya lagu "0
Mamaku" yang sudah diganti judulnya menjadi "Ndoon Niserae". Ia
menghimbau masyarakat agar sudi menghargai hak cipta yang dimiliki siapapun
termasuk dirinya sendiri. Janganlah hak ciptanya turut diperkosa oleh nafsu
mengejar keuntungan komersial sambil melupakan sengaja atau tidak orang yang
menciptakannya.
Nelwan sendiri pada hakeka tnya tidak menginginkan agar
orang lain menghargainya berlebih-lebihan. Semakin banyak orang yang namanya
tenar karena musik kolintang, sama sekali tidak membuat hatinya risau.
Sejarahlah yang membuktikan serta menyaksikan, bagaimana besar penderitaannya
menata musik tersebut sehingga populer ketingkatnya yang sekarang. Namun
sedikit sekali orang yang menyadari hal tersebut, bahkan ada yang karena ingin
menonjolkan diri sebagai pencipta kolin tang, menyebarkan berita bahwa Nelwan sudah
meninggal. Desas-desus itu sampai juga ke telinganya sehingga hatinya menjadi
gundah. Namun apa daya baginya sebagai seorang buta. Satu-satunya harapan yang
masih ada baginya ialah sekali wak-
53
tu, kalau perlu secepat mungkin, ia dapat muncul di layar
TVRI Manad:o un·tuk menunjukkan kebolehannya memainkan berbagai alat musik
termasuk kolintangnya. ltulah harapan yang disampaikannya kepada penulis. Ia
secara pribadi berterima kasih karena masih ada orang yang mau menulis riwayat
hidup dan pengabdiannya dalam seni musik.
Ia merasa bersyukur ketika pada tahun 1976 pemerintah daerah
menganugera.hkannya sebuah piagam penghargaan. Pada waktu itu Sulawesi Utara
merayakan hari ulang tahun keduabelas. Kesempatan tersebut antara lain
dipergunakan oleh gubernur untuk menganugerahkan tanda penghargaan kepada
beberapa orang yang berbakat serta prestasinya menonjol dalam berbagai bidang
antaranya seni musik. Nelwan diberikan piagam penghargaan sebagai Seninam
Terbaik. Piagam tersebut yang bertanggal 23 September 1976, merupakan satu-satunya
pajangan di dinding rumahnya yang sederhana di Kauditan II.
54
BAB IV MUSIK KOUNTANG DEWASA INI
Sejak Nelwan Katuuk mempopulerkan musik kolintang, maka di
mana-mana di seluruh Minahasa orang mencoba membuat sendiri alatnya dan
sekaligus memainkannya. Siaran-siaran melalui radio Jepang, NIROM dalam masa
NIT, serta RRI semenjak tahun 1950 turut mem berikan andil yang besar dalam hal
tersebut. Apalagi Nelwan dengan orkes kolintang campurannya itu memainkan
lagu-lagu daerah yang dikenal merata, serta sejurnlah lagu lainnya pada waktu
itu. Ketukan bunyi kolintang, baik secara tunggal maupun dengan iringan alat-alat
musik lain seperti yukulele dan gitar, berkumandang di mana-mana.
Sejak masa sebelum Perang Dunia II, setiap tahun di Manado
diadakan perayaan yang diisi dengan pertandingan pacuan kuda. Salah satu
organisasi olahraga pacuan kuda menjadi sponsor perayaan tersebut. Untuk itu
maka di Sarlo, di bagian selatan kota, dibangun sebuah gelanggang pacuan kuda,
lengkap dengan panggung untuk penonton. Dalam kesempatan seperti itu tidak
hanya pacuan kuda yang meramaikan suasana, melainkan juga berbagai orkes musik.
Inilah kesempatan bagi mereka untuk berkrihipul memajukan ·~ru musik tradisioial
Minahasa seperti musik bambu melulu, musik bambu seng, musik bambu
55
klarinet, bahkan berbagai jenis tarian daerah. Muncu1nya
musik kolintang semakin menyemarakan suasana waktu itu. Tim bullah ide untuk
mempertandingkan orkes-orkes kolintang yang semakin banyak bermunculan, seperti
halnya dengan berbagai orkes musik lain yang dipertandingkan sejak sebelum
perang. Hal itu untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1956 di tempat yang
sama.
Yang dipertandingkan waktu itu adalah orkes ko1intang dengan
segala versi yang bermunculan di berbagai pelosok Minahasa. Dari hasil
penilaian, ternyata orkes kolintang "Nasib" pimpinan Nelwan yang
menjadi juara Festival Orkes Kolintang saat itu. Tetapi dalam festival yang
sama yang diadakan pada tahun berikutnya (1957), orkes pimpinan Nelwan tidak
muncul karena sedang berada di Surabaya sebagaimana telah disampaikan di depan.
Tahun itu sebagai pemenang festival adalah orkes kolintang dari Tomohon.
Festival itu sendiri diadakan dengan maksud untuk mengembangkan seni musik
tradisional khususnya kolintang yang berada di puncak ketenaran pada waktu itu.
Dari alat hiburan di kebun-kebun. kolintang telah terangkat naik dan berada
sejajar dengan alat-alat musik tradisional Minahasa lainnya. Semakin banyak
yang menggemarinya, semakin membuka kemungkinan pengembangannya lebih lanjut.
Festival-festival di atas sesungguhnya merupakan penyaluran
spontanitas masyarakat pencipta seni musik tradisional. Spontanitas itu pada
hakekatnya timbul karena adanya dorongan naluri yang mencintai keindahan
termasuk keindahan bunyi. Masa pertengahan tahun 1950-an itu dalam pengertian
yang khusus, dapatlah dianggap sebagai masa bangkitnya kernbali suku bangsa ini
untuk m enengok masa silamnya dan mencintai seni budaya sendiri. Mereka
menyadari bahwa khasanah seni budaya mereka cukup kaya dengan warisan nenek
moyang khususnya dalam bidang seni musik. Un·sur kebangsaan turut
56
pula berperan yang mendorong mereka untuk semakin mencintai
seni budaya bangsa sendiri. Yang baik dari Barat mereka mau gunakan terus
setelah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan estetis setempat. Itulah
sebabnya sehingga kolin tang dimainkan berdampingan dengan gitar dan stringbas,
dua di £!ntara alat musik yang diperkenalkan Barat di sini.
Setelah Nelwan Katuuk berhasil m enata orkes kolintang
melulu tahun 196 1, maka periode sampai 1964 ditandai den gan munculnya
berbagai jenis orkes koUntang melulu di seluruh Minahasa. Tahun 1975 di Jakarta
diadakan semacam uji coba teknik musik kolintang di mana ternyata mereka yang
tahu main piano dengan mudah dapat memainkan kolintang. Timbul pemikiran bahwa
kal au tangga nada dan teknik pembuatannya dapat distandarisasi, maka kolintang
mampu disejajarkan dengan berbagai jenis alat m usik internasional.
Sebuah sumber yang patut dikemukakan ialah yang ditulis oleh
M J R Kumaat (1981 : 46-60) un tuk mencapai gelar sarjana pendidikan se ni
musik. Dikatakannya bahwa Tam an Budaya di Manado pada tanggal 8 Mei 1980 m
engundang semua pimpinan orkes, pelatih, dan pemain kolintang untuk
membicarakan bagaimana sebaiknya menata musik kolintang itu. Waktu itu
diedarkan angket agar supaya diisi oleh yang hadir untuk mengumpulkan pendapat
m ereka tentan g penyelenggaraan festival, tangga nada, dan sebagainya.
Masalah-masalah yang dilontarkan waktu itu antara lain :
1. Membawa kolintang dari tem pat asal ke tempat festival
memakan ongkos yang banyak;
2. Memuat kolintang ke mobil a kan mengakibatkan kerusakan
bagi alat-alatn ya;
3. Berganti-ganti alat untuk naik turun panggung m engganggu
tatatertib festival;
57
4. Banyak waktu yang digunakan untuk mengganti alat di
atas panggung dengan yang dibawa tiap kelompok.
Selanjutnya perlu dipikirkan agar :
a. Kelompok orkes kolintang tidak perlu mengeluarkan biaya
pengangkutan alat;
b. Orkes kolintang perlu disediakan satu set saja untuk
dipakai oleh seluruh peserta festival;
c. Ketertiban naik panggung lebih terjamin.
d. Kolintang milik organisasi lebih tahan lama.
e. Hendakn ya dibuatkan satu alat yang dapat diterima oleh
semua pihak/ pemain.
Setelah meneliti masaJah-masalah ini maka ditarik kesimpulan
sebagai beriku t :
1) Perlu ada standarisasi kolin tang.
2) Perlu ada uniformitas pembuatan alat dengan struktur
nada yang sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah/ ham10ni.
1. |
Standarisasi Kolintang.Mengadakan standarisasi kolin tang
berarti mengadakan |
perubahan total terhadap seluruh alat yang ada di Minahasa/
Manado dan alat-alat kolintang yang ada di seluruh Indonesia.
Standarisasi kolintang yang dimaksud adalah penyempurnaan
bentuk, ukuran dan kualitas sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.
Pedoman standarisasi yang akan dipakai adalah pedoman hasil sem inar musik
kolintang yang dilaksanakan di Jakarta tahun 1974 melalui kertas kerja yang
dibawakan oleh penulis sendiri dan diikuti oleh ahli-ahli musik dari Direktorat
Pendidikan Kesenian Departemen Dikbud . bersama guru-guru kesenian se Jakarta
dan guru dari Sekolah Labor IKIP Jakarta. Standarisasi tersebut bertitik tolak
pada :
58
a. Hasil pengetahuan beberapa alat yang dibuat oleh beberapa
pemuat alat yang kenamaan di Minahasa/Manado.
b. Hasil pengujian jenis kayu nada yang digunakan.
c. Hasil pengujian penyesuaian dengan ilmu harmoni dengan
struktur nada yang ada.
d. Hasil penelitian penerapan paduan pada waktu membawa
lagu.
Demikian pun dengan ukuran-ukuran kotak tiap jenis alat
adahili sebagai berikut:
1) Kotak kolintang melodi (lihat gam bar 1)
2) Kotak kolin tang pengiring kecil/arsis (Iihat gambar 2)
3) Kotak kolintang pengiring besar/thosis (lihat gambar 3)
4) Kotak kolintang calo (Iihat gambar 4)
5) Kotak kolintang bas (lihat gam b~r 5)
Ukuran panjang kotak adalah hasil penjumlahan lebar nadanada
yang dipakai sedangkan lebar kotak adalah hasil perbandingan panjang nada yang
diletakkan.
2. Unifonnitas pembuatan alat dengan struktur nada serta
ukuran-ukuran nada tiap jenis alat
Untuk dapat menyodorkan satu jenis alat yang dapat digunakan
oleh semua pemain maka salah satu prinsip yang harus ditempuh adalah membuat
seluruh kolintang itu dalam satu standar nada ialah al. 440. Tinggi not-notnya
hendaknya mengikuti bunyi garpu tala. Salah satu hal lagi yang diperhatikan
ialah prinsip-prinsip harmoni hendaknya dapat diterapkan dan dapat membunyikan
not-not atas dan not-not oktaf bawah. Maksudnya adalah dalam kolintang itu
hendaknya ada perbedaan register pada bagi alat-alat pengiring yang nampaknya
sampai saat ini kurang diperhatikan, sehingga pengiring tersebut tidak memiliki
jenis-jenis register yang berlainan.
59
Struktur nada pada tiap jenis pengiring sangat menentukan
harmonisasi kolintang itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya nada yang
terdapat pada oktaf bawah dan oktaf atas dari nadanada yang ada pada kolintang
itu. Bagi kebanyakan alat kolintang dewasa ini nampaknya hal ini tidak
diperhatikan oleh pembuat. Demikian juga pembelinya sehingga setiap alat yang
ke luar dari satu pembuat selalu berbeda dengan alat-alat dan struktur nada
dari alat yang mendahuluinya. Ini terjadi karena:
a. Pembuat alat ingin menghemat kayu
b. Pembeli tidak mengetahui struktur nada kolintang yang
sebenarnya.
Akibat yang lebih besar lagi adalah setiap pemain
setrampilnya ia bermain, hanya boleh bermain pacta alatnya sendiri. Bila pacta
suatu acara disuruh bermain dengan alat lain tidak dapat ia laksanakan sebab
struktur alat berbeda. Hal inilah yang mendorong karni untuk mengatasi hal-hal
tersebu t di atas demi pelestarian kolintang itu dengan jalan:
I) Semua kolintang harus distandarisasi
2) Struktur nada kolintang distandarisasi
Sesuai ukuran dan fungsinya maka alat-alat pada musik
kolintang diberi nama sebagai berikut:
a) Kolintang melodi
b) Kolintang pengiring kecil/ arsis
c) Kolin tang pengiring besar/guitar/ thesis
d) Celo
e) Bas
Nama-nama ini merupakan nama umum sedangkan pembuat
menggunakan nama-nama yang berbeda-beda sungguhpun peranannya sama. Karena nama
dan fungsi alat ini berbeda, maka susunan nada-nadanya pun berbeda pula. Di
bawah ini kami berikan gam baran susunan nada berdasarkan penelitian dan
manfaatnya dalam permainan. Juga dihubungkan dengan
60
ilmu hannoni. Untuk maksud itu didapatlah struktur nada
sebagai berikut:
I) Kolintang melodi struktur nadanya adalah c..... . ... g
c g1
I
Susunan dan jumlah nada itu demikian karena menurut hasil
penelitian ada lagu-lagu instrumentalia yang harus dimainkan sampai pada nada
tersebut di atas umpamanya lagu S paines E yes. Pada waktu dimodulasikan
ke tangga nada F maka melodi itu mampu memainkannya. Akan tetapi ini tidak
mengikat sebab ada juga melodi yang hanya sampai C dengan kata lain hanya
memilik.i tiga oktaf, malah ada kolintang yang kurang dari itu.
2) Pengiring Yukulele. Pengiring ini tidak ada pada
kolintang
kolintang lain. Bagi kolintang baik luas nadanya adalah
c c
c. Pengiring kecil : luas nadanya adalah G - G
d. Pengiring besar : luas nadanya C - C
e. Untuk celo ada kalanya tumpukan lain digabung dengan
Bas disesuaikan dengan jumlah pemain, luas nadanya
G - G
Sumber Tulisan dari
Buku NELWAN KATUUK SENI
MUSIK KOLINTANG MINAHASA
oleh : Drs. Fendy E.W.Parengkuan_1984