WILLEM ALEXANDER KAHENDAKE SARAPIL

 

KEPALA DAERAH PERTAMA KABUPATEN SANGIHE & TALAUD



WILLEM ALEXANDER KAHENDAKE SARAPIL

disusun oleh:Alffian Walukow.

Dari berbagai sumber tulis dan lisan.





Kepala Daerah Sangihe dan Talaud (1948-1950) meninggal 25-5-1953). Diberhentikan dari jabatan Raja tahun 1928. (digulingkan oleh pemerintah Belanda). Raja Willem Sarapil menjadi ketua federasi raja –raja Sangir-Talaud pada tanggal 20-3-1948 sampai kematiannya 24-5-1953.

Ketika Raja Wellem Sarapil digulingkan dalam waktu singkat tahun 1929, Justhus Kathiandagho menjabat sebagai kepala pemerintahan sementara sebagai jogugu kerajaan Tabukan.

Willem diangkat ulang sebagai raja 1945. Tahun 1946 ia dipilih mewakili Sangihe-Talaud (Satal) mengikuti Konperensi Malino 16 Juli 1946, dan bersama J.E.Tatengkeng, wakili Satal pada Konperensi Denpasar 7 Desember 1946. Otomatis sebagai peserta, diangkat anggota Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) sejak 24 Desember 1946. Kemudian terpilih sebagai Ketua Senat NIT dilantik 28 Mei 1949 sampai pemerintahan NIT bubar 16 Agustus 1950. Willem Sarapil telah pergi ke Jakarta dan Yogyakarta menemui Presiden Soekarno dan Pejabat Presiden R.I.Mr.Asaat, serta menjadi nasionalis yang vokal. Tiga anaknya bahkan berdinas sebagai anggota TNI. Ia pun sejak 1 Mei 1948 diangkat menjadi Ketua Dewan Raja-Raja Sangihe-Talaud di Tahuna, sehingga praktis menjadi Kepala Daerah Sangihe &Tallaud pertama. Ia meninggal dunia 25 Mei 1953.



Raja yang menggantikan Willem Sarapil

Justus Katiandagho. Tahun 1929 (hanya beberapa bulan saja)

Willem Israel Kakomba Sinsoe. Tahun 1929.

Pada pemilihan raja yang digelar di Tabukan 29 November 1929 dan dibuka Residen Schmidt, Willem Israel Kakomba Sinsoe yang asal Tabukan berhasil terpilih menjadi raja, dengan meraih 15 suara. Di tempat kedua Jogugu Macpal, pelaksana raja, memperoleh 9 suara. Calon lain adalah: Paparang memperoleh 8 suara, Johanes Katiandagho 1 suara, Manosoh 1 suara, dan jago dari Residen yakni Justus Katiandagho nihil.



RAJA WILLEM SARAPIL DIGULINGKAN OLEH BELANDA



Silsilah :

Pamoras berasal dari Manalu, dengan tugas sebagai Jogugu Tabukan bagian Selatan. Pada kurun waktu yang tidak diketahui, pamoras pindah ke Naha. Setelah meninggal, jenasahnya dimakamkan di Kampung Lesabe, Manalu.

Pamoras menikah dengan Adinda Janis dan melahirkan : David Jonathan Papukule Sarapil (anak tunggal)

David Jonathan Papukule Sarapil menikah dengan Rahel Nuria Tontong, asal Tariang Lama.

Nuria memiliki kakak bernama Lea dan adik bernama Kada-Kada pernah menjadi Kapitalaung Naha, seterusnya meninggal di Manado (di Teling)

Dari pernikahan David dan Nuria memperanakan :

1. Willhelimna Sarapil

2. Willem/Wiliam Alexander Kahêndakê Sarapil

3. Frida Sarapil

4. Sophia Sarapil

5. Ariensong Sarapil

6. Hellena Sarapil

7. Costantein Sarapil

Rahel Nuriah Tontong Lahir di Tariang Lama 8 Juni 1863_Meninggal di Enemawira : 6 Desember 1952



Zelfbestuurder Landschap Tabukan Willem Alexander Kahendake Sarapil di bulan Agustus 1921 peroleh anugerah bintang perak (zilveren ster) untuk pengabdian dan kesetiaannya. Ia sangat terdidik. Masih belia, umur 12, di bulan Agustus 1904 ia telah dikirim oleh ayahnya bersekolah di Negeri Belanda, masuk School met den Bijbel di Varsseveld lalu Gymnasium (HBS) selama 4 tahun di Arnhem. Tahun 1910 ketika kembali, telah diangkat sebagai Kapitein Laut di Menalu 1913, lalu Jogugu Karakelang. Ia kemudian naik tahta sebagai raja dengan menggantikan ayahnya David Jonathan Sarapil yang mengundurkan diri. Secara resmi dilantik dengan meneken korte verklaring 4 September 1922, dan peroleh pengesahan Gubernur Jenderal 15 Januari 1923 nomor 28.

Latar belakang diberhentikannya Willem Sarapil dari jabatan Raja.

Berawal dari laporan Dr.Hendrik Kraemer yang bertugas sebagai Zendings-consul. Ia telah berkunjung ke Sangihe-Talaud bulan April 1928.

Kraemer menyelidiki sejumlah laporan tindak berlebihan para raja termasuk diantaranya peristiwa yang terjadi di tahun 1927, ketika Residen Manado berkunjung untuk pertamakalinya ke Sangihe-Talaud sejak pengangkatannya. Pada kunjungan tersebut residen telah diterima pemerintah setempat dengan kemegahan adat, penghormatan kebesaran, dan tari-tarian yang dibawakan pria dan wanita, yakni Upase dan Alabadiri yang justru masa itu dianggap bertentangan dengan norma agama yang dianut kebanyakan penduduk.

Di Siau, terjadi penolakan oleh beberapa nona Kristen, ketika diperintah untuk ikut menari pada acara tersebut. Mereka kemudian bersama-sama meminta ‘perlindungan’ seorang penatua. Hal mana tidak menyenangkan raja yang mendapat kesan kalau penatua menentang kekuasaannya. Masalah mana telah meluas, hingga menimbulkan pro dan kontra serta konflik antara raja dan Zending.

Tiba-tiba, bulan Desember 1928, diumumkan terjadi kas tekor di landschap tiga kerajaan. Raja Siau Lodewijk Kansil, Raja Tahuna Christiaan Ponto dan Raja Tabukan Willem Sarapil diberhentikan untuk sementara.

Tapi anehnya, Residen Schmidt seakan melempar tanggungjawab kepada Kontrolir Tahuna de Boer dan Asisten-Residen Fagginger Auer. Dalam sebuah konperensi pers ‘istana’ di Batavia akhir Februari 1929, Schmidt mengungkap kalau Kontrolir de Boer melakukan inisiatif sendiri untuk menyelidiki ketiga raja tersebut. Dan Fagginger Auer adalah pejabat di atasnya yang bertanggungjawab.

Penemuan kas tekor, diungkap media, telah terjadi sejak 1927, tapi ‘terlupakan’ oleh kesibukan penyambutan Gubernur Jenderal Jhr.Andries Cornelies Dirk de Graeff yang datang ke Manado dan Sangihe-Talaud. Baru diselidiki lagi ketika Dr.Kraemer mengingatkan ketika berkunjung ke Satal April 1928. Di bulan JulI 1928 mulai dilakukan penyelidikan oleh Kontrolir Tahuna. Tapi, karena kekurangan personil, baru bulan November 1928 dilakukan investigasi serius.

Dipaparkan, antara tahun 1924 dan 1928, dari kas ketiga raja telah menghilang belasan ribu gulden tanggungjawab mereka.

Para raja di Sangihe dari pemerintah Belanda ketika itu menerima gaji sebesar 400 gulden per bulan (atau setara dengan Rp. 3.186.958,33) ditambah ongkos perjalanan dan akomodasi yang diambil dari kas onderafdeeling. Selain itu, mereka memperoleh pendapatan pribadi dari perdagangan kopra yang dimonopoli Menado Produce Company, anak perusahaan Makasser Produce Company dan Deensche Maatschappij.

Pemberhentian para raja ini menimbulkan reaksi meluas bukan hanya di Indonesia kala itu, tapi juga di Negeri Belanda. Para istri raja (Boki) membentuk Comite van Actie bij de Boki. Mereka berjuang demi kebebasan suami mereka, antara lain dengan mengirim telegram kepada F.W.Hugenholz, tokoh yang sangat berpengaruh di lingkaran tinggi Belanda.

Sejak menerima telegram tersebut, dari Belanda kemudian datang Mr.J.E.W.Duys, anggota Tweede Kamer dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP). Mantan Raja Willem Sarapil dikenal memang memiliki banyak kenalan di Negeri Belanda serta menjalin hubungan baik dengan kalangan partai sosialis tersebut.

Dengan instruksi Residen Schmidt, pada April 1929 dilakukan persidangan terhadap para raja yang diketuai mantan Asisten Residen P.C.A.van Lith yang menjabat Onderhoofd van de Afdeeling Bestuurszaken der Buitenbezittingen van het Department van Binnenlands Bestuur (BB=pemerintahan dalam negeri). Anggota Majelis Persidangan adalah Raja Tagulandang Hendrik Philips Jacobs, dan dua orang kepala distrik.

Putusan akhir, ketiga raja dinyatakan bersalah dan diasingkan ke Sulawesi Tengah. Dari tuntutan 4 tahun, Raja Siau Lodewijk Kansil diasingkan selama 2 tahun di Parigi. Raja Tabukan Willem Sarapil diinternir 2 tahun di Kolonedale. Paling berat, adalah Raja Kendahe-Tahuna Christiaan Ponto, diasingkan selama 3 tahun di Luwuk.

Pemberhentian mereka pun secara resmi diputus dengan turunnya beslit gubernemen tanggal 14 Mei 1930. Ketiganya sama, bernomor 1.

Sejak diberhentikan dan diasingkannya Willem Sarapil, maka terjadi kekosongan jabatan Raja.

Setelah melalui keputusan pengadilan adat, diputuskan mengisi kekosongan pemerintahan. Residen Manado Schmidt pada pertengahan April 1929 mengangkat :

- Raja Hendrik Philips Jacobs dari Tagulandang, untuk sementara bertanggungjawab menjalankan fungsi Raja Siau.

- Raja Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis dari Manganitu menjalankan fungsi Raja Kendahe-Tahuna

- Jogugu Levinus Israel Petrus Macpal dari Tabukan menjalankan fungsi Raja Tabukan.

Pada bulan November 1929, dilakukan pemilihan Raja secara ‘adat’ dan terpilih :

- Harmanses, sebagai sebagai Raja Siau.

- Makahekum, sebagai Raja Manganitu

- J. Katiandagho, sebagai RajaTabukan

Hasil pemilihan tersebut diprotes legitimasinya, karena campur tangan Residen Schmidt, serta ancaman terhadap peserta pemilihan.

Penolakan terhadap pemilihan para raja ini dibicarakan oleh anggota Volksraad Dr.G.S.S.J.Ratu Langie dalam sidang parlemen itu. Mereka yang melakukan protes adalah : Kapitein Laut Tabukan, dan oleh pemenang pemilihan di Tabukan yaitu Willem Israel Kakomba Sinsoe yang menjabat Hoofdcommies bij de Afdeeling Comptabiliteit di Palembang.

Pada pemilihan raja yang digelar di Tabukan 29 November 1929 dan dibuka Residen Schmidt, Willem Israel Kakomba Sinsoe yang asal Tabukan berhasil terpilih menjadi raja, dengan meraih 15 suara. Di tempat kedua Jogugu Macpal, pelaksana raja, memperoleh 9 suara. Calon lain adalah: Paparang memperoleh 8 suara, Johanes Katiandagho 1 suara, Manosoh 1 suara, dan jago dari Residen yakni Justus Katiandagho nihil.

Termyata, Residen Schmidt menganulir hasil pemilihan tersebut. Maka, esok harinya dilakukan pemilihan kembali. Pemilih disuruh masuk bilik tertutup, diancam dengan pemecatan, bila tidak memilih jago residen saja. Dari 32 orang pemilih, 15 orang ‘terpaksa’ meneken surat pengakuan yang disediakan Residen.

Akibat gejolak politik yang terjadi, hasil pemilihan raja-raja tersebut kemudian dibatalkan pemerintah Hindia-Belanda. Lalu untuk mengatasinya, pada 13 September 1930, di Tahuna, ditetapkanlah Albert Abast Bastiaan sebagai Raja Kendahe-Tahuna dengan meneken akte van verband, yang kemudian memperoleh pengesahan dengan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7. Gajinya f.400 per bulan.

Dua hari kemudian, 15 September 1930, Levinus Israel Petrus Macpal, resmi diangkat sebagai Raja Tabukan dengan meneken akte van verband, dan memperoleh pengesahan dengan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7, dengan memperoleh gaji bulanan f.400.

Keesokannya, Aling Janis, Jogugu Ulu, dilantik 16 September 1930 sebagai Raja Siau dengan meneken akte van verband, dan dikukuhkan beslit gubernemen 2 Februari 1931 nomor 7. Gajinya juga f.400 per bulan.

Orang-orang yang terlibat dengan peristiwa ini, dari pihak Belanda, rata-rata memperoleh promosi. Residen Schmidt menjabat di Manado hingga 1 April 1930. Kolonel tituler ini pulang ke Belanda, diangkat jadi Ajudan Ratu Wilhelmina dan peroleh dua penghargaan. Asisten-Residen Fagginger Auer Agustus 1929 dipromosi jadi Residen Tapanuli. Eks Kontrolir de Boer jadi Asisten-Residen. Bekas President Adatrechtbank van Lith jadi Direktur BB Hindia-Belanda 1933.

Eks Raja Kendahe-Tahuna Christiaan Ponto tahun 1933 kembali ke Tahuna. Ia tidak terlibat lagi dalam politik di bekas kerajaannya, meski masih sangat berpengaruh.

Sedangkan dua mantan raja lain telah pulang dari pengasingan awal Desember 1932 setelah menyelesaikan masa pembuangan. Mereka bekerja kembali. Mantan Raja Siau Lodewijk Kansil tahun 1940 telah diangkat sebagai Jaksa, dan mantan Raja Tabukan Willem Sarapil aktif dalam dinas pemerintahan, ditempatkan sebagai bestuurs-asistent di Sulawesi Tengah. Sarapil menjadi ambtenar yang bertanggungjawab atas penyelesaian masalah penduduk illegal di wilayah Manado, dan pekerjaannya sangat dipujikan Residen Manado. Sumber : adrianuskojongian_blogspot_com

 

Postingan populer dari blog ini

Sangihe - Siau - Taghulandang sampai tahun 1939

Mengenal Gajah Purba Sangihe, Stegodon Pintarengensis

Fam Makaminan dan Perannya di Masa Lalu