SEJARAH RITUAL TULUDE SANGIHE
SEJARAH TULUDÊ
Oleh : Alffian W. P. Walukow, S.Pd. M.Pd
A.
UPACARA ADAT
SUNDENG SEBAGAI TITIK AWAL LAHIRNYA TULUDÊ
Kepercayaan tua suku Sangihe disebut “Sundeng”. Sundeng memiliki pengertian “pengorbanan besar”. Proses pengorbanan yang dilakukan melalui sebuah
ritual disebut “mê-sundeng”.
Meskipun belum ada data pasti
mengenai keberadaan Sundeng di
masa lalu, tetapi bukti keberadan Sundeng
masih ada sampai
saat ini dalam bentuk tradisi lisan. Bukti-bukti lain berupa lokasi atau tempat-tempat pengorbanan “utama “di lembah, maupun di
perbukitan. Petunjuk mengenai keberadaan
Sundeng dapat ditemukan juga melalui tutur “tua-tua adat” yang hidup
disekitaran wilayah “bekas” tempat upacara Sundeng .
Dimasa kini, masyarakat Sangihe menyebut tempat ritual tersebut sebagai “tampă”
atau “tampă u pêngamałeng”. Kegiatan
yang dilakukan di tempat “pengamałeng” adalah “mengamałě”
yang berarti “menyembah dan memuja”. Kegiatan utama
dari mengamałě adalah “mě hale”. Mě hale adalah prosesi
ritual pemujaan yang dilakukan dengan
cara “menyanyi”. Lirik-lirik nyanyian mě hale adalah syair mantera
(mantera adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia). Jika para
pengikut Sundeng sedang mě
hale, kegiatan tersebut dinamakan “mě kałantô”. Mě kałantô berasal dari kata kałantô yang berarti
“Nyanyian Kematian”. Proses
“kałanto” dilakukan pada upacara pengorbanan saat “korban” sedang
menghembuskan nafas-nafas terakhir. Mê
kalantô dilakukan dengan cara berbalas atau “mě
bawaļisě/mê bawaļasê” oleh pelaku Mě kalantô dengan cara
dinyanyikan. Lagu-lagu mêkalantô bernada pentatonis.
Menyanyikan lagu dengan gaya mêkałanto
disebut “mě ganding”.
Tidak diketahui kapan dimulainya
tradisi mê sundeng di kepulauan Sangihe. Diperkirakan, tradisi ini sudah
ada jauh sebelum kerajaan Tabukan
didirikan oleh raja pertama
Gumansalangi dikisaran tahun1300. Aktifitas
“mêkalantô” dalam kepercayaan
sundeng berangsur mulai memudar
sejak masuknya bangsa Eropa di
kepulauan Sangihe. Dimasa itu, para pengikut “mêkalanto” dianggap sebagai “tenung
atau sihir”. Sampai tahun 1980-an
ada beberapa daerah yang masih
mempertahankan “kałantô” sebagai
bagian dari “budaya leluhur”. Memasuki
masa kolonial Belanda, Tradisi “mêkalantô dan mê hale mulai dilaksanakan
secara terpisah. Dua tradisi tersebut
pada akhirnya mengalami kepunahan. Alasan lain penyebab kepunahan
karena tekanan dari masyarakat beragama yang menganggap tradisi
tersebut bertentangan dan
menyimpang dari kebiasaan. Tekanan terjadi
karena syair yang
dinyanyikan masih menggunakan bahasa “Sangir
Tua” yang tidak lagi dimengerti oleh generasi muda. Alasan
lain adalah : karena syair
yang dinyanyikan, kedengarannya
sangat memiluhkan dan
menakutkan. Dari sudut
pandang lain ada beberapa tokoh adat
mengatakan bahawa mê hale bukanlah bentuk kekafiran, tetapi sebagai bagian
pujian yang bermakna “haleluyah” yang di singkat “hale”. Proses ini mungkin seperti bentuk inkulturasi
tradisi Sangihê ke dalam ajaran Kristen.
Ciri-ciri penganut
Sundeng yang berkałantô pada perempuan adalah :
menggunakan pakaian “laku
têpu” berwarna kehitaman
dari bahan hote (serat pisang abacca) yang sering disebut “baju koffo’.
Menggunakan selendang bersilang
dada dan menggunakan “boto pusigê” (konde) dengan nama
lain “boto ampuang”.
Selain kegiatan Mě kalanto, dalam upacara
Sundeng dilakukan juga kegiatan “Sumalo” atau “tari pengorbanan” . Tarian ini hanya ditarikan oleh “Ampuang” (Ampuang
adalah Imam atau pemimpin keagamaan dan pemimpin ritual).
Gerakan tari “Sumalo” adalah : berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat sambil
memegang “Bară” (pedang ). Pelaku tari
(mereka bukan penari)
mengibaratkan dirinya seperti sedang
berperang. Konsep tari “Sumalo” adalah “Peperangan
melawan Roh Jahat” yang
mengganggu jiwa korban saat
akan terlepas dari raga.
Melakukan gerak “Sumalo”
juga di sebut sebagai “mê salai”
(menari) sedangkan gerak tarinya di namakan “kengkeng” (kengkeng artinya meledak, pincang) atau “taha” yang berarti batang pohon. Dinamakan kengkeng
karena salah satu gerakannya adalah menghentak-hentakan kaki ditanah menyerupai cara berjalan orang pincang, sehinga menimbulkan bunyi yang kuat.
Dinamakan “taha”, karena para penari juga
menghentakkan kaki di batang pohon.
Gerakan “kengkeng” masih bisa ditemukan pada gerak tari “salaing ese” (tarian lelaki) pada
tarian “salaing ese” dari kampung “Menggawa-Tamako”. Pada saat
ini dikepulauan Sangihe terdapat sebuah tarian bernama “tari salo” yang diadaptasi dari
“tari sumalo”. Salo memiliki pengertian lain sebagai “berteriak”.
Tarian kengkeng memiliki kesamaan fungsi dengan tari “lide”, (lide artinya tekan). Tari lide adalah tari “pengantar
roh” dalam upacara Sundeng di
wilayah Manganitu. Tari lide
dilakukan oleh ampuang perempuan dengan cara saling mengaitkan jari kelingking
tangan sambil berputar-putar mengitari/melingkari “korban”. Para pelaku “lide” dalam melakukan gerak, kakinya
tidak menyentuh tanah tetapi melayang.
Alasan pemberian nama lide bukan karena
tariannya tetapi pada
musik pengiringnya. Gerak tari lide
diiringi oleh musik “lide” yang pada saat
ini dikenal sebagai musik “oļi”. Pemberian nama “lide” didasarkan
pada jari-jari yang menekan lobang-lobang suling. Suling dalam
bahasa sangir disebut “bansî”.
Proses menekan disebut
sebagai “mênêłide” atau “têłide”.
Korban dalam
upacara sundeng adalah
seorang perempuan yang masih mudah dan masih perawan. Berbeda dengan
pengorbanan yang dilakukan oleh Abraham dalam cerita Alkitab dan
pengorbanan yang dilakukan dalam tradisi pengorbanan di suku-suku tua lain, manusia yang akan dikorbankan sudah dipersiapkan
jauh sebelumnya. Dalam tradisi pengorbanan Sundeng, perempuan yang akan dikorbankan, tidak pernah dipersiapkan sebagai korban sebelumnya. Berdasarkan beberapa sumber
lisan, di beberapa lokasi di
pulau Sangihe, menjelaskan bahwa
jika pengorbanan dilakukan di Utara maka akan ada
perempuan yang hilang di
Selatan dan sebaliknya. Korban diambil dari
tempat yang sangat
jauh dari lokasi
pengorbanan beberapa saat
menjelang ritual. Perempuan yang akan
dijadikan korban ditangkap oleh
orang-orang khusus dengan cara
diculik. Dikemudian hari, tindakan menculik
manusia secara misteri disebut sebagai “hogâ” atau “lahi”. Orang
yang berpostur tubuh
besar di pancung dan yang kecil di tangkap.
Tradisi lisan lain yang
menceritakan mengenai penangkapan manusia terdapat pada
cerita “upung wuala” di Manganitu
Selatan. Diceritakan, ada seekor
buaya siluman (buaya jadi-jadian atau buaya jelmaan) yang berjalan tegak seperti manusia dari
kampung Kaluwatu sampai ke
kampung Salurang melalui kampung Laine. Buaya tersebut
berikat kepala kain merah. Kebiasaannya adalah mengetuk pintu rumah dimalam
hari dan meminta sesuatu yang
diinginkannya. Jika tidak
diberikan maka salah
satu anggota keluarga didalam rumah tersebut akan di tangkap dan dibawah ke tempat jauh. Kisah
ini merupakan sebuah legenda yang pernah diceritakan dimasa
lalu di daerah Manganitu Selatan.
Bentuk pengorbanan manusia dalam
agama sundeng adalah : membaringkan
korban diatas batu lalu di tikam
menggunakan sebatang pohon bernama “kenang”. Diyakini
bahwa korban tidak akan merasakan
sakit jika ditikam dengan batang pohon kenang.
Jenis pohon kenang yang
digunakan adalah jenis pohon “kenang tŭa”. Setelah korban
menghembuskan nafas terakhir, ampuang
mengambil darah yang mengalir dari tubuh korban dan membagikannya kepada para pembantu ampuang untuk diminum.
Alasan dilaksanakannya ritual pengorbanan dalam kepercayaan sundeng adalah sebagai berikut :
1.
Apabila terjadi
bencana alam yang mengganggu kesejahteraan
hidup manusia dan lingkungannya.
2.
Manusia melakukan
pelanggaran yang bertentangan dengan
kebiasaan hidup.
3.
Wabah penyakit.
Penganut sundeng
meyakini bahwa semua itu terjadi
oleh kehendak sang pencipta
sebagai sebuah kutuk, dalam bahasa sangir
disebut “sasalu, mêsasalu” (laknat,
sumpah, dalam KBBI diartikan sebagai perkataan
yang menimbulkan bencana).
Untuk menghilangkan kutukan
tersebut, harus melalui ritual
pengorbanan manusia.
Berbeda dengan tradisi tua Lapango (Manganitu
Selatan), untuk menghilangkan kutuk diganti dengan bentuk ritual
lain yaitu :
1. Membuat miniatur rumah berbentuk “bale
lawo” lalu dicat dengan warna
kuning.
2. Melengkapi rumah tersebut dengan perlengkapan sebagaimana kehidupan nyata.
3. Memantrai rumah tersebut dengan mantera
penolak atau penghapus kutuk.
Selain sebagai
ritual pengorbanan, sundeng adalah sebuah persekutuan atau perhimpunan masyarakat yang
terorganisasi, didalamnya mengatur pelaksanaan ritual dan peraturan-peraturan
adat. Sebagai sebuah komunitas yang terorganisir, sundeng memiliki struktur
sebagai berikut : Komunitas Sundeng dipimpin oleh seorang “ampuang
bawine” (ampuang perempuan) sebagai pemimpin
tertinggi yang juga bertugas memimpin
ritual pengorbanan. Kata ampuang memiliki
pengertian yang serupa
dengan kata pu, êmpu yang berarti priester
( Mr.K.G.F. Steller en Ds.W.E.Aebersold, Sangirees –Nederlands
woordenboek,hal-8 ). Priester memiliki
pengertian sebagai Pendeta,Padri atau Biksu dimasa kolonial Belanda. ( http://www.hanifeljazuly.blogspot.com ). Kata êmpu adalah kata dasar dari kata perempuan dengan
afiksasi per+an yang diserap
dari bahasa sansekerta : “pu” yang
artinya suci, bersih. (https://storify.com/sienny_/wanita-atau-perempuan-by-at-eriksupit
).
Dalam proses pengelolaan persekutuan
Sundeng, ampuang bawine dibantu oleh
beberapa “ampuang ese”
(ampuang laki-laki jika menjadi pemimpin tertinggi dinamakn Baliang)) dan ampuang bawine lainnya.
Ampuang pembantu adalah pemimpin persekutuan sundeng besar.
Setiap ampuang pembantu
memiliki beberapa pembantu yang disebut
Tatanging. Salah satu
tugas Tatanging adalah mendampingi korban memasuki altar pengorbanan. Tugas seperti
itu disebut juga
sebagai “sanggełê”. Mereka diibaratkan sebagai pengiring pengantin. sanggełê”.
atau
“tatanging” memiliki pengertian sebagai pengiring atau pendamping.
Selain bertugas sebagai pembantu Ampuang, para Tatanging
bertanggung jawab sebagai pemimpin
persekutuan Sundeng besar. Disetiap persekutuan sundeng besar
terdapat beberapa persekutuan
sundeng kecil yang dipimpin oleh
para “bihing”. Pengertian
“bihing” adalah: 1). Murid, 2). Perempuan muda yang dipersiapkan menjadi
ampuang.
Persekutuan Sundeng “Induk”
terbentuk dari beberapa persekutuan
sundeng
besar. Persekutuan Sundeng
besar terbentuk dari kumpulan persekutuan sundeng
kecil. Pembagian
kelompok-kelompok persekutuan didasarkan
pada kedudukan wilayah. Pembagian wilayah
dan pusat persekutuan Sundeng dikelompokan
berdasarkan teritorial penganut sundeng yang dibagi menjadi : Wilayah Utara,
Tengah, Selatan dan kepulauan diluar
pulau Sangir. Dalam
hal ritual pengorbanan,
persekutuan sundeng kecil
terhubung ke persekutuan besar
kemudian ke induk persekutuan. Terkecuali
persekutuan sundeng diluar
pulau sangihe mereka terhubung
langsung dengan induk.
Induk persekutuan
sundeng tidak memiliki tempat tetap sebagai pusat ritual pengorbanan (sering berpindah).
Persekutuan sundeng besar dan kecil memiliki pusat ritual tetap, akan tetapi
tidak melaksankan ritual
pengorbanan. Peserta ritual sundeng pada
persekutuan Sundeng induk merupakan gabungan atau
campuran berbagai wilayah.
Persekutuan besar dan kecil, penganutnya adalah mereka yang tinggal berdekatan
atau “mungkin” berdasarkan “klan”.
Pelaksanaan ritual sundeng berproses sebagai
berikut :
1. Penganut berkumpul
ditempat yang sudah
disepakati berdasarkan kebiasaan.
2. Mempersiapkan korban.
3. Melakukan pengorbanan.
Tata cara pengorbanan
adalah:
§ Korban di baringkan
diatas batu (altar) dalam bahasa
sangihe disebut sebagai “dapuhang penanêmbang”.
§ Ampuang mulai ber kałantô.
§ Korban ditikam menggunakan sebatang tanaman yang sudah dirucingkan.
Tanaman tersebut dalam bahasa
sangir bernama “kênang”.
§ Selanjutnya, darah
yang mengalir diminum oleh
pelaksana ritual sebagai bentuk
penyucian.
§ Saat
korban sedang menggelepar
menghembuskan nafas terakhir,
para tatanging mulai
melakukan gerakan “sumalo”
dan “mêlide”. Gerakan
tersebut bermakna sebagai penghantar
roh dan sebagai bentuk perlawanan
kekuatan baik kepada kekuatan jahat yang
kemungkinan dapat mengganggu perjalanan roh.
4.
Setelah semua kegiatan
pengorbanan selesai, semua peserta makan bersama.
5. Selanjutnya para peserta mulai
beratraksi kesenian seperti : Mê
tagonggong,
menirukan gerak sumalo, dan mêlide.
6. Selesai.
Sesuatu yang kontradiksi
dengan tradisi lisan mengenai
Sundeng yaitu tidak
ditemukannya bukti kuburan para
korban disekitar tempat
pengorbanan.
Kedatangan penginjil protestan mula-mula oleh kerajaan Belanda antara tahun 1674
- 1676 sampai menjelang tahun 1700 (pada masa VOC) di
kepulaun Sangihe, melarang
pengorbanan manusia dan
menggantinya dengan pengorbanan
hewan. Beberapa sumber dari beberapa versi menyatakan bahwa hewan yang
dikorbankan adalah babi dan kambing. Sumber lain dari Manganitu, Manganitu Selatan dan Tabukan Selatan menguatkan
bahwa korban pengganti manusia adalah babi. Babi korban adalah babi bersyarat seperti : babi
tambun gemuk, sekujur tubuh harus
berbulu dan berkulit hitam.
Sejak menggunakan hewan sebagai
korban, proses pengorbanan tidak lagi
diletakkan diatas batu, melainkan digantung
pada dahan pohon-pohon besar. Pohon
yang menjadi media
pengorbanan adalah pohon “nunŭ” (pohon beringin). Beralihnya tempat
pengorbanan dari batu
ke pohon-pohon besar maka
beralih juga penetapan lokasi
ritual. Tata cara pengorbanan
dimasa menggunakan hewan
masih sama dengan
menggunakan manusia sebagai korban.
Bergantinya pengorbanan manusia
ke binatang mempengaruhi tampilan kesenian yang dilakukan dalam ritual sundeng. Sumalo
teradaptasi ke tari Salo,
mê lide teradaptasi
ke ansambel ołi, mê sałai (salaing bawine) teradaptasi ke bentuk
dasar tari gunde
sebagai tari tunggal, sałaing ese berubah
konsep dari gerakan penghantar
roh menjadi tarian ritual perkawinan. Mêkałantô menjadi cikal
bakal lahirnya beberapa tradis “mê bawalasê seperti : mê bawałasê
sambo yang bertranformasi ke mê
bawałasê kantari lalu ke masamper.
Seiring waktu, tradisi sundeng mengalami banyak perubahan, berawal dari
pengorbanan manusia kemudian diganti dengan pengorbanan hewan sebagai symbol penyucian.
Pengorbanan hewan juga mengalami perubahan diganti dengan sesajian berupa makanan dalam wujud nasi yang
dibungkus dengan janur kelapa (êmpihisê) dan direbus dengan santan kuning.
Pengistilahan pengorbanan terhadap
tempat pengorbanan kemudian menjadi “pêndaruałeng
atau pananualeng” yang berarti tempat penikaman
dari kata dasar “duałê” yang berarti
tikam.
Dipertengahan tahun 1800, badan
penginjilan Belanda (NZG) mengirim
utusan dari Minahasa bernama S.D.
van der Velde van Capellen ke pulau
sangihe dan membaptis 5033 orang
menguatkan pemahaman bahwa sejak saat
itu semakin berkurangnya penganut
Sundeng. Kedatangan S.D. van der Velde van Capellen sampai
masuknya utusan injil dari Zendeling
werklieden tahun 1857, berdampak
kepada penganut sundeng yang
selanjutnya menemukan jalan simpang. Sebagian penganut, tetap menjalankan kałanto sebagai warisan
tradisi sundeng dan sebagian lagi
menemukan tradisi baru yaitu “medarorô”. Medarorô
pengertianya adalah memanggil
arwah, dari kata dasar “dorô” yang
berarti hinggap atau kemasukan.
Arwah-arwah yang dipanggil
adalah arwah leluhur atau
arwah orang sakti.
Maksud diadakannya medarorô
adalah untuk menemukan jawaban
atas kecemasan. Biasanya dalam setiap
kegiatan medarorô, yang dilakukan
adalah meminta obat untuk menyembuhkan orang
sakit yang sedang
sekarat, juga penyucian dan
pembersihan diri atas penderitaan.
Setelah ritual sundeng, mêkałantô,
dan mêdarorô tidak lagi diterima oleh
sebagian besar masyarakat sangihe
yang sudah beragama, muncullah
sebuah tradisi baru yang lebih universal di kalangan suku
sangihe yang tidak
menganut pemisahan wilayah dan perbedaan
tradisi. Tradisi tersebut memiliki
konsep dan nilai-nilai dari tradisi
sebelumnya dalam bentuk berbeda, yang kemudian
dinamakan Tuludê. Rentang waktu
berakhirnya tradisi sundeng
ke tradisi Tułudê diperkirakan
pada pertengahan tahun 1800.
B. TULUDÊ
Saat
ini sedang terjadi
kesalahan pemahaman terhadap
pengertian Tuludě yang
bermuara pada perbedaan “pendapat, pandangan, konsep dan pengertian” antar
tokoh adat, tokoh agama, masyarakat awam, akademisi, pemerhati
budaya, pelaku adat terhadap pengertian Tuludě sebagai upacara
adat suku Sangihě. Sebagian orang mengatakan bahwa kata Tuludě berasal dari kata Suhudě yang berarti “dorong” dan sebagian lagi mengatakan
dari kata Tulidě yang berarti lurus.
a. Pengertian Suhudě
Suhudě dalam bahasa Sangir adalah bagian
dari unsur tulang
(dalam hal ini berhubungan dengan tulang
belakang atau bagian belakang badan yang disebut “likudě”). Suhudě juga memiliki
pengertian sebagai “Suhurang” berarti
batu apung yang berfungsi untuk
membuat sesuatu menjadi bersih dan halus. Suhudě adalah kata kerja
yang menjelaskan tentang hal “mendorong dari belakang”.
Kata Suhudě mulai digunakan dalam
tradisi “měnondo lapasi”(měnondo = mendorong, lapasi= perahu). Menondo Lapasi adalah ritual adat menolak
bala (penyakit, dosa ) dengan cara membuat miniatur perahu “Binintă”. Didalam
perahu dimasukan bermacam simbol penyakit dan kesalahan manusia, jimat, makanan, pakaian, peralatan
rumah tangga, dll.
Upacara adat měnondo lapasi adalah kesatuan dari upacara měnahuļěnding banua.Melalui ritual měnondo
lapasi didoronglah perahu tersebut
dari belakang (buritan) mulai dari pantai sampai ke laut dalam. Apabila ada seseorang menemukan perahu
tersebut di tengah laut maka perahu tersebut harus dihancurkan. Jika
perahu tersebut kembali lagi ke pantai, diyakini sebagai pertanda membawa
bencana.
Menahulending berasal dari kata “ļěnding” yang berarti “dingin”
yang dipahami sebagai “mendinginkan, menyejukkan”. Měnahuļending dari
kata Tahuļěnding memiliki
pengertian : “pokok (batang pohon) atau tanaman”, yang dapat menyembuhkan
penyakit. Pengertian “ Měnahuļěnding” dalam ritual
adat adalah proses “pengobatan
dan pembersihan”
Ritual měnondo ļapasi dapat
dilaksanakan setiap saat secara berkelompok, jika didapati ada
perbuatan tercela, dosa yang
dilakukan manusia. Kegiatan měnondo ļapasi
dalam ritual “měnahuļěnding banua”
adalah “proses membersihkan
dunia dari segala dosa
dan kesalahan, sakit penyakit, bencana alam dan malapetaka”.
Suhudě
dalam penjelasan diatas memiliki pengertian dorong, tolak. Měnuhudě, yang berarti
mendorong, menolak memiliki pengertian membersihkan segala
perbuatan dosa manusia
termasuk sakit penyakit jasmani dan rohani, bencana alam dan malapetaka.
Ritual měnondo ļapasi hanyalah salah
satu dari ritual-ritual suku
Sangihě yang mengandung
nilai Měnuhudě. Nilai-nilai utama Měnuhudě adalah tulidê atau meluruskan. Beberapa diantara ritual-ritual tua suku Sangihě, selalu didahului
oleh ritual pembersihan diri
dan lingkungan.
b. Pengertian dan Proses lahirnya
Ritual Tuludě
Tuludě memiliki pengertian : penolakan tertinggi, mengusir,
tuludê adalah salah satu nama bulan (seperti dalam penanggalan kalender lunar), atau sama dengan “měpudě” dalam
pengertian “kokoh, kuat, perkasa, yang maha tinggi”. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka dapat dimaknai bahwa Tuludě adalah “simbol” penolakan, pengusiran, kekuatan
dan keperkasaan dari yang maha tinggi. Simbol-simbol tersebut adalah
gambaran dari keilahian GÊNGGONALANGÎ
penguasa langit dan bumi dalam kebudayaan Sangihě. Sebagian orang Kristen di
Sangihě, mengibaratkan Gěnggonalangǐ
sebagai Tuhan Allah.
Genggonalangi adalah alah atau
dewa tertinggi dalam kepercayaan tua suku Sangihě yang bergelar Duata Saluruang (dewa yang bersemayam di langit dan menguasai jagat
raya) yang bertahta di sorga
(su Sanggui). Selain Genggonalangi
ada juga dewa penguasa daratan yang disebut “Aditinggi” dan dewa penguasa
lautan yang disebut “Mawendo”.
Aditinggi berasal dari kata bahasa Sangihe “Adieng”
atau “Mahiang” yang berarti roh
gunung api, dan dari kata “Tinggi”
atau “Tuminggi” yang berarti
“ kawah
atau kepundan. Aditinggi
adalah dewa penguasa daratan yang bersemayam di puncak
gunung api “Awu”. Dimasa lalu, semua gunung api dinamakan
“Awu”. Gunung api Awu yang dikenal sampai saat ini di pulau Sangihe, dulunya bernama Gunung Aditinggi.
Mawendo adalah penyebutan lain dari kata “mawu” yang bersemayam di Lautan.
Aditinggi dan Mawendo merupakan dua dewa yang memiliki
karakter berbeda dalam kekuatan
roh, tidak bisa dilihat
tetapi diyakini memiliki kuasa yang lebih tinggi
dari manusia. Aditinggi adalah
dewa yang baik hati sementara
Mawendo adalah dewa yang
pemarah. Meskipun Aditinggi
adalah dewa yang baik hati tetapi jika bangkit
amarahnya, gunung-gunung akan
menyemburkan api. Demikian juga Mawendo,
jika bangkit amarahnya, akan ada badai dan ombak besar
dilaut. Untuk menghadap Aditinggi
tidak harus berkata-kata dengan bahasa
yang indah, sebaliknya
jika menghadap Mawendo harus
berkata-kata dengan bahasa yang
indah.
Berdasarkan cerita
yang bersumber dari beberapa
pemerhati budaya Sangihe,
mengatakan bahwa dari karakter
dua dewa tersebutlah
sehingga lahir bahasa Sangir sasahara dan
bahasa Sangir sasalili. Sederhananya adalah : bahasa sasahara adalah bahasa sastra, bahasa sangir sasalili
adalah bahasa sangir sehari – hari. Bahasa sangir
menurut Salea, W. 1977,
mengemukakan bahwa menurut pemakaiannya bahasa sangir terdiri
dari tiga bentuk yaitu :
1. Bahasa Umum, bahasa yang biasa
dipakai dalam percakapan sehari-hari.
2. Bahasa Sasahara yang juga
disebut dengan bahasa samaran, biasanya dipergunakan untuk menolak malapetaka.
3. Bahasa
Sastra
Penggunaan bahasa
sangir dalam kehidupan berbudaya masyarakat
Sangihe yang akan membuktikan
kebenaran bentuk bahasa
sangir. Upacara adat tuludê
adalah upacara adat
terbesar dari suku
Sangihê yang didalam pelaksanaannya harus menggunakan bahasa sastra. Sebagian besar kosa-kata yang digunakan dalam upacara
adat tuludê menggunakan kosa kata bahasa
sasahara.
Latar belakang pelaksanaan
ritual adat Tuludê masih menyerupai pelaksanaan ritual sundeng yaitu :
1. Apabila terjadi bencana alam yang
mengganggu kesejahteraan hidup manusia
dan
lingkungannya.
2. Manusia
melakukan pelanggaran yang bertentangan
dengan kebiasaan hidup.
3. Wabah penyakit.
Hal yang paling inti dari upacara adat tuludê adalah mênahulênding banua. Sebagaimana penjelasan sebelumnya
memaparkan bahwa mênahulênding adalah pengobatan dan pembersihan tempat.
Pada saat ini, inti dari upacara adat tuludê
telah ditambah menjadi tempat pertunjukan kesenian, tempat pemberian
gelar adat dan tempat “menahulending” pejabat pemerintah.
Jika di kilas
balik ke masa lalu, pelaksanaan upacara adat Tuludê sangat
berbeda jauh dari apa yang dilihat
saat ini. Berdasarkan
beberapa sumber mengatakan bahwa
pelaksanaan Tulude dimasa lalu
adalah sebagai berikut :
1. Tanggal 31 Januari
adalah tanggal pelaksanaan
upacara adat tuludê berdasarkan tradisi
lama.
2. Pelaksanaan upacara adat tuludê tidak
pernah dilaksanakan di rumah para pejabat.
3. Pelaksanaan upacara
tulude dilaksanakan secara spontan
oleh warga masyarakat.
Konsep upacara
tulude berdasarkan tradisi lama yaitu :
1. Masyarakat membuat “sabua”
di sepanjang jalan kampung beberapa hari sebelum
pelaksanaan upacara.
2. Masyarakat hadir ditempat pelaksanaan upacara
dengan membawa makanan oleh
masing-masing keluarga.
3. Masyarakat membawa
perlengkapan kesenian.
4. Upacara adat dipimpin
orang-orang yang dianggap tua-tua adat.
5. Tua adat melakukan tatahułênding banua.
6. Setelah selesai mênahułênding banua, masyarakat
berpesta dengan cara makan
bersama, menari dan menyanyi bersama berdasarkan tradisi masing-masing. Masyarakat Tabukan
mempertunjukan Salo, alabadiri, rangsang sahabe, hadrah manggut dan
parade tambor. Masyarakat Manganitu mempertunjukkan tari
Gunde.
Kesenian umum yang sering dipertunjukan bersama oleh
masyarakat adalah kesenian ampa
wayer diiringi orkes dan mê salaing ese
diiringi tagonggong. Hal yang unik dalam
tradisi tuludê lama adalah; Pejabat
ataupun bangsawan berbaur bersama
rakyat. Makna utama yang menjadi
tujuan pelaksanaan upacara
adat tuludê dimasa lalu adalah “pengobatan, pembersihan,
pengampunan dosa melalui tatahułênding dan ucap
syukur melalui kesenian”.
Sampai saat
ini belum ada data
akurat yang dapat
menguak awal mula pelaksanaan
tuludê. Masyarakat meyakini pelaksanaan tuludê sudah
dilaksanakan sejak lama sebagai kebudayaan
asli suku Sangihe. Benang merah penghubung antara upacara adat sundeng
dan upacara adat tuludê terletak pada pertunjukan kesenian.
Upacara adat tuludê
hanya dilaksanakan setahun
sekali, tetapi ritual menahułênding banua dapat
dilaksankan setiap ada hal-hal
yang mencemaskan dan
mengganggu kenyamanan hidup masyarakat.
Atribut dan kelengkapan utama yang
tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaan tuludê adalah acara pemotongan kue adat atau mênuang
tamo/mêmoto tamo. Tradisi mênuang
tamo adalah sebuah
tradisi yang lahir terpisah dari ritual mêsundeng tetapi sudah lama dilakukan. Pada awalnya tradisi mênuang tamo lahir
dari sebuah pesta pernikahan
dikisaran tahun 1400 dalam
sebuah pesta pernikahan bangsawan Mangulundagho
dengan Wangsang Peliang. Pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, Tamo
merupakan petunjuk status sosial masyarakat. Dalam tradisi menuang tamo melekat kisah cinta Gumansalangi raja pertama
kerajaan Tabukan Tua yang dijuluki Tampungang
Lawo.
Tuludê adalah sebuah identitas
budaya suku Sangihe yang harus
tetap dilestarikan dan
dimurnikan, karena Tuludê telah
mewakili sebagian besar
unsur kebudayaan Sangihe
sebagai nafas dan identitas.
“ Somahê kai kêhagê – Nusa kumbahang
katumpaêng” (meski harus melalui rintangan
yang besar tetap maju
terus atas penyertaan yang
maha kuasa - negeri
ini jangan sampai dimasuki musuh). Sebagian besar isi
tulisan dalam artikel
ini diperoleh dari
beberapa nara sumber di pulau
Sangihe secara lisan. Semoga
menjadi sebuah wawasan baru
untuk kekayaan budaya Indonesia. Lenganeng,
januari 2016.