SEJARAH KAMPUNG LENGANENG_SANGIHE
SELAYANG PANDANG SEJARAH KAMPUNG
LENGANENG
Oleh ; Alffian W.P. Walukow, S.Pd, M.Pd
Dimasa pemerintahan kolonial Belanda,
kampung Lenganeng adalah
salah satu dari 20 kampung di distrik Tabukan Utara
dalam wilayah kerajaan
Tabukan yang pada waktu itu berstatus Lendskep Tabukan.
Informasi ini tertulis
dalam sebuah buku
yang ditulis oleh raja
Tabukan bernama Lepinus J. P.
Macpal terbitan Belanda
15 September 1930.
Pada masa itu penduduk
Lenganeng berjumlah 776 jiwa.
Informasi – informasi
tentang kerajaan Tabukan dan pemukiman kampung
Lenganeng dimasa lalu telah dimuat
dalam beberapa tulisan diantaranya :
1. Het Journal van
Padthbrugge, catatan perjalanan gubernur
jendral VOC di Maluku Robertus
Padthbrugge dalam
kunjungannya di kepulauan Sangihe
tahun 1677.
2. Buku De Sangi
Archipel karya E. Steller
terbitan tahun 1866 tentang
Bowondego.
3. De
Zelfbesturende,......terbitan tahun 1925
tentang Bowondego sebagai
sebuah bukit.
4. Bencana tanah longsor yang
terjadi di kampung
Lenganeng pada 18 Januari 1940
yang menelan korban jiwa
sebanyak 8 orang,
telah diberitakan oleh kurang
lebih 35 surat
kabar luar negeri
Dari berbagai catatan
tersebut, diperoleh informasi
bahwa benar pemukiman kampung
Lenganeng sudah ada
sejak Lama.
Dimasa lalu, terdapat dua jalur pelintasan
para pejalan kaki dari Tabukan ke Tahuna yaitu :
1. Tabukan -
Panenteng - Tukadehamu – Tahuna
2. Tabukan – Puncak Bowondego - Tahuna
Dari latar sejarah
itu maka Lahirlah nama Lenganeng
untuk pemukiman Lenganeng
di puncak Bowondego.
Lenganeng memilik pengertian sebagai
“tempat melintas”, sedangkan
Bowondego memiliki pengertian
sebagai “dego-dego”. Dego-dego, dalam
kamus Sangihe diartikan sebagai
sebuah benda berbentuk tempat
duduk dari bahan bambu yang juga
berfungsi sebagai tempat
tidur. Dalam bahasa
Belanda diadaptasikan sama dengan
Ruizbang atau Rosbang atau
Bangku Sofa.
Perjalanan sejarah kampung
Lenganeng diperiodisasikan
sebagai berikut :
1.
Masa Apapuhang atau masa
Purba.
Apapuhang
dalam tradisi lisan
Lenganeng adalah sekelompok manusia
kecil yang hidup di sekitaran air
terjun Apapuhang. Dalam beberapa catatan lepas Sangihe, mengungkap bahwa Apapuhang adalah suku mula-mula yang ada di pulau
Sangihe sebelum lahir suku
Sangihe. Manusia Apapuhang dianggap sebagai
manusi pertama Sangihe. Penanggalan masa Apapuhang tidak
diketahui waktunya.
2. Masa Sundeng
Masa Sundeng
adalah sebuah masa dimana Suku Sangihe
sudah mengenal sistim kepercayaan
atau agama.
Bukti
tinggalan masa ini
di wilayah kampung
Lenganeng terdapat di area
sekitar air terjun
Apapuhang, kawasan Pangi, sampai
ke suatu tempat bernama Manemba.
Ditempat-tempat tersebut terdapat kuburan-kuburan tua.
Masa Sundeng
tidak diketahui penanggalan
tahunnya.
3.
Masa
Bowondego
Penanggalan tahun masa Bowondego diperkirakan
sejak
tahun 1700 sampai akhir tahun
1800. Penanggalan tahun 1700 adalah sebuah
masa dimana sudah
banyak orang yang berjalan
kaki melewati area Bowondego dari Tabukan
Utara ke Tahuna.
Nama Bowondego sudah ditulis
dalam buku “In The Permanent
Court of Arbitration”
terbitan “The Hague – National Printing -1925 Hal. 73-74.
Dalam terjemahan :
Judul paragraph : Perbatasan kerajaan Tahuna.
Kerajaan Tahuna
terletak di pesisir barat pulau Sangir
Besar. Batas barat membentang
dari Batu Bukala sampai Tanjung Lembawua
: batas
utara membentang dari bekas
tanjung ke kawah gunung berapi Awu:
batas selatan tanjung terakhir sampai
puncak gunung Padaweta :
batas timur membentang dari
kawah gunung berapi Awu diatas puncak
gunung Malinsoh dan
Bowondego sampai Gunung
Padaweta
Dalam Buku
“Het Journal” yang
menceritakan kedatangan Gubernur
Jendral Padthbrugge ke pulau
Sangihe Pada Tahun 1677.
Pada buku tersebut
menulis tentang keadaan
tanah yang dipenuhi tebing
terjal menuju Tahuna. Tanah yang
dimaksud adalah Bowondego dan Jalan di
Pangirolong (payung
dua keadaan kini).
4.
MASA LENGANENG
Penanggalan tahun
masa Lenganeng dimulai sejak berdirinya
kampung Lenganeng tahun 1906.
Masa ini diperhitungkan sejak ditetapkannya
Lenganeng menjadi sebuah
kampung yang berdiri
sendiri dalam arti
sudah memiliki pemerintahan
sendiri, mulai dari Kepala
kampung (opo lao) sampai ke
perangkat dibawahnya seperti Hukum
Mayor (kepala jaga), Ukung
(pembantu hokum mayor), Juru
Tulis dan Tukang Palakat.
Kampung Lenganeng mulai dirintis atau dipersiapkan
sebagai kampung mandiri sejak
tahun 1904 dimasa Pemerintahan
Raja Willem Alexander Kahendake
Sarapil. Pada masa
itu kerajaan Tabukan melalui kuasa pemerintahan
Tabukan Lama (kampung Kalurae)
mengutus seorang bernama Suipanda menjadi
pejabat sementara untuk
mempersiapkan berdirinya kampung
Lenganeng.
Pada tahun 1906 berdirilah kampung
Lenganeng dengan Kepala Kampung bernama Tembomitung dengan
nama baptis Sadrak Bawelle. Berdasarkan catatatan dari Permenas Bawelle,
Tembomitung meninggal pada tahun 1927 dalam usia 80 Tahun, dengan masa pemerintahan selama 22
tahun.
Pada tahun 1928 kepala kampung
diganti oleh Totone, yang bernama baptis Timotius Manamuri. Timothius Manamuri
adalah seorang guru asal dari
Pulau Makalehi yang menikah
dengan Dortji Sondang asal
Buas Tahuna.
Masa pemerintahan
Thimotius Manamuri berakhir tahun
1954, selama 26 tahun.
Selanjutnya
diganti oleh anak menantunya
bernama Ali Adariku selama kurun waktu
10 tahun sampai
tahun 1964. Ali Adariku adalah
tokoh pejuang Merah Putih
Tanjung Panipi Kendahe yang
melawan penjajah Belanda
dan Jepang.
Tahun 1964 sampai 1965, kepala
kampung diganti oleh
Permenas Bawelle seorang guru injil
tamatan Sekolah Sending Tahuna.
Seterusnya jabatan
kepala kampung di ganti
secara berturut-turut dalam
masa-masa pemerintahan yang
singkat yaitu :
Desius Bawelle pertengahan tahun 1965.
Semuel Sabarara sejak pertengahan
tahun 1965 sampai awal 1966.
Semuel Sabarara adalah salah
satu Juru Tulis terlama
di kampung Lenganeng.
Jan Bawelle
sejak awal 1966 sampai
akhir 1967
Daud Sasundu
sejak akhir 1967 sampai 1968. Daud Sasundu
adalah salah seorang
pegawai di Rumah Sakit Liunkendage dan sebagai Guru Jemaat yang
berstatus sama dengan
pendeta.
Selama tahun 1968
terjadi beberapa kali pergantian
yaitu :
Jan Bawelle, Johar Sahempa, Daud
Sasundu.
Tahun 1971
sampai 1972 C.P. Makahenggeng.
Sejak tahun 1972 sampai 1995 selama kurun waktu 23
tahun kepala kampung Lenganeng
adalah Norman Ruitan.
Norman Ruitan
adalah seorang Guru, Kepala
Sekolah, Tokoh Parkindo Sangihe, dan Pendiri Koperasi
Turdineg salah satu
koperasi terkaya di
Indonesia di masanya.
Norman Ruitan diganti
oleh Nikodemus Takaepisang selama
dalam periode 8 tahun sejak 1995 sampai 2003. Pada
masa pemerintahannya terjadi pemekaran kampung.
Tahun 2002 lahirlah kampung baru
bernama kampung Pusunge
yang sebelumnya adalah
bagian utuh dari
kampung Lenganeng.
Nikodemus
Takaepisang diganti oleh F.S. Manoppo melalui sebuah pemilihan dan menjabat dalam masa jabatan 2002-2007 dan berlanjut
ke 2008. Seterusnya F.S. Manoppo
terpilih menjadi wakil rakyat.
F.S. Manoppo
adalah seorang tokoh Karangtaruna Sulawesi Utara
dan menjadi salah
satu yang terbaik
di Indonesia. Sejak menjadi
anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, pemerintahan kampung di jalankan oleh H.O.
Sasundu melanjutkan tahun sisa
periode F.S. Manoppo.
Dalam masa transisi
tersebut ditetapkanlah oleh pemerintah
daerah sebagai pejabat Kapitalaung Lenganeng yaitu ibu N. Adilang, S.Pd.
Setelah itu,
dilaksanakan pemilihan dan
terpilihlah H.O. Sasundu sejak
2018 sampai saat ini.
Sejak tahun 2015 telah
dilakukan penelusuran kesejarahan
mengenai kampung Lenganeng
oleh Sanggar Apapuhang. Setelah memperoleh
informasi kesejarahan tertulis
jejak peradabannya maka
pemerintah kampung Lenganeng pada tahun 2020 melaksanakan seminar sejarah
kampung. Pelaksanaan seminar dihadiri
oleh beberapa pemerhati
sejarah dan budaya
Sangihe juga tua-tua
kampung Lenganeng, Pusunge, Tarolang dan
Utaurano dan pihak
- pihak terkait lainnya.
Dari hasil seminar
tersebut disepakati bahwa
pelaksanaan Hari Ulang
Tahun kampung Lenganeng
dihitung sejak masa ditetapkannya kampung Lenganeng
secara definitif dengan kepala
kampung pertama Sadrak
Bawelle atau Tembomitung
pada tahun 1906.
Demikianlah selayang pandang
atau sejarah singkat kampung
Lenganeng.