JUK-NIS OLAHRAGA TRADISIONAL SEPU DARI SANGIHE

 


SAMBUTAN  KAPITALAUNG LENGANENG

 


HESKY  OLDEN  SASUNDU
(KAPITALAUNG)

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 dan sekaligus memperingati HUT Kampung Lenganeng ke-119 Tahun.

Dalam semangat cinta tanah air dan pelestarian budaya lokal, Kampung Lenganeng menyelenggarakan Lomba Olahraga Tradisional SEPU’ atau SUMPIT. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang ketangkasan, tetapi juga sarana menghidupkan kembali warisan leluhur yang hampir terlupakan. SEPU’ adalah simbol kearifan lokal Suku Sangihe yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kami memberikan apresiasi yang tinggi atas terbitnya Buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lomba SEPU’, yang tidak hanya mengatur aspek teknis perlombaan, tetapi juga mengangkat sejarah, legenda, dan kajian linguistik seputar SEPU’. Buku ini menjadi sumbangan penting dalam mendokumentasikan budaya Sangihe secara utuh dan ilmiah.

Semoga melalui lomba ini dan terbitnya buku panduan ini, generasi muda semakin mencintai dan menjaga budaya lokal.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan ini.

Mawu Mengal᷊amatẹ̆.

Lenganeng, 2025

Kapitalaung

Hesky Olden  Sasundu

 

KATA  PENGANTAR

 

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, buku berjudul “SEPU’: Sejarah dan Penerapannya Dalam Pertandingan” dapat disusun dan  diterapkan. Buku ini hadir sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian budaya lokal, khususnya olahraga tradisional Sĕpụ atau sumpit yang berasal dari masyarakat Sangihe. Dalam  buku  ini terdapat  Sejarah  singkat  lahirnya  tradisi  SEPU’  dan  Aturan  Pertandingannya.

Sĕpụ awalnya merupakan alat berburu yang terbuat dari bambu, namun seiring perkembangan zaman, kini diadaptasi menjadi olahraga ketangkasan. Sayangnya, praktik tradisi ini makin jarang dijumpai di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, melalui buku ini, saya ingin memperkenalkan kembali Sĕpụ sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Pemerintah Kampung Lenganeng yang telah menginisiasi lomba Sĕpụ sebagai langkah konkret menjaga eksistensi budaya ini. Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, khususnya dalam memahami dan mempraktikkan olahraga tradisional ini.

 

 

 

Lenganeng, 2025
Alffian W.P. Walukow, S.Pd, M.Pd


DAFTAR  ISI


 

Bagian 1         ;           PENDAHULUAN                                                                             1

 

Bagian 2         :           PENGEMBANGAN TRADISI  BERBURU  DENGAN

             SUMPIT   MENJADI  OLAHRAGA  TRADISIONAL              5

 

Bagian 3         :           PENERAPAN    LOMBA                                                                6

 

Bagian 4         :           SISTIM / ATURAN  PERLOMBAAN                                           10

A.    Klasifikasi  Lomba :

B.    ATURAN LOMBA

 

 


BAGIAN – 1

 PENDAHULUAN

 

Olahraga sumpit adalah olah raga yang menggunakan sumpitan (blowgun) untuk berburu atau olahraga ketangkasan.  Olah  raga ini cukup dikenal di beberapa daerah, khususnya:

  • Kalimantan (Indonesia): Suku Dayak di Kalimantan terkenal menggunakan sumpit untuk berburu, dan kini juga mengadakan lomba sumpitan sebagai bagian dari festival budaya.
  • Sulawesi (Indonesia): Beberapa komunitas adat juga menggunakan sumpitan untuk olahraga tradisional.
  • Malaysia: Di Sabah dan Sarawak, masyarakat suku asli seperti Iban dan Penan juga mempertahankan tradisi sumpitan.
  • Filipina: Suku-suku asli seperti Aeta dan Igorot menggunakan sumpitan dalam budaya berburu dan sekarang dalam acara budaya.
  • Jepang: Ada versi olahraga modern yang disebut fukiya — sumpit ala Jepang yang dijadikan cabang olahraga resmi di beberapa kompetisi nasional.
  • Amerika Selatan: Suku-suku asli Amazon seperti Yanomami juga mempertahankan tradisi sumpitan, meski di sana lebih untuk berburu ketimbang untuk olahraga.

         Dalam  kebudayaan  Sangihe, sumpitan sebagai  alat  berburu  dikenal  dengan  nama Sĕpụ.  Secara leterlek atau  leksikal,  kata Sĕpụ  adalah  kosa  kata  Bahasa  Sangir  yang dibahasakan  dalam  tiga  jenis  kata yang  hampir  sama yaitu :

1.     Sẹ̆pu artinya : sebab, oleh karena itu.

2.     Sẹ̆pụ artinya : sumpitan.

Manẹ̆pụ  artinya  : menembak dengan sumpitan;

tahasẹ̆puĕ, tahapanẹ̆pụ : penembak sumpitan, tukang sumpit, tukang sumpit;

sẹ̆sẹ̆pụ : suara; menyembul ke atas, ditembakkan, tiba-tiba muncul dari celah yang sempit, tumbuh melampaui batas dengan tumbuh cepat, muncul tiba-tiba dari dalam air.

sẹ̆sẹ̆pụ  adalah nama  Sangir  dari  ikan Paus, disebut demikian karena ikan paus sering menyemburkan air dari lubang dipunggunnya.

hẹ̆pụ, lẹ̆pụ, sẹ̆pę, sopạ  artinya Hari demi hari; Bull Tond seput, Pon soput, Bent supu, Bug seppu', D 158.

3.     ̣Sẹ̆pung  artinya semakin banyak saja;

Sasambo : / sẹ̆pung makạnonọ siạ / manụbeng al᷊ung sĕmbau. Artinya : makin sedih saya, karena yang satu adalah "ayam dalam satu ruang di bawah satu rumah" (= keluarga); Sĕpungke nakaral᷊inaụ siạ, yang membuat saya semakin takjub.


    Cerita  tentang  “sẹ̆pụ”  sudah  dilisankan  sejak  masa lalu  sebagai  folklore  di Sangihe  dan  Siau  dalam  kisah  :  “ i Mẹ̆dundĕ “.  Seterusnya  kisah tersebut  dijadikan  lagu  daerah,  yang didalamnya terdapat  kalimat “ sẹ̆pu  nalang’i  Mẹ̆dundĕ “.  Secara singkat, menceritakan  : Mẹ̆dundĕ suka  berburu menggunakan  sẹ̆pụ, dan  seterusnya  bertemu  bidadari  sampai kemudian Medunde  menikahi  bidadari  tersebut lalu  melahirkan  anak-anak  yang  merupakan  leluhur  dari  orang  Siau. Tempat  pertemuan  Mẹ̆dundĕ dan  Bidadari diyakini  berada  di  Pulau  Siau,  dan tempat  tersebut  masih  dijaga  dan  dirawat oleh  penduduk  disekitarnya.  Sedangkan  tempat  jatuhnya  anak Medunde  dan  Bidadari diyakini  sebagai  Kanawong.

Berikut  ini kisah  Mẹ̆dundĕ   dari  kamus  Bahasa  Sangir :



Mědundę  dari  kata  undę  artinya  pujian,

Ketika 9 bidadari sedang mandi di akę u tědung, Mědundę merampas pakaian salah satu bidadari dengan sumpitnya dan mengambilnya sebagai istri dan mereka menjadi nenek moyang orang Siau; istrinya melarangnya membuat api di depan tangga; ketika dia melakukannya, dia menghilang bersama asap api itu, meninggalkan anaknya, yang masih belum bisa merindukannya; Medunde mengikutinya dengan mendaki ke sebuah gunung  dan  memanjat  pohon  bambu  “kal᷊aeng garing”, di sana dia menemukan sebuah kota dan tempat tinggal seorang wanita tua dengan sembilan anak perempuan; dia harus menebak siapa ibunya; Untuk tujuan ini, ia membaringkan anak itu, yang segera merangkak ke ibunya, yang menyusui dan juga memberinya susu; tapi dia tidak ingin kembali; saat ia turun, angin kencang bertiup, yang membawa anak itu ke Kepulauan Solok; oleh karena itu dinamakan: Pahawon-sulugě; suatu ketika ketika sedang bermain di laut, ia kembali terbawa angin dan jatuh di Siau, di Kanawoěng. 

Anak  dari  bidadari  tersebut  bernama Kentenguhiabě ; menikah dengan Lokombanua yang  kemudian menjadi raja pertama Kerajaan  Siau di Pehe.

 

Kata  Mẹ̆dundĕ pertama  kali  ditulis  dan dipublikasi dalam  buku  berjudul :

Bahasa Penyair Jerman Kuno Dalam Konteks Etnologisnya. ( De Oudgermaansche Dichtertaal In Haar Ethnologisch Verband, Alberta J. Portengen. Tesis  Untuk Mendapatkan Gelar  Doktor di Fakultas  Sastera  dan Filsafat  Universitas  Negeri Leiden, 6  Juli 1915)

Dalam  buku tersebut  menjelaskan  bahwa  kata  Sumangi  adalah  Bahasa  tua  sedangkan  Mẹ̆dundĕ  adalah  Bahasa khusus  dari  kata Sumangi yang  memiliki  pengertian  sebagai  “Menangis”. Arti  sebenarnya  dari “Mẹ̆dundĕ  adalah  menyanyi  yang  memiliki  pengertian  yang hampir sama  dengan  kata  “ mẹ̆dundang “.

            Dalam  buku  karya D. Brillman  terbitan  1938  menyebutkan ada  sebuah  tradisi masa lalu  orang Sangihe untuk berburu menggunakan Sumpit. Begitu mahirnya orang Sangir menggunakan alat ini sehingga menimbulkan  kagum  banyak penulis.

Untuk menangkap burung, di sini dikenal sumpitan, tongkat bambu yang panjangnya sekitar dua meter dan tebalnya satu inci, yang sekat dalamnya telah dilepas dan melaluinya seseorang dapat meniup anak panah yang tajam dengan kekuatan besar dan kepastian mengenai sasaran. terjemahan  halaman 39 : De zending op de Sangi- en

Talaud-eilanden,  Door D. Brilman, D. d. W. te Ennemawira,1938

Berdasarkan  pengamatan saya dibeberapa  desa di Sangihe (tahun 1996 – 2008) masih ada  orang  Sangihe  yang  menggunakan alat  ini untuk  berburu. Kemahiran  merekapun  masih  seperti cerita D. Brillman.

            Tradisi berburu  menggunakan  sumpit  di era digital  adalah  suatu  hal  yang  unik. Agar  supaya  tradisi  ini  tetap  hidup,  maka perlu  dilakukan pelestarian  dan  pembangan. Salah  satu  cara  untuk  melestarikannya  yaitu  dengan menerapkannya  menjadi  olahraga  tradisional.

 

 

 

 


BAGIAN  2

 

PENGEMBANGAN TRADISI  BERBURU  DENGAN SUMPIT

MENJADI  OLAHRAGA  TRADISIONAL

 

            Olah raga  ini dinamakan  olahraga Sĕpụ, sesuai  dengan  nama  aslinya.

 

Alat  yang  digunakan :

 

  1. Bambu, sebagai senjata.

      Panjang bambu  menyesuaikan  dengan kebiasaan  daerah  setempat  dan   kebiasaan    

      pengguna.

 

  1. Peluru / anak panah dari bambu dalam  Bahasa  Sangir disebut “nanakeng”   sedangkan  sumbat  di  pangkal  “nanakeng”  dinamakan  “kẹ̆mbul᷊ẹ̆”.

 

 

BAGIAN   3

 

PENERAPAN    LOMBA

 

A.    Klasifikasi  Lomba :

 

1.     Tingkatan  Profesional :

Pada  tingkatan  ini setiap atlit  wajib  menyelesaikan bidikan  pada  dua  jenis  sasaran  yaitu :

1)     Membidik  sasaran mati/statis

2)     Membidik  sasaran  bergerak

 

2.     Tingkatan  Pemula  (tingkatan  ini  belum  dilaksanakan)

Pada  tingkatan  ini setiap atlit  wajib  menyelesaikan bidikan  pada  dua  jenis  sasaran  yaitu :

1)     Lontaran  anak  panah  terlama  di udara

2)     Lontaran  anak  panah  terjauh

 

B.    ATURAN LOMBA

 

1.     Membidik  Sasaran  Bergerak

                                    Menggunakan  tikus model dari spons dengan 3 nilai sasaran

1)     Bidikan mengenai sasaran kepala  bernilai : 100

2)     Bidikan mengenai sasaran Perut bernilai  : 75

3)     Bidikan mengenai sasaran paha/kaki depan  atau belakang bernilai  :  50

 

Sasaran berupa model tupai   diikat ditali  kemudian  ditarik arah maju dengan  kecepatan agak  lambat.

 

Sasaran  bergerak,  berupa  boneka  tupai  yang  digerakan dengan  tali

 oleh  pengatur  pertandingan

 

2.     Membidik Sasaran tidak  bergerak

Menggunakan sasaran bidikan seperti sasaran  panahan dengan nilai

1)     Titik tengah bernilai 100

2)     Lingkaran pertama 90

3)     Lingkaran  kedua 80

4)     Lingkaran ketiga 70

5)     Lingkaran  keempat bernilai 60

6)     Lingkaran kelima bernilai  50

7)     Lingkaran keenam bernilai    40

 

 

 


PAPAN SASARAN BIDIKAN

 

1.     Ukuran papan bidikan berbentuk  garis-garis lingkaran menyerupai sasaran  panahan.

Ukuran  papan sasaran : 100 X 100 cm, jarak  dan  besaran lingkaran  menyesuaikan  dengan  ukuran  papan.

Bahan  sasaran  terdiri  dari 3  lapisan  yaitu :

1)     Lapisan  belakang ;  bahan  papan  atau  tripleks

2)     Lapisan  Tengah : sterofaoam /gabus

3)     Lapisan depan  : kertas  karton  ataun  sejenisnya,  bisa  juga  menggunakan  karung goni ataupu  karung  plastic.

2.     Jarak dari tempat  bidikan  sampai  ke  papan  sasaran  : 20  meter

 

 

 

 

 

 



BAGIAN  4

PERATURAN  PERLOMBAAN

 

1.     Pertandingan  hanya  dilaksanakan  sekali,  tanpa  babak  penyisihan.

(jika  banyak  peserta yang  hadir,  pelaksanaannya dapat  dijadwalkan  lebih  dari  satu hari)

2.     Atlit  profesional tidak  dibatasi  usia  dan  gender.

3.     Menggunakan  baju  adat  Sangihe, jika  tidak  ada  baju  adat cukup  menggunakan   poporong.

4.     Setiap atlit harus  menyelesaikan dua  tahapan sasaran bidikan  yaitu sasaran  bergerak dan tidak  bergerak.

5.     Setiap  peserta diberikan kesempatan  sebanyak  5 kali  bidikan dengan  5  anak panah  sepu, bukan  1 anak  panah dibidik 5 kali.

-        Sasaran  tidak  bergerak

Perolehan  nilai  yaitu  : angka  pada lingkaran  yang terkena  anak  panah dijumlahkan.

Contoh :

Anak  panah pertama  mengenai lingkaran 1 nilainya  = 100
Anak  panah ke dua mengenai lingkaran 2 nilainya  = 90

Anak panah ke tiga mengenai lingkaran 3 nilainya  = 80

2 anak  panah  lainnya  tidak  mengenai  sasaran =  tidak ada  nilai

Maka  jumlah  nilai  yang  di  peroleh  adalah : 270

 

-        Sasaran bergerak

Aturan diatas berlaku  sama  pada  sasaran  bergerak.

Contoh :

Anak panah mengenai sasaran kepala  bernilai : 100

Anak panah mengenai sasaran Perut bernilai  : 75

Anak panah mengenai sasaran paha/kaki depan  atau belakang bernilai  :  50

Dua  anak  panah  lainya tidak  kena  sasaran  :  tidak  ada  nilai

Maka  jumlah  nilai  yang  di  peroleh  adalah : 225

6.     Setiap  peserta hanya  diberikan  waktu 10  menit  untuk setiap  kelas  lomba

 

Nilai akhir diperoleh  dari : jumlah nilai  sasaran  bergerak  ditambah jumlah nilai sasaran tidak  bergerak

Contoh :

Jumlah  nilai  sasaran  bergerak 270   ditambah Jumlah  nilai  sasaran tidak  bergerak 225   =  495


TABEL  PENILAIAN

 

Urut daftar

Nama

Usia

Asal/tempat  tinggal

Nilai  sasaran  bergerak

Nilai  sasaran  tidak  bergerak

Total  Nilai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGATUR  PERTANDINGAN  TERDIRI  DARI

 

1.     1  orang di  posisi  awal  bidikan.

2.     1  orang menghitung nilai bidikan ,  dilengkapi  table  perhitungan  nilai.

3.     2 orang  disekitaran (kiri  dan  kanan)  papan  sasaran, bertugas  mengatur pergerakan manusia  supaya  tidak  mendekati  papan  sasaran.

 

 

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA