BUDAYA KAIN DAN ISTILAH-ISTILAH TEKSTIL DALAM TRADISI SANGIHE

 

Wanita  Sangihe dengan  Penutup Kepala  Yang  dinamakan Tatimbuhung


BUDAYA KAIN DAN ISTILAH-ISTILAH TEKSTIL

DALAM TRADISI SANGIHE

Oleh :  Alffian  Walukow

 

Sejak zaman prasejarah hingga sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, masyarakat Sangihe telah mengembangkan tradisi budaya yang kompleks, termasuk dalam hal ritual kematian. Salah satu praktik yang menonjol adalah membungkus jenazah dengan kain dan penggunaan penutup kepala (kerudung). Tradisi ini bukan sekadar prosedural, tetapi sarat makna simbolik, mencerminkan pandangan masyarakat Sangihe terhadap kehidupan, kematian, dan dunia arwah.

Bellwood (1997) menyatakan bahwa masyarakat Austronesia, termasuk penduduk di kepulauan Sulawesi, telah mengenal praktik ritual menggunakan kain sebagai media simbolik jauh sebelum kontak dengan dunia luar (“textiles played a central role in ritual and social identity in Austronesian societies,” hlm. 124). Hal ini mendukung bukti adanya praktik laheka (kain kafan) dan tatimbuhung (kerudung) di Sangihe.

 

2. Istilah dan Simbolisme Kain

a. Laheka – Kain Kafan

Laheka adalah kain yang digunakan khusus untuk membungkus jenazah. Istilah ini terkait etimologis dengan kata hekạ (kain) dalam bahasa Sangihe. Praktik ini memperlihatkan kesamaan dengan kebudayaan Austronesia lain, di mana kain digunakan sebagai sarana transisi spiritual (Bellwood, 1997, hlm. 130).

 

b. Tatimbuhung – Kerudung

Tatimbuhung adalah kain penutup kepala perempuan, yang digunakan dalam konteks ritual kematian maupun kehidupan sehari-hari sebagai penanda kesopanan atau status sosial. Hoskins (1997) menekankan bahwa dalam masyarakat Austronesia, penutup kepala tidak hanya fungsional tetapi juga simbolik, menandai peran sosial dan keterlibatan dalam upacara adat (hlm. 52).

 

3. Analisis Linguistik

a. Hekạ – Kain dan Makna Simbolik

Hekạ berarti kain, namun maknanya luas: dapat berarti “bagus”, “debu”, “kain kapas”, atau “katun”. Ungkapan hekạ pĕsĕngkauhĕ merujuk pada kain yang indah, sedangkan kata kerja mĕhekạ bermakna membungkus jenazah dan secara simbolik juga “menangis” atau “meneteskan air mata”. Hal ini menunjukkan bahwa kain berfungsi ganda sebagai benda materi dan simbol emosional.

b. Lĕkung – Lipatan Kain

Dalam bahasa Sangir-Sasahara, kain disebut lĕkung, berasal dari kata lĕku (“lipat”), yang juga digunakan untuk lipatan kertas (karĕtasĕ). Menunjukkan bahwa istilah Austronesia untuk “lipat” sering muncul dalam konteks ritual dan tekstil, menekankan hubungan antara struktur fisik kain dan makna simboliknya.

c. Hekạ Patola – Tekstil Bermotif Ular

Hekạ patola adalah kain tenun besar bermotif kulit ular (karantusa). Kata patola diperkirakan serapan dari India (Syarif, 2014, hlm. 45). Motif ini menandai status sosial dan memiliki peran penting dalam ritual adat, sekaligus menunjukkan adanya kontak perdagangan lintas-budaya di Asia Tenggara.

 

4. Ragam Tekstil dan Istilah Lain

Selain hekạ, terdapat istilah:

-        Kahiwu – kain sarung atau rok perempuan (Purnama, 1981, hlm. 29).

-        Lampaĕng ma᷊l᷊uheĕng / Tapisĕ – kain sarung dalam bahasa Sangir-Sasahara.

-        Bawandang – selendang (Purnama, 1981, hlm. 31).

-        Tatimbuhung – kerudung atau penutup kepala perempuan.

-        Papehe – kain ikat pinggang.

 

Henley (2005) menekankan bahwa variasi istilah kain di Sulawesi Utara menunjukkan pentingnya tekstil sebagai identitas budaya, penanda status sosial, dan simbol ritual (hlm. 77).

 

5. Konteks Sejarah dan Perbandingan Budaya

Tradisi membungkus jenazah dengan kain dan penggunaan penutup kepala dalam masyarakat Sangihe menunjukkan hubungan dengan kebudayaan Austronesia yang lebih luas. Bellwood (1997) mencatat bahwa kain digunakan sebagai media simbolik dalam transisi kehidupan ke kematian dan dalam interaksi sosial di Nusantara (hlm. 126). Syarif (2014) menambahkan bahwa pengaruh kain patola India melalui jalur perdagangan laut memperkaya simbolisme tekstil lokal, menunjukkan adanya jaringan interaksi lintas-budaya jauh sebelum kolonialisme Eropa (hlm. 48).

 

Kajian sejarah dan linguistik ini menunjukkan bahwa kain dalam budaya Sangihe memiliki makna ganda: fungsi praktis dan simbol ritual/spiritual. Bahasa Sangihe merekam makna ini melalui istilah seperti hekạ, laheka, tatimbuhung, dan hekạ patola. Kain menjadi arsip budaya yang merekam sejarah, kosmologi, dan interaksi lintas-budaya masyarakat Sangihe.

 

Daftar Pustaka

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA