KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN DAN TRADISI BERBURU KEPALA MANUSIA DALAM KEPERCAYAAN TUA MINAHASA

 



KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN DAN TRADISI BERBURU KEPALA MANUSIA DALAM KEPERCAYAAN TUA MINAHASA

Di jantung tanah Minahasa, Sulawesi Utara, kepercayaan kuno masyarakat Alifuru menyimpan pandangan yang unik dan sarat makna tentang kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah perjalanan menuju dunia lain yang sangat ditentukan oleh status sosial seseorang semasa hidup.

Orang miskin, setelah menghembuskan napas terakhir, dipercaya akan menuju ke hutan dalam keadaan tanpa tujuan, sebuah keadaan yang disebut mange witi talun. Di sana, roh mereka terus mengembara tanpa arah, hidup dalam bayang-bayang rimba yang sunyi. Sebaliknya, orang kaya dianggap memiliki jalan yang lebih terhormat. Mereka dipercaya naik ke kasendukan, dunia atas atau surga, tempat roh-roh terhormat bersemayam.

Pengorbanan Manusia dan Pengayauan  atau  Mamu’is

Kepercayaan akan kehidupan setelah mati juga berkaitan erat dengan praktik pengorbanan manusia, terutama bagi tokoh-tokoh terkemuka. Ketika seorang pemimpin atau bangsawan meninggal dunia, penguburannya sering disertai dengan kepala manusia yang ditempatkan bersama jasadnya. Jumlahnya bervariasi—mulai dari satu hingga sembilan kepala, bahkan dalam kasus tertentu mencapai tiga kali sembilan, angka yang dianggap sakral.

Kepala-kepala itu diperoleh melalui tradisi pengayauan, yaitu perburuan kepala manusia dari suku-suku tetangga. Bila usaha ini gagal, maka budak-budak milik sendiri menjadi korban. Keyakinannya jelas: roh-roh orang yang dipenggal kepalanya akan menemani almarhum dalam perjalanan menuju alam baka, memperkuat kedudukannya di sana, serta menjadi pelayan di kehidupan selanjutnya.

Praktik serupa juga ditemukan di wilayah Sulawesi lainnya, misalnya di sekitar Danau Posso, serta di kalangan suku Toraja di selatan. Walaupun detail dan intensitasnya berbeda, benang merahnya tetap sama: kepala manusia dipersembahkan demi memperkuat martabat orang yang meninggal.

Animisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Kepercayaan animisme begitu menyatu dengan kehidupan orang Minahasa. Setelah pemakaman, keluarga yang ditinggalkan seringkali pergi ke kebun, menebang pohon buah, atau memetik sayur dan buah-buahan. Semua ini dilakukan sebagai persembahan bagi arwah orang yang meninggal, agar di tempat tinggal barunya ia tetap dapat bercocok tanam dan memperoleh makanan. Ritual ini disebut mange meteng—membagi hasil kebun dengan roh yang telah pergi.

Tindakan menghancurkan atau merusak benda yang dipersembahkan diyakini sebagai cara untuk “membebaskan roh” dari benda tersebut. Dengan begitu, roh dari objek itu bisa mengikuti pemiliknya ke alam baka. Inilah bentuk praktik animisme yang memperlihatkan keyakinan bahwa setiap benda memiliki jiwa.

Selain makanan, barang-barang berharga juga turut dikuburkan: periuk nasi, piring, pakaian, jarum, benang, tuak, bahkan payung. Semua ini dipandang sebagai bekal hidup di alam lain, bukti kuat bahwa bagi orang Minahasa kuno, kehidupan setelah mati sangatlah mirip dengan kehidupan di dunia nyata.

Tradisi Pengawetan Kepala

Di berbagai penjuru Nusantara, tradisi pengawetan kepala manusia memiliki variasinya masing-masing. Di kalangan Dayak, kepala kadang diawetkan lengkap dengan daging dan rambutnya, ada pula yang hanya mempertahankan tulangnya. Sebagian kepala dicat dengan garis putih atau merah, bahkan dihiasi dengan kerang pada rongga matanya.

Alifuru Minahasa sendiri biasanya hanya mempertahankan rambut panjang dari kepala yang dipenggal. Kadang-kadang seluruh kepala diawetkan, tetapi lebih sering rambut sajalah yang disimpan. Kepala atau rambut tersebut bisa menjadi milik individu sebagai simbol kejayaan, atau milik kolektif desa dan disimpan di balai kampung.

Kepala musuh dianggap memiliki daya gaib, sehingga menjadi semacam jimat (amulet). Para pejuang yang memiliki kepala atau rambut musuh mendapatkan kehormatan tersendiri, bahkan terkadang nama pribadi mereka mencerminkan kebanggaan itu. Salah satu contohnya adalah nama Maweikere, yang berarti “pembawa tengkorak.” Nama ini berasal dari kata mawei (membawa di bahu kiri seperti membawa senapan) dan kere (kepala atau wajah).

Warisan Budaya dan Simbol Kehidupan

Dari seluruh tradisi ini, terlihat bahwa bagi masyarakat Minahasa kuno, kematian tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu diiringi oleh simbol, ritual, dan benda-benda yang menghubungkan dunia orang hidup dengan dunia roh. Pengorbanan kepala, persembahan hasil kebun, hingga penempatan benda-benda pribadi di makam, semuanya mencerminkan keyakinan bahwa roh tetap melanjutkan kehidupannya.

Kisah-kisah ini tidak hanya mengungkap pandangan mereka tentang kematian, tetapi juga memperlihatkan betapa eratnya hubungan manusia dengan alam, benda, dan sesamanya. Tradisi berburu kepala yang bagi kita sekarang terdengar kejam, sesungguhnya adalah bagian dari kosmologi spiritual yang lebih luas—sebuah cara untuk memastikan keseimbangan antara dunia orang hidup dan dunia roh, serta menjaga kehormatan leluhur.

Sumber :

Wilken, G. A. (1912). De verspreide geschriften van Prof. Dr. G. A. Wilken. Deel III: Geschriften over Animisme en daarmede verband houdende geloofsuitingen. (Verzameld door F. D. E. van Ossenbruggen). Semarang, Soerabaja, ’s-Gravenhage: G. C. T. van Dorp & Co.

 

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA