Merah Putih di Ujung Utara  dan Perjuangan Hamzah  Adariku

Oleh :  Alffian  Walukow

Langit Tanjung Panipi, Kendahe, pagi itu dipenuhi aroma garam laut dan desir angin musim barat yang membawa hawa dingin. Ombak memukul karang-karang hitam, seakan menyuarakan kegelisahan yang merayap di dada para pemuda yang berkumpul di tepi pantai. Di tengah mereka berdiri Hamzah Adariku, wajahnya tenang namun matanya menyala oleh api yang sama sekali tak bisa dipadamkan oleh ancaman senjata.

"Ini bukan sekadar kain," ucap Hamzah, suaranya pelan namun tegas. Tangannya menggenggam bendera Merah Putih yang masih terlipat rapi. "Ini adalah nyawa kita, harga diri kita, dan janji kita kepada tanah ini."

Di sekelilingnya, para pejuang lokal — Ali Adariku, Ahmad Tompo, dan beberapa pemuda lainnya — mengangguk. Mereka tahu, tindakan mengibarkan bendera di hadapan mata penjajah bukanlah perayaan biasa. Itu adalah pernyataan perang, sebuah tantangan yang bisa berakhir dengan darah di pasir pantai.

Langkah-langkah mereka terasa berat ketika menaiki bukit kecil di ujung tanjung. Dari sana, laut luas membentang, membisikkan kisah lama tentang kapal-kapal asing yang pernah datang membawa bendera selain Merah Putih. Kini, mereka akan memastikan bahwa dari ujung utara ini, dunia melihat warna bangsa yang baru lahir.

Ketika tiang bambu ditegakkan, jantung setiap orang berdegup kencang. Suara desir angin bercampur dengan gemetar tali yang ditarik. Kain merah putih itu perlahan naik, melawan tiupan angin, berkibar gagah di langit biru pucat. Sorak kecil terdengar, bukan sorak kemenangan, melainkan sorak tekad: mereka siap membayar harga kemerdekaan dengan nyawa mereka sendiri.

Dari kejauhan, beberapa mata-mata Belanda sudah melapor. Hamzah tahu, penangkapan atau bahkan peluru bisa datang kapan saja. Tapi ia juga tahu, hari itu rakyat Sangihe telah membuat sejarah. Bendera itu tidak hanya berkibar di Tanjung Panipi, tetapi juga di hati setiap orang yang melihatnya.

Tahun-tahun setelahnya, ancaman demi ancaman datang. Hamzah, bersama kawan-kawannya, berkali-kali diintimidasi, dipanggil, bahkan ditangkap dalam masa Agresi Militer Belanda I dan II. Namun, seperti bendera yang pernah mereka kibarkan, semangat mereka tak pernah benar-benar jatuh.

Kini, tiang bambu itu sudah lama tiada, dan banyak yang melupakan pagi penuh keberanian di Tanjung Panipi. Tetapi bagi mereka yang mengerti, nama Hamzah Adariku adalah bagian dari darah merah di bendera itu — merah yang tak pernah pudar oleh waktu.

 


Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA