PINONTOL SAWANG

 

PINONTOL SAWANG  DI  MINAHASA

Layanan Tradisional dan Transformasi Kekuasaan

Oleh :  Alffian Walukow

 

Kajian  Linguistik  kata  “PINONTOL”

 

Kajian Linguistik Istilah: Pontol, Montol, Mapontol, Pinontol dan Derivasinya

1. Analisis Morfologis dan Etimologis

Akar kata pontol dalam bahasa Minahasa mengandung arti dasar memutus, memisahkan, menunjuk, menetapkan, dan secara metaforis berkembang menjadi menangkal dalam konteks tertentu. Dari akar ini lahir sejumlah bentuk turunan:

  • pontol → bentuk dasar, bermakna memutus, menentukan, atau menetapkan sesuatu.
  • montol → bentuk dengan prefiks verbal mo-, menandai tindakan aktif: memotong, menunjuk, atau memberitahukan.
  • mapontol → bentuk dengan prefiks ma-, mempertegas tindakan melakukan penunjukan secara formal.
  • pinontol → bentuk dengan prefiks pi- (pembentuk nomina hasil), bermakna yang telah ditunjuk atau ditetapkan.
  • popontolén → bentuk nomina yang mengandung arti hal yang ditetapkan atau tempat yang ditetapkan, bahkan digunakan sebagai nama tempat (Popontolén, Sonder).

Afiksasi ini menunjukkan produktivitas sistem morfologi bahasa Minahasa, di mana prefiks mo-, ma-, dan pi- berfungsi untuk membentuk verba aktif dan nomina hasil.

2. Makna Leksikal dan Fungsi Semantik

Makna pontol dan turunannya berkaitan erat dengan penetapan, pemisahan, atau pengendalian:

  • Montolmemotong, tetapi juga menentukan atau memberi tanda penetapan.
  • Mapontolmenunjuk secara formal seseorang untuk tugas tertentu.
  • Pinontol → orang yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas, misalnya tugas jaga (kapala djaga) atau kerja rodi.
  • Pontolan sala’penentuan atau penetapan kesalahan atau hukuman seseorang.
    → Dalam praktik adat, istilah ini terkait dengan mekanisme peradilan tradisional yang sering berujung pada denda atau hukuman kerja. Kalimat contoh:
    se maando měmpontolan sala’
    Hari para pekerja saling mendenda.

Menariknya, catatan sejarah menyebutkan bahwa pontolan sala’ sering menyebabkan seseorang menjadi debitur (se tumuwar, se mawaer), karena denda adat harus dibayar dengan harta atau tenaga.

  • Itjamio se popontolénKitalah yang ditunjuk untuk pekerjaan tersebut.

3. Perkembangan Makna dan Nuansa Metaforis

Menariknya, kata pontol juga memiliki nuansa apotropais (menangkal bahaya atau pengaruh buruk). Hal ini terekam dalam istilah:

  • Munte popontolén → Citrus limmetto, sejenis jeruk nipis yang digunakan untuk menangkal penyakit dan pengaruh buruk.
  • Dalam bahasa kuno, dan bahkan hingga kini dalam bahasa Türkçe, pontol memiliki arti “menangkal”.
    → Contoh: pontol raha’ berarti penghenti darah, yang digunakan dalam penamaan herba penyembuh luka.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana satu akar kata mengalami perluasan makna dari konsep fisik (memotong) ke konsep sosial (menunjuk, menetapkan), hingga konsep magis atau protektif (menangkal bahaya).

4. Konteks Sosial dan Historis

Dalam sistem adat Minahasa, pinontol menunjuk pada orang yang ditugaskan oleh pemimpin adat untuk pekerjaan khusus, misalnya:

  • Kerja rodi (kerja paksa untuk kepentingan umum)
  • Jaga malam (kapala djaga)

Contoh kalimat adat:

  • Rondonuwu pinontol i tjapala i lukar kumërois ang kaandoan
    Rondonuwu telah menerima pemberitahuan dari kapala djaga untuk bertugas jaga lusa.
  • Pinontol in Tjolano i mangere si Tjaakaran a se ana'na wewene (40)
    Yang ditunjuk oleh Raja untuk mencari putri bungsunya.

Dalam praktik kolonial, istilah ini muncul dalam dokumen tentang pinontol sawang, yaitu kewajiban kerja adat yang kemudian diadopsi dalam sistem kerja paksa (kerja rodi).

5. Toponimi: Popontolén

Nama desa Popontolén di distrik Sonder merefleksikan praktik adat ini, kemungkinan besar berarti “tempat penetapan” atau “wilayah yang memiliki otoritas untuk menunjuk tugas”. Toponimi ini memperlihatkan bagaimana istilah administratif adat menjadi nama geografis yang bertahan hingga kini.

Kesimpulan Linguistik

  • Pontol adalah kata dasar yang mengalami derivasi morfologis produktif, membentuk verba aktif (montol, mapontol) dan nomina hasil (pinontol, popontolén).
  • Semantik kata ini menunjukkan pergeseran makna: dari memotongmenunjuk/menetapkanmenangkal/pelindung.
  • Ada indikasi akar Proto-Austronesia yang sepadan dengan kata putul (Filipina) yang berarti memotong, memperkuat hubungan bahasa-bahasa Minahasa dengan rumpun Filipina.
  • Penggunaan kata ini dalam konteks adat, magis, dan kolonial memperlihatkan lapisan historis dan sosial dalam leksikon Minahasa.

 

 

PINONTOL  SAWANG

Dalam sejarah Minahasa, hubungan antara struktur adat dan kekuasaan kolonial Belanda mengalami perubahan signifikan, terutama setelah masa interregnum Inggris dan dimulainya reorganisasi pemerintahan lokal. Salah satu aspek penting dalam dinamika ini adalah keberadaan Pinontol Sawang, sebuah bentuk kewajiban kerja tradisional yang mencerminkan ikatan sosial-ekonomi antara rakyat dan para pemimpin adat. Artikel ini membahas latar belakang, praktik, serta perubahan status layanan sawang di Minahasa, serta kaitannya dengan transformasi simbol kekuasaan para pemimpin adat.

 

Layanan Sawang (Pinontol Sawang) dan Praktiknya

Pinontol Sawang merupakan kewajiban kerja (corvée) yang harus dilakukan oleh para penduduk kepada kepala suku (dikenal sebagai hukum tua atau kepala pekasaän). Bentuk kewajiban ini umumnya meliputi lima hari kerja per orang setiap tahun. Selama dua hari pertama, kepala suku menyediakan makanan bagi para pekerja.

Tugas-tugas dalam layanan sawang tidak hanya terbatas pada pengolahan ladang milik kepala suku, tetapi juga mencakup pekerjaan di rumah, halaman, hingga kandang kuda. Durasi dan cakupan pekerjaan ini sangat bergantung pada jumlah wajib kerja (pinontol) yang tersedia dalam wilayah tersebut.  Praktik  pinontol sawang  masih  dilakukan  di  Minahasa  sampai  tahun 1970-an.

 

Perubahan Status dan Kebijakan Pemerintah

Ketika pengaruh pemerintah kolonial Belanda semakin kuat, kewajiban layanan sawang mengalami perubahan. Para bupati, yang merupakan kepala pekasaän dengan kedudukan tinggi, dibebaskan dari layanan sawang setelah diperkenalkan sistem tebusan melalui pemberian gaji tetap oleh pemerintah. Meski demikian, hak atas layanan ini tidak sepenuhnya dihapuskan, sehingga bagi kepala negorij dan pejabat lokal yang lebih rendah, praktik ini masih terus dijalankan secara rutin.

Transformasi ini bukan hanya sekadar teknis, tetapi juga mencerminkan pergeseran posisi sosial para pemimpin adat: dari figur otoritatif berbasis adat menuju pejabat pemerintahan kolonial yang memiliki peran administratif lebih dominan.

 

Transformasi Simbol Kekuasaan

Selain perubahan kewajiban, transformasi status kepala pekasaän juga ditandai oleh pergeseran simbol kekuasaan. Residen Jansen, sebagaimana disebutkan sebelumnya, memberikan pajong (payung pelindung  kepala  atau  juga  poporong) kepada para bupati sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan mereka. Namun, Staatsblad 1891 No. 109 menghapus penggunaan pajong tersebut, sehingga tanda-tanda khas non-Minahasa ini tidak lagi digunakan. Langkah ini menandai berakhirnya era simbol tradisional yang melekat pada kekuasaan adat dan penguatan atribut kekuasaan kolonial.

 

Kesimpulan

Pinontol Sawang bukan sekadar kewajiban kerja, tetapi juga sebuah cermin relasi sosial antara rakyat dan pemimpin adat dalam struktur masyarakat Minahasa. Namun, masuknya sistem pemerintahan kolonial Belanda mengubah fungsi dan status layanan ini, dari sebuah kewajiban adat yang berbasis kekerabatan menjadi instrumen administratif dalam sistem kolonial. Bersamaan dengan itu, simbol-simbol kekuasaan adat pun memudar, digantikan oleh atribut baru yang sesuai dengan birokrasi kolonial.

 

Sumber Kepustakaan

  1. Layanan sawang atau “Pinontol Sawang” adalah bentuk kewajiban kerja yang harus dilakukan oleh para wajib militer (wajib kerja) untuk mengolah ladang milik kepala suku (hukum tua). Umumnya, layanan ini mencakup lima hari kerja per orang setiap tahun, di mana selama dua hari pertama kepala suku menyediakan makanan. Selain mengolah ladang, tugas ini juga mencakup pekerjaan di rumah, halaman, dan kandang kuda.
  2. GRAAFLAND, Bagian I, hlm. 58–59, membahas dinamika perubahan ini.
  3. Staatsblad 1882 No. 150.
  4. Keputusan Pemerintah tanggal 12 Juni 1858 No. 30, dimuat dalam Lembaran Negara No. 69.
  5. Staatsblad 1891 No. 109 menghapus tanda-tanda khas non-Minahasa yang sebelumnya digunakan sebagai simbol kekuasaan.

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA