SIMON DIRK VAN DER VELDE VAN CAPELLEN




Simon D. van der Velde van Cappellen (1851–1856)

Riwayat Hidup dan Pelayanan Simon Dirk van der Velde van Cappellen (1822–1856)

Latar Belakang Keluarga dan Kelahiran (1822–1840-an)

Simon Dirk van der Velde van Cappellen lahir pada 21 April 1822 di Delfshaven, Zuid-Holland, Belanda.
Ia adalah putra dari Dirck van Cappellen (1782–1832) dan Hester van der Velden (1783–1866).
Nama lengkapnya merupakan gabungan nama ayah dan ibunya.

Keluarga Van Cappellen hidup pada masa pasca-perang Napoleon, di tengah situasi ekonomi dan kesehatan yang masih rapuh. Dari delapan bersaudara, hanya beberapa yang bertahan hingga dewasa. Saudara-saudaranya antara lain:

·        Ingetje van Cappellen (1809–1883)

·        Arie van Cappellen (1811–1871)

·        Pieter van Cappellen (1816–1872)

·        Beberapa saudara lainnya meninggal pada usia bayi, termasuk Simon (1812), Simon (1814), Maria (1818–1819), Simon (1819), dan Dirk (1823).

Sumber:

·        BS Kelahiran Simon Dirk van der Velde van Cappellen, Arsip Sipil Belanda, Delfshaven, 1822.

·        Genealogie Online, Stamboom Cardinaal, diakses 8 Agustus 2025.

 

Pernikahan dan Keturunan (1850–1856)

Simon menikah dengan Wilhelmina van Binsbergen (1821–1875) pada 1 Mei 1850 di Rotterdam, setelah pengumuman larangan nikah pada 18 April 1850.
Pasangan ini dikaruniai tiga anak:

1.      Wilhelmina van der Velde van Cappellen (1853–1930)

2.      Esther van der Velde van Cappellen (1855–1939)

3.      Pietronella van der Velde van Cappellen (1857–1860)

Sumber:

·        BS Pernikahan Simon van der Velde van Cappellen, Rotterdam, 1850.

·        BS Kematian Pietronella, Arsip Sipil Hindia Belanda.

 

Pengabdian di Hindia Belanda dan Tugas Misi (1851–1853)

Setelah menerima pembekalan misi di Maluku, Simon bersama istrinya berlayar menuju Minahasa, tiba pada 16 Juli 1851.
Ia ditempatkan di pos misi Amurang untuk membantu misionaris senior K.T. Herrmann.

Wilayah pelayanannya meliputi:

·        Amurang

·        Pegunungan Tareran

·        Pinamorongan

·        Kapoya

·        Wuwuk

·        Rumoong Lansot

·        Wiau Lapi

Pelayanan di Minahasa pada masa itu penuh tantangan:

·        Iklim tropis yang berat bagi pendatang Eropa

·        Penyakit menular seperti malaria dan kolera

·        Minimnya fasilitas kesehatan

·        Akses transportasi yang sulit

 

Wabah Kolera 1853–1854: Masa Paling Kelam

Pada akhir 1853 hingga sebagian besar 1854, Minahasa dilanda wabah kolera yang dalam arsip Belanda disebut de verschrikkelijke ziekte (“penyakit yang mengerikan”).
Lebih dari sepersepuluh penduduk meninggal dunia, desa-desa sepi, dan ladang terbengkalai.

Van Cappellen mengalami penderitaan pribadi yang sangat berat. Dalam waktu empat minggu, ia kehilangan delapan anak asuh: tiga meninggal di rumahnya, lima di rumah orang tua mereka. Puncak duka datang ketika anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun lebih wafat.

Kesedihan itu diikuti sakit demam berkepanjangan, bahkan ia sempat muntah darah. Meski begitu, Van Cappellen tetap mengajar dan berkhotbah.

Kutipan Arsip NZG (1857):

“Meskipun kehilangan yang begitu besar, Van Cappellen tetap mengajar dan berkhotbah. Pada pagi hari 5 Oktober 1856, ia berbicara penuh sukacita tentang mukjizat lima roti dan dua ikan. Malamnya, ia berpamitan kepada istrinya, berkata, ‘Anakku, diamlah; karena Tuhan akan membawaku dari sini. Aku sedang sekarat.’”
(Verslag van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, 1857, hlm. 226–227)

 

Pelayanan ke Sangihe dan Akhir Hidup (1855–1856)

Pada tahun 1855, NZG menugaskan Van Cappellen untuk mengunjungi Sangihe, di mana ia membaptis 5.033 orang.
Ia melaporkan kondisi jemaat Kristen di sana yang terlantar kepada NZG.
Rencana pengiriman empat zendeling-werklieden (misionaris tukang) pun disusun oleh pemerintah kolonial.

Namun, tak lama setelah kembali ke Minahasa, kesehatan Van Cappellen memburuk. Pada 6 Oktober 1856, sekitar pukul -        Simon D. van der Velde van Cappellen (1851–1856)

Riwayat Hidup dan Pelayanan Simon Dirk van der Velde van Cappellen (1822–1856)

Latar Belakang Keluarga dan Kelahiran (1822–1840-an)

Simon Dirk van der Velde van Cappellen lahir pada 21 April 1822 di Delfshaven, Zuid-Holland, Belanda.
Ia adalah putra dari Dirck van Cappellen (1782–1832) dan Hester van der Velden (1783–1866).
Nama lengkapnya merupakan gabungan nama ayah dan ibunya.

Keluarga Van Cappellen hidup pada masa pasca-perang Napoleon, di tengah situasi ekonomi dan kesehatan yang masih rapuh. Dari delapan bersaudara, hanya beberapa yang bertahan hingga dewasa. Saudara-saudaranya antara lain:

·        Ingetje van Cappellen (1809–1883)

·        Arie van Cappellen (1811–1871)

·        Pieter van Cappellen (1816–1872)

·        Beberapa saudara lainnya meninggal pada usia bayi, termasuk Simon (1812), Simon (1814), Maria (1818–1819), Simon (1819), dan Dirk (1823).

Sumber:

·        BS Kelahiran Simon Dirk van der Velde van Cappellen, Arsip Sipil Belanda, Delfshaven, 1822.

·        Genealogie Online, Stamboom Cardinaal, diakses 8 Agustus 2025.

 

Pernikahan dan Keturunan (1850–1856)

Simon menikah dengan Wilhelmina van Binsbergen (1821–1875) pada 1 Mei 1850 di Rotterdam, setelah pengumuman larangan nikah pada 18 April 1850.
Pasangan ini dikaruniai tiga anak:

1.      Wilhelmina van der Velde van Cappellen (1853–1930)

2.      Esther van der Velde van Cappellen (1855–1939)

3.      Pietronella van der Velde van Cappellen (1857–1860)

Sumber:

·        BS Pernikahan Simon van der Velde van Cappellen, Rotterdam, 1850.

·        BS Kematian Pietronella, Arsip Sipil Hindia Belanda.

 

Pengabdian di Hindia Belanda dan Tugas Misi (1851–1853)

Setelah menerima pembekalan misi di Maluku, Simon bersama istrinya berlayar menuju Minahasa, tiba pada 16 Juli 1851.
Ia ditempatkan di pos misi Amurang untuk membantu misionaris senior K.T. Herrmann.

Wilayah pelayanannya meliputi:

·        Amurang

·        Pegunungan Tareran

·        Pinamorongan

·        Kapoya

·        Wuwuk

·        Rumoong Lansot

·        Wiau Lapi

Pelayanan di Minahasa pada masa itu penuh tantangan:

·        Iklim tropis yang berat bagi pendatang Eropa

·        Penyakit menular seperti malaria dan kolera

·        Minimnya fasilitas kesehatan

·        Akses transportasi yang sulit

 

Wabah Kolera 1853–1854: Masa Paling Kelam

Pada akhir 1853 hingga sebagian besar 1854, Minahasa dilanda wabah kolera yang dalam arsip Belanda disebut de verschrikkelijke ziekte (“penyakit yang mengerikan”).
Lebih dari sepersepuluh penduduk meninggal dunia, desa-desa sepi, dan ladang terbengkalai.

Van Cappellen mengalami penderitaan pribadi yang sangat berat. Dalam waktu empat minggu, ia kehilangan delapan anak asuh: tiga meninggal di rumahnya, lima di rumah orang tua mereka. Puncak duka datang ketika anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun lebih wafat.

Kesedihan itu diikuti sakit demam berkepanjangan, bahkan ia sempat muntah darah. Meski begitu, Van Cappellen tetap mengajar dan berkhotbah.

Kutipan Arsip NZG (1857):

“Meskipun kehilangan yang begitu besar, Van Cappellen tetap mengajar dan berkhotbah. Pada pagi hari 5 Oktober 1856, ia berbicara penuh sukacita tentang mukjizat lima roti dan dua ikan. Malamnya, ia berpamitan kepada istrinya, berkata, ‘Anakku, diamlah; karena Tuhan akan membawaku dari sini. Aku sedang sekarat.’”
(Verslag van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, 1857, hlm. 226–227)

 

Pelayanan ke Sangihe dan Akhir Hidup (1855–1856)

Pada tahun 1855, NZG menugaskan Van Cappellen untuk mengunjungi Sangihe, di mana ia membaptis 5.033 orang.
Ia melaporkan kondisi jemaat Kristen di sana yang terlantar kepada NZG.
Rencana pengiriman empat zendeling-werklieden (misionaris tukang) pun disusun oleh pemerintah kolonial.

Namun, tak lama setelah kembali ke Minahasa, kesehatan Van Cappellen memburuk. Pada 6 Oktober 1856, sekitar pukul 04.00 dini hari, ia meninggal dunia di Amurang pada usia 34 tahun.
Ia dimakamkan di Lansot, Tareran.

 

Warisan Pelayanan

Sebelas tahun setelah wafatnya, pelayanan di wilayahnya diteruskan oleh pendeta pribumi.
Dua tokoh adat, Mamusung dan Tumewang, dibaptis. Mamusung menerima nama Kristen Abram Sinaulan pada masa pelayanan Simon Samson Tumbelaka (1867–1890).

Jejak pelayanan Van Cappellen masih terasa di Amurang, Tareran, Lansot, Rumoong Atas, dan Wiau Lapi, yang menjadi pusat awal penyebaran Injil ke pedalaman Minahasa Selatan.

Daftar Pustaka

1.      Nederlandsche Zendelinggenootschap. Verslag van het Nederlandsche Zendelinggenootschap. Rotterdam: NZG, 1857.

2.      Genealogie Online. Stamboom Cardinaal. Diakses 8 Agustus 2025 dari https://www.genealogieonline.nl/stamboom-cardinaal/I174.php

3.      Arsip Sipil Belanda. BS Kelahiran, BS Pernikahan, dan BS Kematian Simon van der Velde van Cappellen, 1822–1856.

4.      Henoch, A. Sejarah Pekabaran Injil di Minahasa. Tomohon: Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, 1997.

5.      Walukow, Alfian. Sejarah  Desa  Wiau Lapi, 2008.04.00 dini hari, ia meninggal dunia di Amurang pada usia 34 tahun.
Ia dimakamkan di Lansot, Tareran.

 

Warisan Pelayanan

Sebelas tahun setelah wafatnya, pelayanan di wilayahnya diteruskan oleh pendeta pribumi.
Dua tokoh adat, Mamusung dan Tumewang, dibaptis. Mamusung menerima nama Kristen Abram Sinaulan pada masa pelayanan Simon Samson Tumbelaka (1867–1890).

Jejak pelayanan Van Cappellen masih terasa di Amurang, Tareran, Lansot, Rumoong Atas, dan Wiau Lapi, yang menjadi pusat awal penyebaran Injil ke pedalaman Minahasa Selatan.

Daftar Pustaka

1.      Nederlandsche Zendelinggenootschap. Verslag van het Nederlandsche Zendelinggenootschap. Rotterdam: NZG, 1857.

2.      Genealogie Online. Stamboom Cardinaal. Diakses 8 Agustus 2025 dari https://www.genealogieonline.nl/stamboom-cardinaal/I174.php

3.      Arsip Sipil Belanda. BS Kelahiran, BS Pernikahan, dan BS Kematian Simon van der Velde van Cappellen, 1822–1856.

4.      Henoch, A. Sejarah Pekabaran Injil di Minahasa. Tomohon: Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, 1997.

5.      Walukow, Alfian. Sejarah  Desa  Wiau Lapi, 2008.


Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA