API DI KANE'YAN TARERAN

 




 API DIKANE’YAN TARERAN

 

Angin laut dari Teluk Amurang berembus lembut, menyusup di sela-sela pepohonan kelapa yang berdiri tegak di tepi Kampung Kane’yan. Bulan separuh menggantung di langit, memantulkan cahaya pucat di atas atap-atap rumah kayu yang berjejer rapi. Suara jangkrik berpadu dengan nyanyian jauh dari anak-anak muda yang masih duduk berkelakar di bale-bale bambu.

Jemmy Manembu duduk di beranda rumahnya, memeluk lutut, menatap bintang yang bertebaran. Malam di Kane’yan selalu memberi rasa tenteram, seakan dunia luar tak pernah mengusik. Tapi kali ini, hatinya tak bisa diam. Kabar yang dibawa pedagang dari Manado beberapa hari lalu masih terngiang di telinganya:

"Tentara Jepang sudah mendarat. Mereka keras, lebih kejam dari Belanda. Manado sudah dikuasai."

Jemmy Manembu menarik napas panjang. Di tangannya tergenggam sebilah parang kecil, warisan ayahnya. Bukan untuk berperang, tapi sekadar mengingatkan bahwa setiap lelaki di kampung harus siap menjaga keluarganya bila bencana datang.

“Jemmy,” suara ibunya memecah lamunan. Seorang perempuan paruh baya keluar dari dapur, membawa lampu minyak. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan cemas.
“Esok, pergilah lebih pagi ke ladang. Kita harus kumpulkan padi. Kalau betul kabar itu, kita tak tahu berapa lama bisa bertahan.”

Jemmy mengangguk. “Iya, Ma. Saya akan bawa Maria juga.”

Maria, adik bungsunya, baru berusia sepuluh tahun. Sejak sore tadi ia terus menempel pada Jemmy, seperti tahu ada sesuatu yang akan terjadi. Anak itu tertidur di bale-bale, tubuh mungilnya dibungkus sarung.

Ayah Jemmy keluar menyusul. Lelaki setengah baya itu berjalan dengan tongkat, kakinya pincang sejak jatuh dari pohon kelapa bertahun-tahun lalu.
“Kamu dengar, Jem?” suaranya rendah. “Jangan sampai kabar ini bikin kita gegabah. Kalau Jepang datang, jangan lawan. Yang penting lindungi mama dan adikmu.”

Jemmy menunduk. Ada perasaan pahit yang tak bisa ia ucapkan. Ia tahu ayahnya benar, tapi di dalam dadanya, darah mudanya bergolak. Mengapa selalu rakyat kecil yang harus tunduk?

Malam semakin larut. Jemmy masih duduk di beranda, mendengar debur ombak dari jauh. Kane’yan tampak damai, tapi bagi Jemmy, ketenangan itu hanya selapis tipis. Di baliknya, ada sesuatu yang sedang bergerak mendekat—sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Pagi itu, 9 Maret 1942, matahari baru saja merayap di balik bukit ketika suara asing memecah kesunyian. Dari arah jalan besar yang menghubungkan Amurang, derap sepatu berat terdengar, disusul teriakan lantang yang tak dipahami oleh telinga orang Kane’yan.

Jemmy sedang menimba air di sumur. Seember pertama baru saja ia angkat ketika ia melihat Maria berlari tergopoh-gopoh.
“Kak! Kak Jemmy! Ada orang-orang pakai baju hijau... banyak sekali!”

Jemmy meletakkan ember dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras. Ia tahu, kabar itu kini nyata: tentara Jepang benar-benar telah tiba.

Tak lama kemudian, puluhan serdadu dengan seragam hijau kusam dan topi baja memasuki kampung. Senjata panjang mereka berkilat di bawah sinar matahari. Bayonet terpasang di ujung laras, seolah siap menembus siapa saja yang berani melawan.

“Semua keluar! Semua kumpul di lapangan!” seorang perwira berteriak dalam bahasa Melayu yang patah-patah. Suaranya menggelegar, matanya tajam penuh ancaman.

Panik melanda kampung. Anak-anak menangis, perempuan berteriak mencari keluarga, orang-orang tua tergopoh keluar dari rumah. Jemmy meraih tangan Maria, lalu menarik ibunya yang masih bingung. Ayahnya dengan langkah pincang mencoba mengikuti.

Lapangan kecil di tengah kampung tiba-tiba dipenuhi manusia. Jemmy berdiri di antara kerumunan, peluh dingin membasahi pelipisnya. Ia mencoba menutupi wajah gelisahnya, apalagi ketika ia melihat seorang tentara Jepang memukul lelaki tua dengan popor senapan hanya karena berjalan terlalu lambat. Lelaki itu terjatuh, darah mengalir dari keningnya.

Maria menggenggam tangan Jemmy erat-erat. “Kak... mereka mau apa dengan kita?” bisiknya, hampir tak terdengar.

Jemmy menelan ludah. Ia ingin berkata, tak usah takut, mereka takkan apa-apa, tapi lidahnya kelu. Karena di matanya sendiri, ia melihat bayangan bencana yang tak bisa dicegah.

Perwira Jepang kembali berteriak, menyapu pandangan ke seluruh warga. “Barang semua! Rumah semua! Jepang ambil!” katanya dengan logat kasar.

Seketika, Jemmy merasa lututnya lemas. Ia sadar, apa yang selama ini hanya kabar kini berubah jadi kenyataan: hari itu Kane’yan tak lagi milik mereka.

Sore hari itu, langit Kane’yan berubah kelabu. Awan hitam bercampur dengan asap yang membubung dari obor-obor yang dibawa tentara Jepang. Jemmy berdiri bersama penduduk lain di lapangan, tangan masih menggenggam Maria yang menangis ketakutan.

“Lihat, Kak... rumah kita!” suara Maria pecah dalam isak.

Jemmy menoleh. Ia melihat seorang prajurit melemparkan obor ke atap rumah mereka. Dalam sekejap, api menjilat dinding bambu, merayap cepat ke tiang kayu yang sudah kering. Api itu tak hanya membakar kayu, tapi juga kenangan: tawa kecil Maria saat belajar berjalan, doa malam ibunya di ruang tengah, dan cerita ayahnya tentang leluhur mereka di tanah Minahasa.

“Tidak...!” Jemmy hampir berlari, tapi ayahnya menahan lengannya dengan kuat.
“Jangan, Jemmy. Mereka bunuh kamu kalau kau dekat.”
“Tapi Pa, itu rumah kita!” Jemmy berteriak dengan suara serak.
“Rumah bisa kita bangun lagi... tapi nyawa tidak.”

Kata-kata itu menampar Jemmy, namun hatinya tak bisa menerima. Ia menyaksikan, dengan mata kepala sendiri, bukan hanya rumahnya, tapi rumah-rumah tetangga, lumbung padi, kandang babi, ayam, bahkan pohon kelapa yang jadi sumber hidup ikut disiram bensin dan dibakar.

Api semakin membesar. Hawa panas membuat kulit perih, asap pekat menusuk hidung. Ternak menjerit kesakitan, berlari tanpa arah sebelum tumbang dilahap api. Jerit tangis perempuan bercampur dengan teriakan anak-anak yang mencari orang tua mereka.

Bagi Jemmy, waktu seakan berhenti. Setiap detik terasa panjang, menyayat.

Seorang tentara Jepang berjalan melewatinya, tersenyum tipis sambil menendang karung jagung yang tumpah ke tanah. Biji-biji kuning itu berserakan, diinjak-injak, dan tak lama kemudian ikut terbakar. Jemmy mengepalkan tinjunya, tubuhnya bergetar menahan amarah.

Di sampingnya, ibunya hanya bisa berbisik doa. Air mata jatuh di pipinya, namun suaranya tegar:
“Tuhan... selamatkanlah anak-anak saya.”

Tujuh jam lamanya api mengamuk, memakan hampir seluruh desa. Menjelang malam, Kane’yan tak lagi berdiri. Yang tersisa hanyalah arang, asap, dan bau menyengat dari ternak yang hangus.

Jemmy duduk terdiam, memangku Maria yang tertidur karena kelelahan menangis. Pandangannya kosong menatap bara merah yang masih menyala di bekas rumahnya.

Ia tahu, sejak hari itu, Kane’yan bukan lagi desa yang sama.
Yang terbakar bukan hanya bangunan—tapi hati dan jiwa orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Malam itu, setelah api mereda dan Kane’yan hanya tinggal puing berasap, Jemmy duduk termenung di bawah pohon ketapang yang masih selamat dari jilatan api. Maria tertidur di pangkuannya, tubuh mungilnya masih sesenggukan dalam mimpi.

Suara ayahnya pelan, hampir seperti bisikan:
“Jemmy... kita sudah tak punya rumah. Tapi kita masih punya satu sama lain. Itu yang harus kita jaga.”

Jemmy menunduk. Kata-kata itu menenangkan, tapi hatinya bergolak. Ia ingin percaya, namun setiap kali ia mengingat tawa tentara Jepang saat menyalakan api, amarahnya kembali membara.

Beberapa hari kemudian, kabar menyebar diam-diam di antara pemuda. Johan Meliëzer, seorang bekas serdadu KNIL, sedang menghimpun orang-orang berani untuk melawan Jepang. Nama-nama seperti Simon Penu, Yahya Rumagit, dan pemuda dari kampung-kampung sekitar disebutkan. Mereka tidak rela Kane’yan, Ritey, dan Maliku diinjak-injak tanpa perlawanan.

Jemmy mendengar kabar itu dari sahabatnya, Markus, yang datang tergesa-gesa ke tempat pengungsian kecil mereka.
“Jem, malam lusa kita akan berkumpul di hutan sebelah Maliku. Johan sendiri yang memimpin. Kau harus ikut. Kita tak bisa diam begini terus.”

Mata Jemmy berkilat. Inilah yang ia tunggu—kesempatan membalas, kesempatan menunjukkan bahwa orang Minahasa tidak mudah ditindas.

Namun ayahnya segera menatap tajam. “Tidak, Jemmy. Kau tidak ikut.”
“Apa maksud Papa? Mereka sudah bakar rumah kita, bunuh orang kampung, hina kita semua! Masa kita diam saja?” Jemmy hampir berteriak, dadanya naik turun menahan emosi.
“Kau lupa siapa yang harus kau lindungi?” Ayahnya menunjuk Maria yang sedang memeluk ibunya, wajah polosnya penuh letih.
Jemmy terdiam. Seolah seluruh tenaga yang tadi menggelegak hilang begitu saja.

Malam itu ia gelisah. Di satu sisi, darah mudanya mendesak untuk melawan. Di sisi lain, ia tahu ibunya, ayahnya, dan Maria hanya punya dia untuk bertahan hidup.

Jemmy menatap ke langit gelap, bintang-bintang seakan bersembunyi di balik asap sisa kebakaran. Ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku ingin berperang... tapi apakah itu berarti aku harus meninggalkan mereka?”

Hatinya koyak, terbagi dua: antara tanggung jawab sebagai anak dan panggilan sebagai pemuda Minahasa.

Pagi itu, udara di Minahasa terasa berat. Jemmy berjalan di tepi hutan, mengikuti langkah Markus. Mereka tidak berani keluar ke jalan besar—patroli Jepang berkeliaran di mana-mana. Sejak pertemuan dengan ayahnya malam itu, Jemmy belum lagi memutuskan apakah ia benar-benar akan bergabung dengan kelompok perlawanan. Namun nalurinya membawanya untuk tahu, untuk melihat.

Di kejauhan, suara tembakan meledak, disusul teriakan. Jemmy dan Markus saling berpandangan, lalu berlari menyusuri semak. Mereka tiba di sebuah tanah lapang di Tolongko—dan pemandangan di hadapan mereka membuat darah Jemmy membeku.

Enam orang desa, tangan terikat dan mata ditutup kain hitam, berlutut di depan barisan tentara Jepang. Jemmy mengenali beberapa wajah meski tertutup: Petrus Penu, seorang tokoh kampung yang dihormati; Frederik Joel Rumengan, guru sekolah GMIM Kaneyan yang sabar dan bijak; serta Runtu Ropa dan Sampel Tambajong. Dua perempuan juga ada di sana: Ibu Hukum Tua Ritey, dan Dina Pratasis—nenek kecil Frans Suak yang selalu dikenal murah senyum.

“Jangan... oh Tuhan...” Jemmy berbisik, tubuhnya gemetar. Markus menahan lengannya agar tidak maju.

Seorang perwira Jepang mengeluarkan perintah singkat. Tentara-tentara mengacungkan senapan. Dalam sekejap, suara letusan memecah udara. Tubuh-tubuh itu jatuh serentak ke tanah.

Namun yang membuat Jemmy hampir menjerit adalah apa yang terjadi berikutnya. Seorang prajurit mendekat, menusukkan bayonet ke mulut seorang perempuan yang masih menggeliat, darah memancar dari wajahnya. Jemmy menutup mulut dengan tangannya, air mata mengalir deras tanpa bisa ditahan.

Markus berbisik, suaranya serak:
“Inilah harga melawan mereka... Jem. Kau lihat sendiri.”

Jemmy hanya bisa menatap. Ia ingin berlari, ingin mengangkat batu dan menghantam kepala salah satu tentara itu, tapi tubuhnya tak bergerak. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur jadi satu.

Ketika para tentara pergi meninggalkan mayat-mayat itu, Jemmy dan Markus mendekat perlahan. Jemmy berlutut di samping jenazah Guru Rumengan. Ingatannya melayang pada masa kecil: suara lembut sang guru saat mengajarinya membaca, senyum hangat ketika Jemmy berhasil menulis namanya dengan benar.

“Maaf, Guru...” Jemmy berbisik, suaranya pecah. “Kami tak bisa menolong...”

Hari itu, Tolongko menjadi saksi darah yang tumpah. Bagi Jemmy, itu bukan lagi sekadar kabar, melainkan bukti nyata bahwa Jepang tak mengenal belas kasihan.

Di dalam dirinya, tekad semakin mengeras. Jika hidup harus dipertaruhkan, maka ia lebih baik mati melawan daripada hidup dalam ketakutan.

Matahari menanjak tinggi ketika pasukan Jepang kembali mengumpulkan warga Kane’yan yang masih hidup. Jemmy, ibunya, Maria, dan ayahnya yang pincang berdiri dalam kerumunan. Wajah-wajah letih menatap kosong, tubuh kurus kering setelah berhari-hari tanpa cukup makan.

“Semua! Jalan! Ke Amurang!” teriak seorang serdadu dengan suara kasar. Ujung senapannya menuding ke arah jalan besar.

Tak ada pilihan. Ratusan warga dipaksa berjalan kaki sejauh lima belas kilometer. Tanpa bekal, tanpa air, hanya dengan pakaian di tubuh.

Jemmy menggandeng tangan Maria. Anak itu sudah sangat lemah. Setiap beberapa langkah, tubuhnya limbung. Akhirnya Jemmy menggendongnya di punggung, meski kakinya sendiri terasa berat.

Di sisi lain, ibunya berjalan pelan, membantu ayahnya yang pincang. Jemmy sesekali menoleh ke belakang, melihat mereka terseret langkah demi langkah, wajahnya diliputi rasa khawatir.

Perjalanan terasa tak berujung. Panas matahari menyengat kepala, debu jalan melekat di wajah dan bibir. Suara batuk dan tangis anak-anak bercampur dengan gerutuan serdadu Jepang yang mengawasi dengan bayonet terhunus.

Seorang ibu muda di depan mereka jatuh pingsan. Bayinya menangis keras di pelukan. Alih-alih menolong, seorang tentara menendang tubuh perempuan itu agar bergeser dari jalan. Jemmy menggertakkan gigi, tapi ia tahu jika ia melawan, ia dan keluarganya akan bernasib sama.

Menjelang sore, rombongan akhirnya tiba di Amurang. Di sebuah tanah lapang di bawah pohon beringin besar—yang kelak akan menjadi lokasi gedung DPRD Minsel dan sekolah SMP Negeri 1 Amurang—penduduk dipaksa berhenti.

“Semua duduk! Jangan bergerak!” perintah seorang perwira.

Jemmy menurunkan Maria dari punggungnya. Gadis kecil itu langsung tertidur di tanah, tubuhnya lunglai karena kelelahan. Jemmy menatap wajah adiknya yang kotor oleh debu, lalu menoleh ke ibunya yang duduk dengan napas terengah. Ayahnya terkulai, wajahnya pucat.

Di bawah pohon beringin itu, Jemmy merasa seluruh dunia runtuh. Mereka tidak lagi punya rumah, ladang, atau desa untuk kembali. Semua sudah jadi abu.

Namun di dalam hatinya, meski tertutup oleh duka, masih ada secercah nyala. Api kecil yang berkata: Jemmy, kau harus bertahan. Karena jika kau menyerah, maka cerita tentang Kane’yan akan hilang selamanya.

Malam itu, di bawah beringin Amurang, Jemmy menggenggam erat segenggam tanah yang ia bawa dari puing rumahnya. Tanah hitam itu menempel di tangannya, menjadi janji bahwa suatu hari, mereka akan kembali.

Fajar merayap di Amurang. Embun masih menggantung di dedaunan, tapi hati Jemmy Manembu terasa kering, retak, seperti tanah yang kehilangan hujan. Ia duduk di samping Maria yang masih tidur pulas, sementara ibunya menyiapkan sedikit sisa ubi rebus yang mereka dapat dari seorang warga yang berbaik hati.

Ayahnya duduk diam, tatapan kosong ke arah laut. Jemmy tahu pikiran lelaki itu masih tertinggal di Kane’yan—di ladang yang kini hanya abu, di rumah yang tak lagi berdiri, di kampung yang hanya tinggal kenangan.

Jemmy menggenggam erat tanah yang ia bawa. Butiran itu menempel di tangannya, hitam dan berbau asap. Ia memandanginya lama, lalu berbisik dalam hati:

"Inilah yang tersisa dari rumah kita. Tapi selama aku masih hidup, tanah ini akan terus bercerita."

Hari-hari di pengungsian penuh penderitaan. Penduduk Kane’yan tak bisa kembali, karena yang mereka tinggalkan hanyalah arang. Mereka hidup dalam bayang-bayang tentara Jepang, dengan rasa takut yang tak pernah hilang.

Namun Jemmy tidak ingin menyerah. Ia tahu, jika ia kalah oleh rasa putus asa, maka Kane’yan benar-benar hilang untuk selamanya. Setiap malam, ia menatap Maria yang tidur lelap, ibunya yang berdoa dengan suara lirih, dan ayahnya yang diam dalam luka. Dari situlah ia menarik kekuatan.

Di suatu malam yang sunyi, Jemmy berjanji dalam dirinya sendiri:

"Aku akan bertahan. Aku akan hidup. Agar suatu hari nanti, anak-anak Kane’yan tahu bahwa desa ini pernah berdiri. Bahwa meski dibakar, dipaksa hilang, jiwa Kane’yan tetap hidup dalam darah kami."

Air matanya menetes, jatuh ke tanah yang ia genggam. Di dalam tangisan itu, lahirlah tekad baru: ia bukan sekadar korban, ia adalah saksi. Dan selama saksi itu masih bernapas, Jepang tidak pernah benar-benar menang.


🌑 Epilog
Tragedi Kane’yan meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Namun dari reruntuhan itu, lahirlah kekuatan untuk mengingat. Jemmy Manembu tidak pernah melupakan hari-hari kelam itu—dan dengan ingatan itulah, ia memastikan bahwa api yang melahap Kane’yan tidak akan pernah melahap sejarah mereka.


Perjalanan Jemmy Manembu: Dari Api Kane’yan ke Ruang Pendidikan

Tragedi Kane’yan tahun 1942 meninggalkan luka yang dalam di hati Jemmy Manembu. Namun dari abu desa yang terbakar, lahirlah tekad baru: ia harus bangkit, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk masa depan generasi setelahnya.

Masa di Sekolah Guru di  Pondol,Manado

Lebih 10 tahun selepas perang usai, Jemmy bertekad melanjutkan sekolah. Dengan langkah sederhana dan hati penuh semangat, ia pergi ke Manado, mendaftar di Sekolah Guru Manado di Pondol.

Hari-hari di asrama Pondol tak mudah. Jemmy harus hidup jauh dari keluarga, dengan bekal seadanya. Namun ia selalu mengingat pesan ayahnya: “Ilmu adalah senjata. Bukan senjata api, tapi senjata yang membuat kita berdiri tegak.”

Setiap pagi ia berjalan kaki menyusuri jalan tanah, bersepatu lusuh, membawa buku-buku bekas yang penuh coretan. Meski sederhana, semangatnya tak pernah padam. Ia tekun membaca, belajar bahasa Belanda, matematika, dan pengetahuan umum.

Di kelas, Jemmy dikenal pendiam tapi cerdas. Ia sering membantu teman-temannya yang kesulitan, bahkan mengajar anak-anak kecil di sekitar Pondol sepulang sekolah. Dari situlah ia sadar: panggilan hidupnya ada di dunia pendidikan.

Menjadi Sarjana Muda di PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Tondano

Tahun berganti, dan Jemmy akhirnya berhasil menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru. Namun tekadnya tidak berhenti di situ. Dengan kerja keras dan doa, ia melanjutkan ke PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Tondano.  Kala  itu  gedung  perkuliahannya  di  Bangunan Loji  peninggalan Belanda.

Di kampus, Jemmy menemukan dunianya. Ia belajar tentang teori pendidikan, filsafat, dan cara membentuk generasi muda. Ia bergaul dengan mahasiswa dari berbagai daerah di Sulawesi, berdiskusi tentang masa depan bangsa pasca-penjajahan.

Meski sering kesulitan biaya, Jemmy tidak pernah menyerah. Ia bekerja sambilan, mengajar les kecil-kecilan, dan bahkan menulis artikel pendek untuk surat kabar lokal demi menambah uang makan.

Setiap kali rasa lelah menghampiri, Jemmy kembali mengingat api yang membakar Kane’yan. Ia berjanji dalam hati: “Kalau Jepang dulu merampas masa kecilku, maka pendidikan ini akan mengembalikan masa depan anak-anak Minahasa.”

Akhir Perjalanan Pendidikan

Akhirnya, dengan penuh perjuangan, Jemmy berhasil menyelesaikan studinya di IKIP Manado dan meraih gelar sarjana muda. Bagi Jemmy, toga yang ia kenakan di hari wisuda bukan sekadar kain hitam, melainkan simbol bahwa seorang anak desa yang pernah kehilangan segalanya bisa bangkit kembali melalui pendidikan.

Oleh : Alffian  Walukow_2025API  DI  KANE’YAN TARERAN

 

Angin laut dari Teluk Amurang berembus lembut, menyusup di sela-sela pepohonan kelapa yang berdiri tegak di tepi Kampung Kane’yan. Bulan separuh menggantung di langit, memantulkan cahaya pucat di atas atap-atap rumah kayu yang berjejer rapi. Suara jangkrik berpadu dengan nyanyian jauh dari anak-anak muda yang masih duduk berkelakar di bale-bale bambu.

Jemmy Manembu duduk di beranda rumahnya, memeluk lutut, menatap bintang yang bertebaran. Malam di Kane’yan selalu memberi rasa tenteram, seakan dunia luar tak pernah mengusik. Tapi kali ini, hatinya tak bisa diam. Kabar yang dibawa pedagang dari Manado beberapa hari lalu masih terngiang di telinganya:

"Tentara Jepang sudah mendarat. Mereka keras, lebih kejam dari Belanda. Manado sudah dikuasai."

Jemmy Manembu menarik napas panjang. Di tangannya tergenggam sebilah parang kecil, warisan ayahnya. Bukan untuk berperang, tapi sekadar mengingatkan bahwa setiap lelaki di kampung harus siap menjaga keluarganya bila bencana datang.

“Jemmy,” suara ibunya memecah lamunan. Seorang perempuan paruh baya keluar dari dapur, membawa lampu minyak. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan cemas.
“Esok, pergilah lebih pagi ke ladang. Kita harus kumpulkan padi. Kalau betul kabar itu, kita tak tahu berapa lama bisa bertahan.”

Jemmy mengangguk. “Iya, Ma. Saya akan bawa Maria juga.”

Maria, adik bungsunya, baru berusia sepuluh tahun. Sejak sore tadi ia terus menempel pada Jemmy, seperti tahu ada sesuatu yang akan terjadi. Anak itu tertidur di bale-bale, tubuh mungilnya dibungkus sarung.

Ayah Jemmy keluar menyusul. Lelaki setengah baya itu berjalan dengan tongkat, kakinya pincang sejak jatuh dari pohon kelapa bertahun-tahun lalu.
“Kamu dengar, Jem?” suaranya rendah. “Jangan sampai kabar ini bikin kita gegabah. Kalau Jepang datang, jangan lawan. Yang penting lindungi mama dan adikmu.”

Jemmy menunduk. Ada perasaan pahit yang tak bisa ia ucapkan. Ia tahu ayahnya benar, tapi di dalam dadanya, darah mudanya bergolak. Mengapa selalu rakyat kecil yang harus tunduk?

Malam semakin larut. Jemmy masih duduk di beranda, mendengar debur ombak dari jauh. Kane’yan tampak damai, tapi bagi Jemmy, ketenangan itu hanya selapis tipis. Di baliknya, ada sesuatu yang sedang bergerak mendekat—sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Pagi itu, 9 Maret 1942, matahari baru saja merayap di balik bukit ketika suara asing memecah kesunyian. Dari arah jalan besar yang menghubungkan Amurang, derap sepatu berat terdengar, disusul teriakan lantang yang tak dipahami oleh telinga orang Kane’yan.

Jemmy sedang menimba air di sumur. Seember pertama baru saja ia angkat ketika ia melihat Maria berlari tergopoh-gopoh.
“Kak! Kak Jemmy! Ada orang-orang pakai baju hijau... banyak sekali!”

Jemmy meletakkan ember dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak keras. Ia tahu, kabar itu kini nyata: tentara Jepang benar-benar telah tiba.

Tak lama kemudian, puluhan serdadu dengan seragam hijau kusam dan topi baja memasuki kampung. Senjata panjang mereka berkilat di bawah sinar matahari. Bayonet terpasang di ujung laras, seolah siap menembus siapa saja yang berani melawan.

“Semua keluar! Semua kumpul di lapangan!” seorang perwira berteriak dalam bahasa Melayu yang patah-patah. Suaranya menggelegar, matanya tajam penuh ancaman.

Panik melanda kampung. Anak-anak menangis, perempuan berteriak mencari keluarga, orang-orang tua tergopoh keluar dari rumah. Jemmy meraih tangan Maria, lalu menarik ibunya yang masih bingung. Ayahnya dengan langkah pincang mencoba mengikuti.

Lapangan kecil di tengah kampung tiba-tiba dipenuhi manusia. Jemmy berdiri di antara kerumunan, peluh dingin membasahi pelipisnya. Ia mencoba menutupi wajah gelisahnya, apalagi ketika ia melihat seorang tentara Jepang memukul lelaki tua dengan popor senapan hanya karena berjalan terlalu lambat. Lelaki itu terjatuh, darah mengalir dari keningnya.

Maria menggenggam tangan Jemmy erat-erat. “Kak... mereka mau apa dengan kita?” bisiknya, hampir tak terdengar.

Jemmy menelan ludah. Ia ingin berkata, tak usah takut, mereka takkan apa-apa, tapi lidahnya kelu. Karena di matanya sendiri, ia melihat bayangan bencana yang tak bisa dicegah.

Perwira Jepang kembali berteriak, menyapu pandangan ke seluruh warga. “Barang semua! Rumah semua! Jepang ambil!” katanya dengan logat kasar.

Seketika, Jemmy merasa lututnya lemas. Ia sadar, apa yang selama ini hanya kabar kini berubah jadi kenyataan: hari itu Kane’yan tak lagi milik mereka.

Sore hari itu, langit Kane’yan berubah kelabu. Awan hitam bercampur dengan asap yang membubung dari obor-obor yang dibawa tentara Jepang. Jemmy berdiri bersama penduduk lain di lapangan, tangan masih menggenggam Maria yang menangis ketakutan.

“Lihat, Kak... rumah kita!” suara Maria pecah dalam isak.

Jemmy menoleh. Ia melihat seorang prajurit melemparkan obor ke atap rumah mereka. Dalam sekejap, api menjilat dinding bambu, merayap cepat ke tiang kayu yang sudah kering. Api itu tak hanya membakar kayu, tapi juga kenangan: tawa kecil Maria saat belajar berjalan, doa malam ibunya di ruang tengah, dan cerita ayahnya tentang leluhur mereka di tanah Minahasa.

“Tidak...!” Jemmy hampir berlari, tapi ayahnya menahan lengannya dengan kuat.
“Jangan, Jemmy. Mereka bunuh kamu kalau kau dekat.”
“Tapi Pa, itu rumah kita!” Jemmy berteriak dengan suara serak.
“Rumah bisa kita bangun lagi... tapi nyawa tidak.”

Kata-kata itu menampar Jemmy, namun hatinya tak bisa menerima. Ia menyaksikan, dengan mata kepala sendiri, bukan hanya rumahnya, tapi rumah-rumah tetangga, lumbung padi, kandang babi, ayam, bahkan pohon kelapa yang jadi sumber hidup ikut disiram bensin dan dibakar.

Api semakin membesar. Hawa panas membuat kulit perih, asap pekat menusuk hidung. Ternak menjerit kesakitan, berlari tanpa arah sebelum tumbang dilahap api. Jerit tangis perempuan bercampur dengan teriakan anak-anak yang mencari orang tua mereka.

Bagi Jemmy, waktu seakan berhenti. Setiap detik terasa panjang, menyayat.

Seorang tentara Jepang berjalan melewatinya, tersenyum tipis sambil menendang karung jagung yang tumpah ke tanah. Biji-biji kuning itu berserakan, diinjak-injak, dan tak lama kemudian ikut terbakar. Jemmy mengepalkan tinjunya, tubuhnya bergetar menahan amarah.

Di sampingnya, ibunya hanya bisa berbisik doa. Air mata jatuh di pipinya, namun suaranya tegar:
“Tuhan... selamatkanlah anak-anak saya.”

Tujuh jam lamanya api mengamuk, memakan hampir seluruh desa. Menjelang malam, Kane’yan tak lagi berdiri. Yang tersisa hanyalah arang, asap, dan bau menyengat dari ternak yang hangus.

Jemmy duduk terdiam, memangku Maria yang tertidur karena kelelahan menangis. Pandangannya kosong menatap bara merah yang masih menyala di bekas rumahnya.

Ia tahu, sejak hari itu, Kane’yan bukan lagi desa yang sama.
Yang terbakar bukan hanya bangunan—tapi hati dan jiwa orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Malam itu, setelah api mereda dan Kane’yan hanya tinggal puing berasap, Jemmy duduk termenung di bawah pohon ketapang yang masih selamat dari jilatan api. Maria tertidur di pangkuannya, tubuh mungilnya masih sesenggukan dalam mimpi.

Suara ayahnya pelan, hampir seperti bisikan:
“Jemmy... kita sudah tak punya rumah. Tapi kita masih punya satu sama lain. Itu yang harus kita jaga.”

Jemmy menunduk. Kata-kata itu menenangkan, tapi hatinya bergolak. Ia ingin percaya, namun setiap kali ia mengingat tawa tentara Jepang saat menyalakan api, amarahnya kembali membara.

Beberapa hari kemudian, kabar menyebar diam-diam di antara pemuda. Johan Meliëzer, seorang bekas serdadu KNIL, sedang menghimpun orang-orang berani untuk melawan Jepang. Nama-nama seperti Simon Penu, Yahya Rumagit, dan pemuda dari kampung-kampung sekitar disebutkan. Mereka tidak rela Kane’yan, Ritey, dan Maliku diinjak-injak tanpa perlawanan.

Jemmy mendengar kabar itu dari sahabatnya, Markus, yang datang tergesa-gesa ke tempat pengungsian kecil mereka.
“Jem, malam lusa kita akan berkumpul di hutan sebelah Maliku. Johan sendiri yang memimpin. Kau harus ikut. Kita tak bisa diam begini terus.”

Mata Jemmy berkilat. Inilah yang ia tunggu—kesempatan membalas, kesempatan menunjukkan bahwa orang Minahasa tidak mudah ditindas.

Namun ayahnya segera menatap tajam. “Tidak, Jemmy. Kau tidak ikut.”
“Apa maksud Papa? Mereka sudah bakar rumah kita, bunuh orang kampung, hina kita semua! Masa kita diam saja?” Jemmy hampir berteriak, dadanya naik turun menahan emosi.
“Kau lupa siapa yang harus kau lindungi?” Ayahnya menunjuk Maria yang sedang memeluk ibunya, wajah polosnya penuh letih.
Jemmy terdiam. Seolah seluruh tenaga yang tadi menggelegak hilang begitu saja.

Malam itu ia gelisah. Di satu sisi, darah mudanya mendesak untuk melawan. Di sisi lain, ia tahu ibunya, ayahnya, dan Maria hanya punya dia untuk bertahan hidup.

Jemmy menatap ke langit gelap, bintang-bintang seakan bersembunyi di balik asap sisa kebakaran. Ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku ingin berperang... tapi apakah itu berarti aku harus meninggalkan mereka?”

Hatinya koyak, terbagi dua: antara tanggung jawab sebagai anak dan panggilan sebagai pemuda Minahasa.

Pagi itu, udara di Minahasa terasa berat. Jemmy berjalan di tepi hutan, mengikuti langkah Markus. Mereka tidak berani keluar ke jalan besar—patroli Jepang berkeliaran di mana-mana. Sejak pertemuan dengan ayahnya malam itu, Jemmy belum lagi memutuskan apakah ia benar-benar akan bergabung dengan kelompok perlawanan. Namun nalurinya membawanya untuk tahu, untuk melihat.

Di kejauhan, suara tembakan meledak, disusul teriakan. Jemmy dan Markus saling berpandangan, lalu berlari menyusuri semak. Mereka tiba di sebuah tanah lapang di Tolongko—dan pemandangan di hadapan mereka membuat darah Jemmy membeku.

Enam orang desa, tangan terikat dan mata ditutup kain hitam, berlutut di depan barisan tentara Jepang. Jemmy mengenali beberapa wajah meski tertutup: Petrus Penu, seorang tokoh kampung yang dihormati; Frederik Joel Rumengan, guru sekolah GMIM Kaneyan yang sabar dan bijak; serta Runtu Ropa dan Sampel Tambajong. Dua perempuan juga ada di sana: Ibu Hukum Tua Ritey, dan Dina Pratasis—nenek kecil Frans Suak yang selalu dikenal murah senyum.

“Jangan... oh Tuhan...” Jemmy berbisik, tubuhnya gemetar. Markus menahan lengannya agar tidak maju.

Seorang perwira Jepang mengeluarkan perintah singkat. Tentara-tentara mengacungkan senapan. Dalam sekejap, suara letusan memecah udara. Tubuh-tubuh itu jatuh serentak ke tanah.

Namun yang membuat Jemmy hampir menjerit adalah apa yang terjadi berikutnya. Seorang prajurit mendekat, menusukkan bayonet ke mulut seorang perempuan yang masih menggeliat, darah memancar dari wajahnya. Jemmy menutup mulut dengan tangannya, air mata mengalir deras tanpa bisa ditahan.

Markus berbisik, suaranya serak:
“Inilah harga melawan mereka... Jem. Kau lihat sendiri.”

Jemmy hanya bisa menatap. Ia ingin berlari, ingin mengangkat batu dan menghantam kepala salah satu tentara itu, tapi tubuhnya tak bergerak. Rasa takut, marah, dan putus asa bercampur jadi satu.

Ketika para tentara pergi meninggalkan mayat-mayat itu, Jemmy dan Markus mendekat perlahan. Jemmy berlutut di samping jenazah Guru Rumengan. Ingatannya melayang pada masa kecil: suara lembut sang guru saat mengajarinya membaca, senyum hangat ketika Jemmy berhasil menulis namanya dengan benar.

“Maaf, Guru...” Jemmy berbisik, suaranya pecah. “Kami tak bisa menolong...”

Hari itu, Tolongko menjadi saksi darah yang tumpah. Bagi Jemmy, itu bukan lagi sekadar kabar, melainkan bukti nyata bahwa Jepang tak mengenal belas kasihan.

Di dalam dirinya, tekad semakin mengeras. Jika hidup harus dipertaruhkan, maka ia lebih baik mati melawan daripada hidup dalam ketakutan.

Matahari menanjak tinggi ketika pasukan Jepang kembali mengumpulkan warga Kane’yan yang masih hidup. Jemmy, ibunya, Maria, dan ayahnya yang pincang berdiri dalam kerumunan. Wajah-wajah letih menatap kosong, tubuh kurus kering setelah berhari-hari tanpa cukup makan.

“Semua! Jalan! Ke Amurang!” teriak seorang serdadu dengan suara kasar. Ujung senapannya menuding ke arah jalan besar.

Tak ada pilihan. Ratusan warga dipaksa berjalan kaki sejauh lima belas kilometer. Tanpa bekal, tanpa air, hanya dengan pakaian di tubuh.

Jemmy menggandeng tangan Maria. Anak itu sudah sangat lemah. Setiap beberapa langkah, tubuhnya limbung. Akhirnya Jemmy menggendongnya di punggung, meski kakinya sendiri terasa berat.

Di sisi lain, ibunya berjalan pelan, membantu ayahnya yang pincang. Jemmy sesekali menoleh ke belakang, melihat mereka terseret langkah demi langkah, wajahnya diliputi rasa khawatir.

Perjalanan terasa tak berujung. Panas matahari menyengat kepala, debu jalan melekat di wajah dan bibir. Suara batuk dan tangis anak-anak bercampur dengan gerutuan serdadu Jepang yang mengawasi dengan bayonet terhunus.

Seorang ibu muda di depan mereka jatuh pingsan. Bayinya menangis keras di pelukan. Alih-alih menolong, seorang tentara menendang tubuh perempuan itu agar bergeser dari jalan. Jemmy menggertakkan gigi, tapi ia tahu jika ia melawan, ia dan keluarganya akan bernasib sama.

Menjelang sore, rombongan akhirnya tiba di Amurang. Di sebuah tanah lapang di bawah pohon beringin besar—yang kelak akan menjadi lokasi gedung DPRD Minsel dan sekolah SMP Negeri 1 Amurang—penduduk dipaksa berhenti.

“Semua duduk! Jangan bergerak!” perintah seorang perwira.

Jemmy menurunkan Maria dari punggungnya. Gadis kecil itu langsung tertidur di tanah, tubuhnya lunglai karena kelelahan. Jemmy menatap wajah adiknya yang kotor oleh debu, lalu menoleh ke ibunya yang duduk dengan napas terengah. Ayahnya terkulai, wajahnya pucat.

Di bawah pohon beringin itu, Jemmy merasa seluruh dunia runtuh. Mereka tidak lagi punya rumah, ladang, atau desa untuk kembali. Semua sudah jadi abu.

Namun di dalam hatinya, meski tertutup oleh duka, masih ada secercah nyala. Api kecil yang berkata: Jemmy, kau harus bertahan. Karena jika kau menyerah, maka cerita tentang Kane’yan akan hilang selamanya.

Malam itu, di bawah beringin Amurang, Jemmy menggenggam erat segenggam tanah yang ia bawa dari puing rumahnya. Tanah hitam itu menempel di tangannya, menjadi janji bahwa suatu hari, mereka akan kembali.

Fajar merayap di Amurang. Embun masih menggantung di dedaunan, tapi hati Jemmy Manembu terasa kering, retak, seperti tanah yang kehilangan hujan. Ia duduk di samping Maria yang masih tidur pulas, sementara ibunya menyiapkan sedikit sisa ubi rebus yang mereka dapat dari seorang warga yang berbaik hati.

Ayahnya duduk diam, tatapan kosong ke arah laut. Jemmy tahu pikiran lelaki itu masih tertinggal di Kane’yan—di ladang yang kini hanya abu, di rumah yang tak lagi berdiri, di kampung yang hanya tinggal kenangan.

Jemmy menggenggam erat tanah yang ia bawa. Butiran itu menempel di tangannya, hitam dan berbau asap. Ia memandanginya lama, lalu berbisik dalam hati:

"Inilah yang tersisa dari rumah kita. Tapi selama aku masih hidup, tanah ini akan terus bercerita."

Hari-hari di pengungsian penuh penderitaan. Penduduk Kane’yan tak bisa kembali, karena yang mereka tinggalkan hanyalah arang. Mereka hidup dalam bayang-bayang tentara Jepang, dengan rasa takut yang tak pernah hilang.

Namun Jemmy tidak ingin menyerah. Ia tahu, jika ia kalah oleh rasa putus asa, maka Kane’yan benar-benar hilang untuk selamanya. Setiap malam, ia menatap Maria yang tidur lelap, ibunya yang berdoa dengan suara lirih, dan ayahnya yang diam dalam luka. Dari situlah ia menarik kekuatan.

Di suatu malam yang sunyi, Jemmy berjanji dalam dirinya sendiri:

"Aku akan bertahan. Aku akan hidup. Agar suatu hari nanti, anak-anak Kane’yan tahu bahwa desa ini pernah berdiri. Bahwa meski dibakar, dipaksa hilang, jiwa Kane’yan tetap hidup dalam darah kami."

Air matanya menetes, jatuh ke tanah yang ia genggam. Di dalam tangisan itu, lahirlah tekad baru: ia bukan sekadar korban, ia adalah saksi. Dan selama saksi itu masih bernapas, Jepang tidak pernah benar-benar menang.


🌑 Epilog
Tragedi Kane’yan meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Namun dari reruntuhan itu, lahirlah kekuatan untuk mengingat. Jemmy Manembu tidak pernah melupakan hari-hari kelam itu—dan dengan ingatan itulah, ia memastikan bahwa api yang melahap Kane’yan tidak akan pernah melahap sejarah mereka.


Perjalanan Jemmy Manembu: Dari Api Kane’yan ke Ruang Pendidikan

Tragedi Kane’yan tahun 1942 meninggalkan luka yang dalam di hati Jemmy Manembu. Namun dari abu desa yang terbakar, lahirlah tekad baru: ia harus bangkit, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk masa depan generasi setelahnya.

Masa di Sekolah Guru di  Pondol,Manado

Lebih 10 tahun selepas perang usai, Jemmy bertekad melanjutkan sekolah. Dengan langkah sederhana dan hati penuh semangat, ia pergi ke Manado, mendaftar di Sekolah Guru Manado di Pondol.

Hari-hari di asrama Pondol tak mudah. Jemmy harus hidup jauh dari keluarga, dengan bekal seadanya. Namun ia selalu mengingat pesan ayahnya: “Ilmu adalah senjata. Bukan senjata api, tapi senjata yang membuat kita berdiri tegak.”

Setiap pagi ia berjalan kaki menyusuri jalan tanah, bersepatu lusuh, membawa buku-buku bekas yang penuh coretan. Meski sederhana, semangatnya tak pernah padam. Ia tekun membaca, belajar bahasa Belanda, matematika, dan pengetahuan umum.

Di kelas, Jemmy dikenal pendiam tapi cerdas. Ia sering membantu teman-temannya yang kesulitan, bahkan mengajar anak-anak kecil di sekitar Pondol sepulang sekolah. Dari situlah ia sadar: panggilan hidupnya ada di dunia pendidikan.

Menjadi Sarjana Muda di PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Tondano

Tahun berganti, dan Jemmy akhirnya berhasil menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru. Namun tekadnya tidak berhenti di situ. Dengan kerja keras dan doa, ia melanjutkan ke PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Tondano.  Kala  itu  gedung  perkuliahannya  di  Bangunan Loji  peninggalan Belanda.

Di kampus, Jemmy menemukan dunianya. Ia belajar tentang teori pendidikan, filsafat, dan cara membentuk generasi muda. Ia bergaul dengan mahasiswa dari berbagai daerah di Sulawesi, berdiskusi tentang masa depan bangsa pasca-penjajahan.

Meski sering kesulitan biaya, Jemmy tidak pernah menyerah. Ia bekerja sambilan, mengajar les kecil-kecilan, dan bahkan menulis artikel pendek untuk surat kabar lokal demi menambah uang makan.

Setiap kali rasa lelah menghampiri, Jemmy kembali mengingat api yang membakar Kane’yan. Ia berjanji dalam hati: “Kalau Jepang dulu merampas masa kecilku, maka pendidikan ini akan mengembalikan masa depan anak-anak Minahasa.”

Akhir Perjalanan Pendidikan

Akhirnya, dengan penuh perjuangan, Jemmy berhasil menyelesaikan studinya di IKIP Manado dan meraih gelar sarjana muda. Bagi Jemmy, toga yang ia kenakan di hari wisuda bukan sekadar kain hitam, melainkan simbol bahwa seorang anak desa yang pernah kehilangan segalanya bisa bangkit kembali melalui pendidikan.

Oleh : Alffian  Walukow_2025

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA