ASAL-USUL DESA WUWUK DI TAERAN - MINAHASA SELATAN


Asal-Usul Desa Wuwuk:

( WUWUK  =  DUPA )

Dari Pohon Wuwuk  (Damar) hingga Pusat Zending Kristen



Sumber  primer :  Cerita  dari  A.W.Rompas  dari  Desa  Wuwuk.

Sumber  sekunder : Schwarz, J. Alb. T.

Desa Wuwuk di wilayah Kawangkoan memiliki sejarah panjang yang berakar pada tradisi lisan, toponimi lokal, dan catatan misi zending. Nama Wuwuk berasal dari sejenis pohon yang menghasilkan getah harum. Getah pohon ini biasa dibakar untuk mengharumkan pakaian, sehingga pohon tersebut memiliki fungsi penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minahasa.

Menurut tradisi, seorang tokoh bernama Sage dianggap sebagai pendiri kampung Wuwuk. Pohon wuwuk ditemukan di arah tenggara, dan karena keunikan serta kegunaannya, nama pohon itu kemudian melekat sebagai nama tempat, yang berkembang menjadi Desa Wuwuk.

Etnografer Belanda J.G.F. Riedel dalam karyanya De sluik- en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua (1886) mencatat:

“De Minahassers gebruikten de hars van zekere boom, Wuwuk genaamd, om hun kleederen te welriekend te maken, hetgeen aanleiding gaf tot den naam van het dorp.”
(“Orang Minahasa menggunakan getah dari sebuah pohon, yang disebut Wuwuk, untuk mengharumkan pakaian mereka; hal inilah yang menjadi asal mula nama desa itu.”)

Catatan ini memperkuat keterkaitan antara toponimi desa dengan fungsi pohon dalam budaya material masyarakat Minahasa abad ke-19.

Struktur Pemerintahan Awal dan Kepemimpinan

Seiring bertambahnya jumlah penduduk, Sage yang sudah lanjut usia meminta Kepala Distrik Kawangkoan untuk mengutus pemimpin ke desa Wuwuk. Maka ditunjuklah Walintukan dan Rompas.

  • Walintukan memegang dua jabatan sekaligus: kepala desa (hukum tua) dan pendeta. Dalam masyarakat waktu itu ia disebut pemimpin atau pemimpin para pendeta.
  • Rompas menjadi kepala desa kedua dan pendeta kedua. Ia digelari open-snijder of ontweier van het varken (penyayat atau tukang potong babi), karena dalam struktur adat Minahasa tugas memotong dan mengeluarkan isi perut babi sangat penting dalam pesta adat.
  • Egetën, pendeta ketiga, memegang jabatan sebagai masainsang atau misionaris kedua pendeta. Ia bertugas menyiapkan nasi tumbuk, ayam, dan kayu bakar untuk upacara adat di alun-alun desa.

Istilah masainsang sendiri disebut dalam karya N. Adriani dan A.C. Kruyt De Bare’e-sprekende Toradja’s van Midden-Celebes (1912), yang menjelaskan bagaimana jabatan adat Minahasa terkait erat dengan peran religius maupun praktis dalam penyelenggaraan pesta.

Alun-Alun Desa dan Simbol Tumotowa

Alun-alun desa, sebuah halaman kosong tanpa rumah, menjadi pusat upacara adat. Di tengah alun-alun, masyarakat mengubur kicauan burung iman yang dianggap menentukan berdirinya desa. Dua batu tegak didirikan di atasnya: yang satu tinggi, yang lain lebih rendah. Kedua batu ini disebut tumotowa, lambang persatuan dan dasar berdirinya kampung.

Etnolog Nicolaus Adriani dalam De Bare’e-sprekende Toradja’s (1912) menyebut bahwa tumotowa merupakan bentuk megalithisch symbool (simbol megalitik) yang berfungsi menandai tatanan sosial dan legitimasi kampung.

Daftar Kepala Desa dan Pendeta

Kepemimpinan desa kemudian diwariskan dari generasi ke generasi:

  • Kepala desa: Walintukan, Rompas, Rotulung (Dotulong, anak Rompas), Pangkei, Masehi (putra Pangkei), Manginda’an, Pinitong Thomas, Walewangko’ Petrus, Jan Lumampow, Thomas Pangkei, Petrus Pangkei, Lukas Rëmbët, Habel Salangka’, hingga Petrus Lumi (kepala desa tahun 1906).
  • Para pendeta: Walintukan, Runtuwa’ilan, Egetën, dan Wange’ (Ibrahim).

Awal Masuknya Zending dan Pendidikan Kristen

Zending Kristen mulai menjejak di Wuwuk pada September 1838, ketika sebuah sekolah Serikat dibuka. Guru pertama adalah Hermanus Lintjewas dari Amurang. Guru kedua bernama Adam Jacob dari Tanawangko, lalu disusul Hermanus Lintjewas (kedua), Samuel Walintukan, dan Albert Rumëngan.

Pada 30 Agustus 1843, sekitar 20 orang dibaptis menjadi Kristen. Pada Desember 1847, seorang perempuan masuk dalam jemaat Kristen pertama di desa itu. Perjamuan Kudus pertama diadakan pada Desember 1850.

Catatan misi ini juga terdapat dalam arsip Het Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG) yang didokumentasikan dalam Mededeelingen van het Nederlandsch Zendelinggenootschap (1844):

“In Wuwuk werden twintig zielen in den naam des Heeren gedoopt, hetgeen een nieuw begin der Christelijke gemeente aldaar was.”
(“Di Wuwuk, dua puluh jiwa dibaptis dalam nama Tuhan, yang menjadi awal baru bagi jemaat Kristen di sana.”)

Sejarah Desa Wuwuk memperlihatkan keterpaduan antara tradisi lokal Minahasa dengan masuknya pengaruh zending Kristen. Pohon wuwuk tidak hanya memberi nama desa, tetapi juga menjadi simbol identitas awal. Sementara itu, sistem kepemimpinan Walintukan, Rompas, dan Egetën menunjukkan bagaimana struktur adat, jabatan ritual, dan agama baru berkelindan.

Zending Kristen membawa pendidikan dan baptisan massal, yang mengubah Wuwuk menjadi salah satu pusat perkembangan iman Kristen di Kawangkoan sejak abad ke-19.

Wuwuk sebagai Nama Lokal dari Pohon Damar

Sumber: Kisah Mailensun dalam Schwarz, J. Alb. T. (1907). Tontemboansche teksten: Vertaling. Leiden: Boekhandel en Drukkerij voorheen E. J. Brill

Manusia yang lahir dari tumbuhan, dalam hal ini sebuah batang bambu. Mailensun disucikan sebagai dewa oleh dua dewi muda. Mereka berdoa kepadanya serta memberinya getah pohon wuwuk.

Getah damar dari pohon langka ini dahulu dibakar untuk mengasapi pakaian, sehingga pakaian tersebut beraroma harum. Tradisi ini terutama dilakukan pada pakaian yang dikenakan pada upacara  pemakaman, serta pada senjata yang digunakan dalam upacara pengorbanan sebelum pertempuran. Para pendeta perempuan juga mengoleskan getah wuwuk pada diri mereka sebelum memulai mareindeng (nyanyian atau ritual khusus).

Pentahbisan Mailensun berlangsung di Sungai Makalu, yang bermuara ke laut di sebelah selatan Bentenan. Mailensun sendiri berasal dari Pasambangko’, sehingga cerita ini menggunakan bahasa Bentenan. Bahkan, ungkapan penyapaan kepada Mailensun dalam bahasa Naawuan ternyata juga merupakan bentuk dari bahasa Bentenan. Adapun wilayah Naawuan terletak di lereng barat bagian selatan Pegunungan Soputan, dengan nama yang berarti “yang ditutupi abu” (en aawuan).

 

Daftar Pustaka

 

Wuwuk  kumpulan tulisan :

Masuklah ke Menahasseh yang diberkati dengan limpah. Pandangan kita pun berhenti dengan sukacita yang nyata pada tempat-tempat lain, sebab tempat-tempat itu tidak hanya membangkitkan kenangan yang indah, melainkan juga menyalakan pengharapan yang menggembirakan.

Apakah Anda mengenal Woewoek, misalnya? Sebuah komunitas yang termasuk dalam lingkup karya luas saudara-saudara kita yang telah mendahului, Herman dan Van Capellen—“mahkotanya,” demikianlah sebutan yang pernah diberikan oleh salah seorang dari mereka. Nama Woewoek berarti “harum.” Namun, lebih daripada sekadar arti kata, sesungguhnya jika ada satu komunitas di wilayah itu yang sungguh-sungguh memancarkan aroma Kristus yang menyenangkan dan menyejukkan hati, maka komunitas inilah yang layak disebut demikian.

Laporan Saudara Ulfers, yang sebelumnya telah disinggung dalam Laporan Bulanan lain, memuat contoh-contoh paling jelas mengenai hal ini. Patut diketahui, banyak di antara penduduk Woewoek—sebagaimana halnya dengan penduduk Pinamorangan, orang-orang negri di sekitarnya—telah mengalami perubahan besar dalam perjalanan hidup mereka.

Sumber : Nederlandsch Zendeling-Genootschap. (1861). Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen, 1861, no. 9 (01 September 1861).


JOZEF PANGKEJ, berusia sekitar 34 tahun, adalah seorang pria dengan semangat yang berkobar-kobar, berlandaskan iman yang murni serta kasih yang mendalam kepada KRISTUS. Keterlibatannya dalam perjuangan jemaat kecil kita demikian besar, sehingga lingkup pelayanan saya sendiri terasa terlalu sempit baginya.

Ia lahir di Woewoek yang saleh, sebuah jemaat yang enam belas tahun lalu dikenal sebagai kongregasi terbaik di bawah asuhan mendiang Bruder Herrman. Ketika ia meminta cuti empat hari untuk mengunjungi kedua orang tuanya—yang masih tinggal di sana dan dikenal karena kesalehan mereka—ternyata kunjungan itu memiliki tujuan lain yang lebih besar.

Di Amoerang, mendiang Bruder Van Capellen belum sempat membangun perkumpulan doa jemaat karena kemiskinan yang begitu parah menimpa umat di sana. Sejak ia ditetapkan dalam tugasnya, pembantu saya, setiap kali selesai ibadah doa, menuliskan draf khotbah saya dan mengirimkannya ke kampung halaman, Woewoek. Di sana, draf itu selalu dibacakan di hadapan jemaat, sehingga terciptalah jam doa tersendiri.

Para pengurus mengetahui bahwa dalam doa-doa itu saya selalu membicarakan sejarah gereja, tanpa menyinggung kontroversi maupun perselisihan iman yang pernah timbul. Namun, bagi Jozef Pangkej, sebuah babak baru dalam pewartaan KRISTUS telah dimulai. Dengan iman dan kasihnya, ia berdiri teguh di tengah arus yang tidak dapat—dan tidak akan pernah—ia hentikan. Ia menjadi penggerak, bukan hanya bagi para pengkhotbah, tetapi juga bagi setiap pendengar yang haus akan firman. Mereka pun harus berbagi kebenaran itu beserta penghiburannya: bahwa memberi lebih diberkati daripada menerima. Maka, di manapun lingkup pelayanan Saudara Tendeloo dalam perjalanannya ke Woesoek, tanpa sepengetahuan beliau maupun saya sendiri, Jozef Pangkej mulai memberitakan firman kepada jemaat tentang apa yang memenuhi hatinya. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian.

Ia juga mengatur sumbangan keuangan rutin, yang harus ditandatangani oleh setiap anggota, ditulis dengan rapi di atas kertas, lalu dikumpulkan olehnya—persis seperti yang telah ia lakukan sebelumnya di sini, bersama kita. Dan hasil yang dicapai di sana, baik dari segi jumlah maupun keteraturan, ternyata jauh lebih baik daripada di tempat kita. Itu wajar, sebab jumlah umat Kristen di Woewoek lebih banyak dan kehidupan mereka pun lebih makmur.

Sepulangnya dari perjalanan itu, Jozef menceritakan kembali segala yang telah ia lakukan di sana. Saya sendiri bingung, tidak tahu bagaimana harus menyikapinya. Langkah pertama saya adalah meminta penjelasan dari Br. Tendeloo, karena Jozef begitu banyak mencampuri pekerjaan di wilayahnya tanpa sepengetahuan ataupun persetujuan saya. Namun, Br. Tendeloo justru mengetahuinya lebih dahulu, sebab jemaat telah menyerahkan daftar sumbangan kepadanya. Dan karena pekerjaan itu ternyata membawa hasil yang baik serta memperkuat kehidupan jemaat, ia pun dengan senang hati memaafkannya.

Tetapi bagi saya, perlu waktu untuk menjelaskan kepada Jozef bahwa, betapapun baik dan berhasilnya usahanya itu, ia tidak seharusnya melakukannya di sana. Sebab pelayanan kita memiliki lingkup kerja yang sudah ditentukan. Ia akhirnya mengalah, tentu saja—karena ia adalah seorang anak daerah yang tahu bagaimana menghormati aturan. Namun, kasihnya kepada KRISTUS dan sesamanya membuatnya merasa sebaliknya: apa yang sungguh baik dan bermanfaat bagi semua orang, apalagi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa, tidak sepatutnya diberikan kepada yang satu tetapi ditahan dari yang lain, jika hal itu dapat dibagikan tanpa merugikan siapa pun dan tanpa menimbulkan rasa malu.

Sumber : Maandberigten

 

PENDIRIAN  GEREJA PROTESTAN  WUWUK  Tahun 1848

Bagian yang paling berkembang terletak di distrik Kawangkowang, yang terdiri atas beberapa jemaat. Salah satunya adalah Jemaat Woewoek, yang didirikan pada tahun 1848 oleh mendiang Bruder Herrmann, dan kemudian secara berkala dikunjungi oleh beliau bersama saudara kita yang juga telah mendahului, Van Capellen. Benih sesawi kecil yang ditabur saat itu kini telah tumbuh dengan subur, sehingga jumlah jemaatnya mencapai lebih dari 500 jiwa.

Baru-baru ini, anggota terakhir dari kalangan Alfur yang masih tinggal di sini—seorang pria berusia lebih dari lima puluh tahun—mengajukan diri untuk menerima bimbingan rohani. Setelah ia dan beberapa lainnya dibaptis, hanya tersisa delapan hingga sepuluh orang yang, karena kelemahan jasmani maupun rohani, tidak lagi sanggup bergabung dengan persekutuan kami.

Delapan kali dalam setahun, jemaat yang terpencil ini dikunjungi oleh saudara kita, dan setiap kunjungan selalu menghadirkan hal-hal baru yang patut disyukuri. Saya semakin diteguhkan dalam keyakinan bahwa jemaat ini benar-benar hidup, menyalurkan kehidupan, dan memancarkan terang di tengah wilayah yang luas serta padat penduduk. Sukacita dan semangat mereka, kerinduan akan bimbingan, serta kehausan mereka akan air kehidupan demikian universal dan mengagumkan, hingga saya berani menyatakan tanpa melebih-lebihkan: jarang, bahkan mungkin tidak pernah, saya menemukan hal serupa di tanah air.

Nama tempat ini berarti “dupa,” sebab dahulu di sekitarnya pernah tumbuh tanaman harum. Namun kini, komunitas ini sendiri telah menjadi dupa sejati—persembahan harum yang naik ke hadirat Tuhan.

Sumber ; Maandberigten voorgelezen

 

 


Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA