CERITA ANGKOL DAN WALA, CERITA RAKYAT DARI DESA TALAITAD-TARERAN
Kisah Dua
Orang dari Zaman Dahulu Kala: Angkol dan Wala
Cerita Rakyat dari Desa Talaita’d Tonsaroinsong (Tareran)
Publikasi 1907
Versi asli : Bahasa Belanda
Versi bahasa Indonesia : Alffian Walukow
Legenda Angkol
dan Wala dari Sonder
Pada masa
lampau, di tanah Sondër—sebuah daerah yang kemudian dikenal sebagai pusat
zending dan pendidikan Kristen pada masa kolonial Belanda—hidup dua orang
sahabat bernama Angkol dan Wala. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah berburu
binatang hutan, terutama babi hutan dan kelelawar, yang kala itu menjadi sumber
pangan sekaligus bagian dari tradisi berburu masyarakat Minahasa.
Petualangan ke
Gua Kelelawar
Suatu hari,
mereka berdua berjalan ke arah selatan menuju Kasuruan. Dalam catatan kolonial,
wilayah Kasuruan sering disebut sebagai bagian dari jalur perbukitan Minahasa
yang subur, tempat rakyat menanam jagung, padi ladang, dan umbi-umbian. Saat
menuruni Lembah Nimanga, sebuah kawasan yang juga tercatat dalam laporan
Belanda sebagai daerah kaya air dan hasil bumi, mereka melihat sebuah gua di
lereng gunung yang curam, tempat kelelawar bergelantungan.
Melihat banyak
kelelawar keluar masuk gua itu, mereka berdiskusi:
“Siapa yang berani masuk menangkap kelelawar ini?”
Angkol menjawab dengan tegas:
“Saya mau.”
“Bagus,” kata Wala menyetujui.
Sesuai kebiasaan orang Minahasa ketika memasuki gua,
Angkol mengikatkan rotan di pinggangnya agar tidak tersesat. Namun, Wala
menipunya. Ia pura-pura mengikat rotan, padahal sebenarnya dilepas. Angkol
masuk lebih dalam tanpa menyadari hal itu.
Di dalam gua, ia berhasil menangkap banyak kelelawar,
tetapi ketika berusaha keluar, ia tidak menemukan jalan semula. Ia mencoba
mengguncang rotan agar ditarik, namun tak ada jawaban. Ia pun mencari jalan
lain dan menemukan akar pohon. Dengan tekad bertahan hidup, ia mengikuti akar
tersebut, menggali tanah sedikit demi sedikit hingga akhirnya muncul di
permukaan bumi.
Muncul di Talaita’d
Tempat ia muncul adalah Talaita’d, sebuah perkampungan
yang dikenal dalam catatan kolonial sebagai bekas alun-alun tempat rakyat
berkumpul. Orang-orang kampung kaget melihat sosok asing muncul dari dalam
tanah. Mereka mengira ia makhluk gaib karena tubuhnya tampak pucat.
Ketika ditanya asal-usulnya, Angkol menjelaskan bahwa ia
berasal dari Sondër dan telah ditipu oleh sahabatnya. Orang-orang Talaita’d
menjawab bahwa ia sudah setahun penuh berada di bawah tanah, karena saat ia
masuk gua mereka sedang menanam jagung, sedangkan ketika ia keluar mereka
sedang panen.
Kepala suku memberi Angkol bubur encer agar tubuhnya kuat
kembali. Beberapa hari
kemudian, ia pulih dan memutuskan pulang ke Sondër. Namun, setibanya di
kampung, ia mendapati istrinya telah dinikahi Wala, sahabat yang menipunya.
Persahabatan Pahit dan Balas Dendam
Alih-alih marah, Angkol berkata kepada mereka:
“Kalian tetaplah bersama. Aku tidak akan memutuskan persahabatan, walaupun kau
telah mengambil istriku.”
Wala menjawab singkat:
“Bagus, teman!”
Namun, dendam Angkol tidak sepenuhnya padam. Suatu hari,
ia mengajak Wala menyadap tuak dari pohon aren—pohon yang dalam catatan
kolonial menjadi sumber nira dan gula merah, salah satu komoditas penting di
Minahasa pada abad ke-19. Saat Wala hendak memanjat, Angkol telah memotong tali
sadapnya diam-diam.
Wala pun jatuh dan meninggal seketika. Angkol berkata
lirih:
“Apakah aku mati di gua? Tidak! Kini pembalasan Tuhan datang kepadamu, karena
engkau menipuku dan merampas istriku.”
Catatan Kontekstual
Legenda ini bukan hanya kisah rakyat Minahasa, melainkan
juga berhubungan dengan fakta sejarah kolonial.
- Sondër dikenal dalam arsip Belanda
sebagai pusat zending dan pendidikan Kristen sejak abad ke-19.
- Lembah
Nimanga disebut sebagai daerah subur tempat misionaris Belanda membuka
sekolah dan ladang percobaan pertanian.
- Kasuruan
merupakan jalur penghubung antar-desa di Minahasa bagian tengah yang
sering disebut dalam laporan penginjilan dan kolonial.
- Talaita’d
tercatat sebagai lokasi alun-alun perkampungan yang pernah digunakan untuk
upacara adat sekaligus tempat rakyat dikumpulkan pada masa tanam paksa
(koffiecultuur).
Dengan demikian, legenda Angkol dan Wala tidak hanya
merekam nilai moral tentang persahabatan, pengkhianatan, dan pembalasan, tetapi
juga menyinggung ruang-ruang geografis yang penting dalam sejarah kolonial
Minahasa.
