PAKET PERJALANAN WISATA
TRAVELLING DARI AMURANG KE TONDANO
TRANSIT DI LANGSOT TARERAN
DISTRIK KAWANGKOAN
Tahun 1854
Sebuah rute perjalanan wisata yang tidak
di hidupkan lagi.
Disusun dalam terjemahan
Indonesia oleh : Alffian Walukow
Amurang, tahun 1854.
Setelah berlayar perlahan sepanjang malam dengan kapal paket kerajaan,
menjelang fajar kami tiba di Teluk Amurang—sebuah pelabuhan kecil yang oleh
banyak pelancong dan pejabat kolonial dianggap sebagai salah satu pintu masuk
terbaik ke Minahasa. Negeri ini, yang membentuk tanjung di ujung timur laut
Pulau Celebes, bukan saja indah bagi mata seorang pengelana, melainkan juga
penting bagi pemerintah Belanda sebagai benteng strategis setelah reda
gelombang perlawanan rakyat Tondano di awal abad ini.
Dari Lautan ke Daratan: Panorama Gunung Api
Tatkala cahaya pagi mulai merekah, pemandangan menakjubkan
menyambut pandangan: perbukitan yang menurun ke pantai, semenanjung yang
merapat ke laut, serta deretan kerucut gunung berapi—Lokon di timur, Soputan
(Se’mpo) di hadapan, dan Lolombulan di barat—yang seakan dipahat dari langit
biru. “Sama seperti Jawa,” demikian seruan yang kerap terdengar dari para
penumpang yang baru pertama kali singgah di Amurang.
Amurang sendiri hanyalah sebuah kampung pesisir yang
sederhana. Namun, bagi orang asing yang pertama kali menjejakkan kaki, kesan
yang ditinggalkan sungguh mendalam: penduduknya berwajah lebih mirip orang
Minahasa ketimbang Jawa atau Makassar, berpakaian campuran ala Indo-Eropa,
sementara para hoekoem—kepala distrik setempat—tampak rapi dan percaya diri
layaknya pejabat kolonial.
Transit di Langsot: Jejak Administrasi Kolonial
Dari Amurang perjalanan berlanjut menuju pedalaman. Dengan
bantuan orang Eropa di pelabuhan, kami memperoleh kuda untuk menempuh jalur
naik-turun bukit ke arah Langsot, Distrik Kawangkoan. Di sana berdiri sebuah pasanggrahan
resmi, rumah singgah yang dibangun pemerintah Hindia Belanda bagi pegawai dan
pelancong.
Perjalanan ini memperlihatkan wajah kolonial Minahasa:
segala urusan transportasi bergantung pada pejabat pribumi, yang disebut
hoekoem kadoea—jabatan setara wedana di Jawa. Mereka bertugas menyediakan kuda,
pemandu, dan keamanan bagi pelancong. Sistem ini lahir setelah reorganisasi
pemerintahan pasca-Perang Tondano (1808–1809), ketika Belanda memperkuat
kendali dengan menata distrik-distrik Minahasa menjadi bagian tak terpisahkan
dari pemerintahan kolonial.
Lembah Subur
dan Danau Tondano
Selepas Langsot,
perjalanan menanjak menuju dataran tinggi. Hutan di sepanjang jalan tampak
gundul, hanya di puncak dan jurang tersisa rimba lebat. Pohon aren tumbuh
banyak, sementara hamparan sawah baru terlihat ketika rombongan mencapai tepian
Danau Tondano—permata alam Minahasa.
Bagi pelancong
yang tiba di Kakas menjelang senja, pasanggrahan di tepi danau menjadi tempat
perhentian ideal. Di bawah cahaya bulan, permukaan air berkilau laksana cermin,
perahu-perahu blottos meluncur perlahan, dan denting lonceng gereja
terdengar dari kejauhan—suara yang jarang ditemukan di pelosok Hindia,
sekaligus pertanda kuatnya pengaruh misi Protestan Jerman dan Belanda.
Minahasa, pada
pertengahan abad ke-19, dikenal sebagai daerah Kristen paling berhasil di
seluruh Sulawesi. Hampir setiap desa memiliki gereja kecil, dan di sekitar
Tondano, suasana tenang yang diliputi keheningan rohani memberi kesan Eropa
yang kuat.
Kota Tondano:
Jantung Pemerintahan Lokal
Kota Tondano
berdiri di dataran luas bekas cekungan danau. Rapi, bersih, dan teratur, kota
ini menjadi pusat administrasi kolonial sekaligus simbol keberhasilan Belanda
menaklukkan perlawanan Minahasa. Di sini berdiri hotel kecil bergaya Eropa,
rumah pejabat, serta jalur menuju Tomohon dan Manado.
Dengan ketinggian
700 meter di atas permukaan laut, udara Tondano sejuk dan menyehatkan. Dari
kejauhan tampak Gunung Lokon dengan asap mengepul dari kawahnya, sementara ke
arah timur berdiri Gunung Klabat, tegak laksana menara pengawas raksasa. Tak
mengherankan bila Tondano dijadikan titik awal bagi ekspedisi wisatawan dan
pejabat: mendaki gunung, berkunjung ke air terjun Tonsea Lama, atau sekadar
menikmati iklim pegunungan yang menenangkan.
Menuju Menado:
Jalan Turun yang Megah
Perjalanan dari
Tondano ke Manado melalui Tomohon menjadi penutup yang agung. Jalan menurun
tajam, berkelok di antara hutan-hutan lebat, menyuguhkan panorama baru di tiap
tikungan. Dari satu sudut jalan, Teluk Manado tampak berkilauan, dengan
kapal-kapal uap kecil laksana mainan anak-anak di permukaan laut biru.
Ketika sore tiba
dan pelancong sampai di Manado, penutup perjalanan adalah berjalan ke
pelabuhan, menyaksikan matahari terbenam di ufuk laut. Suatu akhir yang
sempurna bagi sebuah ekspedisi yang tidak hanya memperlihatkan keelokan alam
Minahasa, tetapi juga menyimpan kisah kolonialisasi yang membentuk wajah daerah
ini sejak awal abad ke-19.
Sumber:
Paket Royal Berlayar: Masyarakat atau Penumpang Pasca di dalam Kontrak Kode
Kepulauan Eschnadischen Lindsche. Pemerintah Belanda Stvaart, 1854.
Pesangrahan adalah :
Arsitektur pesanggrahan (pasangrahan) pada zaman Belanda di
Minahasa memiliki ciri khas yang menggabungkan gaya kolonial Eropa dengan
adaptasi terhadap iklim tropis dan kondisi geografis pegunungan. Berikut adalah
deskripsi lengkapnya:
1.
Fungsi dan Konsep
Pesanggrahan
pada masa kolonial Belanda berfungsi sebagai tempat singgah sementara bagi
pejabat pemerintah, misionaris, atau pelancong Eropa yang melakukan perjalanan
ke pedalaman Minahasa. Lokasinya biasanya berada di daerah strategis seperti:
- Dekat danau (misalnya di Kakas atau Tondano)
- Kawasan pegunungan
(Tomohon, Langowan)
- Persimpangan jalur penting
antara pelabuhan dan pedalaman
Konsepnya
mengikuti prinsip "rusthuis" atau rumah peristirahatan yang nyaman,
tenang, dan sejuk.
2. Ciri
Umum Arsitektur
Arsitektur
pesanggrahan Minahasa pada zaman Belanda umumnya memiliki ciri-ciri berikut:
a.
Struktur Bangunan
- Bahan utama: kayu keras
lokal (kayu cempaka, kayu besi/ulin) dengan pondasi batu atau umpak
- Rangka bangunan: menggunakan teknik sambungan
tradisional (pasak) yang diperkuat dengan paku besi Eropa
- Atap: berbentuk perisai
(limasan) atau pelana, terbuat dari daun rumbia, sirap kayu atau seng
bergelombang
- Beranda luas: bagian depan
dan samping bangunan memiliki beranda lebar dengan pagar kayu, untuk
menikmati pemandangan dan sirkulasi udara
b. Tata
Ruang
- Tangga
kiri dan kanan
di depan.
- Teras depan polos tanpa ruang, terdapat dinding papan setinggi 75 cm.
- Ruang tengah besar (sering disebut zaal),
berfungsi sebagai ruang duduk dan pertemuan
- Kamar tidur di sisi kiri-kanan untuk tamu
- Ruang makan terpisah di
belakang
- Dapur dan gudang terletak di bagian belakang
atau bangunan tambahan
- Kamar mandi tradisional
dengan bak air (mandi cebok)
c.
Adaptasi Iklim Tropis
- Ventilasi silang melalui jendela besar dengan
daun ganda (jalusi)
- Tiang panggung setinggi 300 cm untuk
menghindari kelembapan dan hewan
- Plafon tinggi (3–4 meter) agar udara tetap
sejuk
- Tiang-tiang besar menopang struktur berat
3. Gaya
Estetika
- Kolonial Eropa: terlihat
pada bentuk simetris, pintu dan jendela berpanel, serta penggunaan warna
putih atau krem pada dinding
- Sentuhan lokal Minahasa:
ukiran sederhana pada balok kayu, penggunaan atap sirap, dan pemakaian
teras luas seperti rumah Minahasa
- Furnitur: meja panjang dari
kayu jati, kursi rotan, lemari kaca bergaya Belanda, dan lampu gantung
minyak
4. Letak dan Lingkungan
Pesanggrahan biasanya dikelilingi oleh:
- Taman kecil dengan bunga-bunga Eropa (mawar,
kamelia) bercampur dengan tanaman lokal (kembang sepatu, kenanga)
- Pohon peneduh (cemara,
flamboyan)
- Halaman luas sebagai tempat kuda dan gerobak
- Terdapat
kandang kuda.
- Pemandangan alam yang indah, seperti Danau
Tondano atau pegunungan Lokon dan Klabat
5.
Contoh Lokasi Pesanggrahan Bersejarah di Minahasa
- Pesanggrahan Kakas (tepi Danau Tondano)
- Pesanggrahan Tomohon (jalur
utama ke Manado)
- Pesanggrahan Tondano (pusat
administrasi pedalaman)
- Pesanggrahan Lahendong
(dekat sumber air panas)
- Pesanggrahan Lansot (di distrik Kawangkoan,kini Kantor Desa Lansot)



