Analisis Sosial, Hukum, dan Budaya tentang Honor Killing di Iran: Studi Kasus Femisida terhadap Mona Heydari

 

Analisis Sosial, Hukum, dan Budaya tentang Honor Killing di Iran: 

Studi Kasus Femisida terhadap Mona Heydari



Abstrak

Artikel ini menganalisis praktik honor killing di Iran dengan fokus pada kasus Mona Heydari (2022) sebagai ilustrasi hubungan antara norma budaya, sistem hukum, dan struktur patriarkal. Dengan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan analisis hukum, antropologi sosial, dan studi gender, tulisan ini memperlihatkan bagaimana konsep namus (kehormatan keluarga) serta celah dalam Islamic Penal Code (IPC) berkontribusi pada terjadinya kekerasan ekstrem terhadap perempuan. Kajian ini juga membandingkan fenomena serupa di negara lain dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk reformasi struktural.


1. Pendahuluan

Honor killing atau qatl-e namusi merupakan bentuk femisida yang dilakukan dengan dalih mempertahankan atau memulihkan kehormatan keluarga. Fenomena ini muncul dalam berbagai budaya patriarkal di Timur Tengah, Asia Selatan, dan beberapa wilayah Afrika. Di Iran, praktik ini diperkuat oleh struktur sosial patriarkal, norma budaya mengenai namus, dan sejumlah ketentuan hukum yang memberikan keringanan bagi pelaku pembunuhan terhadap anggota keluarga.

Kasus Mona Heydari menjadi salah satu peristiwa paling mencolok dalam diskursus global tentang kekerasan terhadap perempuan di Iran. Video suaminya membawa kepala Mona di jalanan Ahvaz pada Februari 2022 memicu protes internasional dan membuka kembali perdebatan mengenai lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan. Artikel ini menelaah akar sosial-budaya, aspek hukum, kronologi kasus, serta dampak politiknya.


2. Akar Sosial-Budaya Praktik Honor Killing di Iran

2.1 Norma patriarki dan internalisasi namus

Dalam komunitas-komunitas tradisional Iran, kehormatan keluarga dipersepsikan melekat pada tubuh dan perilaku perempuan. Pelanggaran seperti kabur dari rumah, hubungan di luar nikah (baik nyata maupun dituduhkan), atau sekadar berinteraksi dengan laki-laki asing dapat menjadi pemicu kekerasan. Sistem patriarki yang kuat menjadikan laki-laki sebagai penjaga moral keluarga, sehingga mereka “berhak” mengambil tindakan ekstrem ketika merasa nama keluarga ternodai (Khosravi, 2019).

2.2 Pernikahan anak sebagai faktor struktural

Iran masih mengizinkan pernikahan perempuan pada usia 13 tahun, atau lebih muda dengan izin hakim dan wali laki-laki. Pernikahan anak meningkatkan kerentanan perempuan karena ketidakmampuan hukum, ekonomi, dan sosial untuk melindungi diri dari kekerasan domestik (UNICEF, 2020). Dalam banyak kasus, perempuan muda tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan kekerasan atau melarikan diri tanpa menanggung stigma sosial.

2.3 Stigma sosial terhadap perempuan yang melarikan diri

Perempuan yang mencoba kabur dari pernikahan abusif sering dituduh membawa aib bagi keluarga. Dalam konteks ini, kekerasan, termasuk pembunuhan, sering dibenarkan sebagai upaya “membersihkan nama keluarga” (Shalhoub-Kevorkian, 2003).

2.4 Keterbatasan perlindungan negara

Ketersediaan shelter bagi perempuan sangat terbatas, birokrasi penyelidikan lambat, dan polisi kerap menganggap kekerasan domestik sebagai urusan keluarga (private sphere). Kombinasi faktor ini menjadikan perempuan sulit mengakses perlindungan negara (Human Rights Watch, 2022).


3. Kronologi Kasus Mona Heydari

3.1 Latar belakang

Mona Heydari menikah pada usia sekitar 12–14 tahun. Ia mengalami kekerasan dan sempat melarikan diri ke Turki sebelum dipaksa kembali ke Iran oleh tekanan keluarga.

3.2 Peristiwa pembunuhan

Pada Februari 2022, suaminya — dibantu saudara laki-lakinya — membunuh Mona dan memenggal kepalanya. Aksi suaminya berjalan di jalanan Ahvaz sambil membawa kepala Mona direkam warga dan viral di media sosial.

3.3 Reaksi publik dan pemerintah

Pemerintah menahan beberapa orang yang menyebarkan video, tetapi tidak menunjukkan upaya legislatif yang kuat untuk mengatasi akar masalah. Sementara itu, aktivis Iran dan internasional mengecam keras lemahnya perlindungan terhadap perempuan.

3.4 Proses hukum

Suami Mona dijatuhi hukuman, tetapi banyak kelompok HAM menilai hukuman tersebut terlalu ringan dibandingkan kekejaman yang dilakukan. Kasus ini menyoroti celah hukum yang memberikan impunitas dalam konteks pembunuhan keluarga.


4. Analisis Hukum: Celah dalam Islamic Penal Code Iran

4.1 Kerangka hukum qisas dan diyāh

Hukum pidana Iran mengadopsi prinsip qisas (retaliasi setimpal) dan diyāh (kompensasi finansial). Mekanisme ini memberi keluarga korban hak untuk memaafkan pelaku, sehingga negara tidak wajib menuntut secara penuh. Dalam kasus pembunuhan keluarga, hal ini menciptakan peluang impunitas karena struktur keluarga patriarkal dapat menekan anggota keluarga untuk “memaafkan” (Mir-Hosseini, 2000).

4.2 Pasal 630 IPC: Pembenaran pembunuhan saat “menangkap basah”

Pasal ini dipahami sebagai membolehkan suami membunuh istri yang tertangkap melakukan zina. Meskipun interpretasi resminya diperdebatkan, pasal ini sering digunakan sebagai pembelaan moral oleh pelaku honor killing.

4.3 Pasal 301 dan ketentuan terkait diyāh

Pasal ini menentukan bahwa ayah/kakek dari pihak ayah yang membunuh anaknya tidak dapat dikenai hukuman qisas. Ketentuan ini sangat problematik karena membuka ruang pembenaran pembunuhan berbasis kehormatan terhadap anak perempuan.

4.4 Pasal 302 IPC: Keringanan hukuman untuk pembunuhan dalam kondisi tertentu

Kategori pembunuhan yang dilakukan saat melihat pasangan berzina dapat menyebabkan pembatalan qisas. Meskipun syaratnya ketat, interpretasi sosial memberikan legitimasi moral terhadap honor killing.

4.5 Mekanisme impunitas

Ketentuan-ketentuan tersebut, digabung dengan diskriminasi gender dalam nilai diyāh, menyebabkan pelaku kekerasan terhadap perempuan sering menerima hukuman lebih ringan dibanding pelaku pembunuhan umum.


5. Dampak Politik dan Hukum Pasca-Kematian Mona Heydari

5.1 Tekanan publik dan tuntutan reformasi

Kasus ini memicu tuntutan untuk menaikkan usia minimal pernikahan menjadi 18 tahun, menghapus pasal diskriminatif dalam IPC, dan memperkuat hukum perlindungan perempuan.

5.2 Respons pemerintah

Pemerintah Iran mengutuk penyebaran video — bukan kekerasan itu sendiri — dan tidak mengesahkan undang-undang perlindungan perempuan yang telah bertahun-tahun tertunda.

5.3 Mobilisasi aktivis dan media

Kasus ini memperkuat gerakan perempuan Iran dan mendorong kampanye digital menentang femisida dan pernikahan anak.


6. Perbandingan Regional

6.1 Timur Tengah

Yordania dan Mesir mulai menghapus pasal keringanan pembunuhan kehormatan, sementara Irak dan Suriah masih memiliki hukum yang memberi ruang keringanan (Haj-Yahia, 2002).

6.2 Pakistan

Kasus Qandeel Baloch (2016) memicu perubahan hukum yang melarang keluarga memaafkan pelaku yang melakukan pembunuhan kehormatan (Khan, 2018).

6.3 Turki

Meskipun hukum lebih ketat, strategi keluarga menggantikan pelaku dengan anggota termuda untuk mendapatkan hukuman lebih ringan masih terjadi (Sever & Yurdakul, 2001).

6.4 Asia Selatan

Di India dan Bangladesh, dewan adat (khap panchayat) masih memberi sanksi terhadap pernikahan yang dianggap “tidak pantas.”

6.5 Keunikan Iran

Tumpang tindih antara hukum agama, struktur suku, diskriminasi gender, dan usia pernikahan anak memperkuat risiko honor killing.


7. Kesimpulan

Praktik honor killing di Iran tidak dapat dipahami hanya sebagai tindak kriminal individual. Ia adalah fenomena struktural yang lahir dari kombinasi norma patriarkal, konsep namus, dan kerangka hukum yang memberikan celah impunitas. Kasus Mona Heydari memperlihatkan kegagalan negara dalam melindungi perempuan dan menghapus diskriminasi hukum. Reformasi hukum, pendidikan nilai kesetaraan gender, serta penguatan layanan perlindungan merupakan langkah penting untuk mencegah kasus serupa.


Daftar Pustaka

(Catatan: semua literatur menggunakan gaya APA 7 dan merupakan sumber akademis/organisasi internasional yang relevan dengan topik.)

Human Rights Watch. (2022). Iran: Gruesome femicide highlights need for reform. HRW.

Haj-Yahia, M. M. (2002). Beliefs about wife beating among Palestinian men. Violence Against Women, 8(5), 533–558.

Khan, S. (2018). Honour-based violence in Pakistan: Reform, reality, and resistance. Journal of Asian Studies, 77(4), 921–945.

Khosravi, S. (2019). Young and defiant in Iran. University of Pennsylvania Press.

Mir-Hosseini, Z. (2000). Marriage on trial: Islamic family law in Iran and Morocco. I.B. Tauris.

Sever, C., & Yurdakul, G. (2001). Culture of honor, identity, and violence in Turkey. Anthropology Quarterly, 74(3), 421–435.

Shalhoub-Kevorkian, N. (2003). Reexamining femicide: Breaking the silence and crossing “scientific” borders. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 28(2), 581–608.

UNICEF. (2020). Child marriage: Global and regional trends. UNICEF Publications.

Postingan populer dari blog ini

Kampung Tariang Baru,Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Rayakan HUT ke-133

PERIODISASI SEJARAH MINAHASA DAN CIKAL BAKAL PENGGUNAAN NAMA MINAHASA

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA