Hilangnnya Warisan Leluhur berusia 300 tahun : Tongkonan Ka'Pun Toraja
Hilangnya Warisan Leluhur: Analisis Sosio-Kultural dan
Hukum atas Penghancuran Tongkonan Ka’pun di Rante Kurra, Tana Toraja (Kronologi
hingga Eksekusi 2025)
Abstrak
Artikel ini mengkaji Tongkonan Ka’pun—rumah adat sakral
masyarakat Toraja di Kelurahan Rante Kurra, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana
Toraja—dalam rentang sejarah konseptual hingga peristiwa eksekusi/pembongkaran
pada 5 Desember 2025. Penelitian
dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap dokumen kebudayaan, laporan
akademik, dan liputan jurnalistik. Temuan menunjukkan bahwa Tongkonan Ka’pun
merupakan situs budaya berusia sekitar tiga abad yang berfungsi sebagai pusat
identitas marga dan simbol kontinuitas adat. Namun modernisasi, sengketa lahan,
dan lemahnya kerangka hukum pelestarian budaya menjadikannya rentan terhadap
tindakan eksekusi oleh hukum negara. Eksekusi 2025 memicu hilangnya struktur
fisik dan fungsi komunal tongkonan, sekaligus menunjukkan ketegangan
fundamental antara hukum adat dan hukum positif. Artikel ini menegaskan
perlunya kebijakan pelindungan warisan budaya yang lebih komprehensif.
Kata kunci: Toraja, Tongkonan Ka’pun, sengketa lahan,
eksekusi 2025, hukum adat, warisan budaya.
Pendahuluan
Tongkonan sebagai rumah adat masyarakat Toraja memiliki
kedudukan sentral dalam struktur sosial, genealogis, dan religius. Sebagai
pusat identitas marga, tongkonan memainkan fungsi simbolik dan politis yang
bertahan lintas generasi. Studi kebudayaan menegaskan bahwa tongkonan bukan
sekadar arsitektur, tetapi institusi adat yang memuat nilai, memori kolektif,
dan pengaturan sosial (Kemdikbud, 2020; Waterson, 2009). Di Kelurahan Rante
Kurra, Tongkonan Ka’pun dipandang sebagai salah satu tongkonan tertua dengan
usia diperkirakan lebih dari 300 tahun, diwariskan lintas generasi, dan
berfungsi sebagai pusat identitas marga.
Namun dinamika modern, perubahan sosial, dan konflik
pertanahan membawa perubahan signifikan terhadap peran tongkonan. Penelitian
mengenai kepemimpinan adat di Kurra menunjukkan melemahnya fungsi struktural
pemimpin tongkonan dalam masyarakat kontemporer (Yohanis, 2020). Dalam konteks
tersebut, Tongkonan Ka’pun akhirnya terlibat dalam sengketa lahan yang
kompleks, yang berpuncak pada eksekusi pembongkaran oleh putusan pengadilan
pada Desember 2025. Peristiwa tersebut memicu reaksi luas dari masyarakat adat,
budayawan, dan berbagai pemangku kepentingan.
Artikel ini bertujuan menganalisis kedudukan Tongkonan
Ka’pun dalam struktur sosial Toraja, dinamika sengketa lahan, hingga implikasi
budaya-hukum dari penghancurannya pada 2025. Kajian ini penting untuk memahami
relasi antara institusi adat dan hukum negara dalam kerangka pelestarian
warisan budaya.
Metode
Penelitian menggunakan metode studi kepustakaan (library
research) dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data meliputi:
- Dokumen kebudayaan: publikasi tentang tongkonan dan
pemukiman adat Toraja.
- Penelitian
akademik: laporan penelitian kepemimpinan adat di Kecamatan Kurra.
- Berita dan laporan media (2023–2025): kronologi sengketa
tanah dan eksekusi Tongkonan Ka’pun.
- Laporan
hukum dan analisis jurnalis mengenai sengketa lahan yang relevan.
Data dianalisis melalui teknik coding tematik,
mencakup:
(a) fungsi adat tongkonan;
(b) perubahan sosial;
(c) struktur sengketa lahan;
(d) rekonstruksi kronologi eksekusi;
(e) implikasi hukum dan budaya.
Hasil
1. Status Tradisional Tongkonan Ka’pun
Tongkonan Ka’pun dipandang sebagai tongkonan leluhur yang
memiliki kedudukan Ka’pun—kategori tongkonan tertua dan paling sakral. Secara
tradisional, bangunan ini berfungsi sebagai pusat genealogis dan pusat
keputusan adat bagi komunitas marga di Rante Kurra. Sebagai warisan berusia
sekitar 300 tahun, Tongkonan Ka’pun menjadi simbol legitimasi sosial, sejarah
keluarga, dan kontinuitas adat.
2. Transformasi Sosial dan Penurunan Fungsi Adat
Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa kepemimpinan tongkonan
di Kurra mengalami kemunduran dalam pengaruh sosialnya akibat modernisasi,
fragmentasi keluarga, dan pergeseran nilai (Yohanis, 2020). Terkikisnya fungsi
adat ini turut melemahkan posisi tongkonan dalam menjaga kepentingan komunal,
termasuk dalam sengketa tanah.
3. Sengketa Lahan dan Ketegangan Hukum
Sengketa tanah yang melibatkan wilayah sekitar Tongkonan
Ka’pun berlangsung panjang dengan sejumlah putusan hukum sejak akhir 1980-an.
Kuasa hukum keluarga menyatakan bahwa tanah lokasi tongkonan tidak termasuk
objek sengketa, namun proses hukum tetap berujung pada perintah eksekusi
terhadap struktur bangunan tongkonan. Perbedaan interpretasi ini menimbulkan konflik antara sistem hukum adat
(hak ulayat, pusaka keluarga) dan hukum negara (kepemilikan legal formal).
4. Eksekusi
dan Penghancuran 5 Desember 2025
Eksekusi
dilakukan oleh tim aparat gabungan (Polri, Brimob, TNI, Satpol PP). Proses
pembongkaran disertai ketegangan dan penolakan masyarakat adat, termasuk ritual
Ma’sossoran Rengnge’ dan Ma’ Tallu Rara yang digelar sebagai bentuk proteksi
adat. Pembongkaran mengakibatkan hilangnya struktur fisik Tongkonan Ka’pun
serta bangunan penunjangnya. Bagi komunitas adat, peristiwa tersebut
dianggap sebagai hilangnya warisan leluhur dan simbol identitas marga.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghancuran Tongkonan
Ka’pun bukan sekadar persoalan sengketa pertanahan, melainkan fenomena yang
melibatkan tiga rezim nilai:
- Hukum adat, yang memandang tongkonan sebagai entitas
sakral dan bukan properti komersial.
- Hukum
negara, yang menetapkan putusan eksekusi berdasarkan status tanah
sebagai objek sengketa properti.
- Pelestarian
budaya, yang seharusnya melindungi warisan arsitektur tradisional,
namun secara praktis tidak memiliki mekanisme kuat dalam sengketa legal.
Ketegangan antara ketiga rezim ini membuat warisan budaya
mudah tereliminasi ketika berhadapan dengan proses formal hukum negara.
Kehancuran Tongkonan Ka’pun menunjukkan lemahnya regulasi pelindungan budaya,
terutama dalam kasus di mana objek budaya berdiri di atas tanah yang
dipersengketakan secara legal. Selain itu, hilangnya tongkonan juga memutus
memori kolektif dan kontinuitas ritual masyarakat.
Peristiwa ini mempertegas kebutuhan mendesak akan mekanisme cultural
impact assessment dalam kasus sengketa tanah yang melibatkan situs budaya.
Kesimpulan
Tongkonan Ka’pun merupakan bagian penting dari warisan
budaya Toraja yang memuat nilai sejarah, genealogis, dan spiritual. Namun
sengketa pertanahan, perubahan sosial, dan lemahnya kerangka pelindungan budaya
menyebabkan tongkonan tersebut akhirnya dihancurkan melalui eksekusi pengadilan
pada Desember 2025. Kasus ini menunjukkan pentingnya harmonisasi hukum adat
dengan hukum negara dalam penyelesaian konflik lahan, serta perlunya kebijakan
pelestarian budaya yang lebih kuat dan operasional.
Daftar Pustaka
Berita Kota Makassar. (2025). Masyarakat adat tolak
eksekusi Tongkonan Ka’pun.
Fajar, Harian. (2025). Kasus eksekusi tongkonan tua di
Kurra memicu polemik perlindungan budaya.
Kabar Bangsa. (2025). Tongkonan Ka’pun: Warisan 300 tahun
di Kurra terancam eksekusi.
Kareba Toraja. (2025). Ritual adat dilakukan untuk
menolak eksekusi Tongkonan Ka’pun.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
(2020). Warisan budaya Toraja dan pemukiman tradisional.
Lensamerdeka. (2025). Bentrok terjadi saat eksekusi
Tongkonan Ka’pun di Tana Toraja.
Toraja Times. (2025). Eksekusi Tongkonan Ka’pun di Kurra
dilakukan dengan pengawalan aparat gabungan.
Warta.in. (2025). Kuasa hukum: Tongkonan Ka’pun tidak
termasuk objek sengketa.
Warta Polri. (2024). Tongkonan sebagai identitas budaya
Toraja.
Waterson, R. (2009). Paths and rivers: Sa'dan Toraja
society in transformation. NUS Press.
Yohanis, M. (2020). Kepemimpinan tongkonan dalam
masyarakat modern Kelurahan Rante Kurra. Institut Agama Kristen Negeri
Toraja.
