Postingan

KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN DAN TRADISI BERBURU KEPALA MANUSIA DALAM KEPERCAYAAN TUA MINAHASA

Gambar
  KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN DAN TRADISI BERBURU KEPALA MANUSIA DALAM KEPERCAYAAN TUA MINAHASA Di jantung tanah Minahasa, Sulawesi Utara, kepercayaan kuno masyarakat Alifuru menyimpan pandangan yang unik dan sarat makna tentang kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah perjalanan menuju dunia lain yang sangat ditentukan oleh status sosial seseorang semasa hidup. Orang miskin, setelah menghembuskan napas terakhir, dipercaya akan menuju ke hutan dalam keadaan tanpa tujuan, sebuah keadaan yang disebut mange witi talun . Di sana, roh mereka terus mengembara tanpa arah, hidup dalam bayang-bayang rimba yang sunyi. Sebaliknya, orang kaya dianggap memiliki jalan yang lebih terhormat. Mereka dipercaya naik ke kasendukan , dunia atas atau surga, tempat roh-roh terhormat bersemayam. Pengorbanan Manusia dan Pengayauan   atau   Mamu’is Kepercayaan akan kehidupan setelah mati juga berkaitan erat dengan praktik pengorbanan manusia, teruta...

BUDAYA KAIN DAN ISTILAH-ISTILAH TEKSTIL DALAM TRADISI SANGIHE

Gambar
  Wanita  Sangihe dengan  Penutup Kepala  Yang  dinamakan Tatimbuhung BUDAYA KAIN DAN ISTILAH-ISTILAH TEKSTIL DALAM TRADISI SANGIHE Oleh :   Alffian   Walukow   Sejak zaman prasejarah hingga sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, masyarakat Sangihe telah mengembangkan tradisi budaya yang kompleks, termasuk dalam hal ritual kematian. Salah satu praktik yang menonjol adalah membungkus jenazah dengan kain dan penggunaan penutup kepala (kerudung). Tradisi ini bukan sekadar prosedural, tetapi sarat makna simbolik, mencerminkan pandangan masyarakat Sangihe terhadap kehidupan, kematian, dan dunia arwah. Bellwood (1997) menyatakan bahwa masyarakat Austronesia, termasuk penduduk di kepulauan Sulawesi, telah mengenal praktik ritual menggunakan kain sebagai media simbolik jauh sebelum kontak dengan dunia luar (“ textiles played a central role in ritual and social identity in Austronesian societies ,” hlm. 124). Hal ini mendukung bukti adanya pra...

MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA

Gambar
  MASAMPER SANGIHE: DARI MEBAWALASE KE PENTAS LOMBA Lenganeng, 15 Agustus 2025  Kampung Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, menjadi saksi hidup geliat budaya Sangihe ketika lomba Masamper digelar sebagai bagian dari perayaan HUT Kampung ke-119 sekaligus HUT Kemerdekaan RI ke-80. Acara ini menghadirkan sembilan grup Masamper: GM. Tambun Membara, GM. Talengen, GM. Angges, GM. Taloarane Manganitu, GM. Mahena, GM. Pusunge, GM. Putra Bhayangkara, GM. RT 25, dan GM. Lesabe. Kegiatan diawali doa oleh Pendeta Jun Salatu, M.Th, yang juga dipercaya menjadi Ketua Tim Juri bersama Jakobus Horman, S.Pd, dan Junus Sinadia, S.S. Para juri direkomendasikan oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Daerah Sangihe, dan penilaian menggunakan kriteria hasil seminar Masamper tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Pemda Sangihe. Kriteria tersebut berbeda dengan kriteria penilaian yang digunakan di Minahasa. Masamper: Tradisi yang Terus Berubah Masamper adalah seni vokal khas Sangihe yang seti...
Gambar
  Merah Putih di Ujung Utara   dan Perjuangan Hamzah   Adariku Oleh :  Alffian  Walukow Langit Tanjung Panipi, Kendahe, pagi itu dipenuhi aroma garam laut dan desir angin musim barat yang membawa hawa dingin. Ombak memukul karang-karang hitam, seakan menyuarakan kegelisahan yang merayap di dada para pemuda yang berkumpul di tepi pantai. Di tengah mereka berdiri Hamzah Adariku , wajahnya tenang namun matanya menyala oleh api yang sama sekali tak bisa dipadamkan oleh ancaman senjata. "Ini bukan sekadar kain," ucap Hamzah, suaranya pelan namun tegas. Tangannya menggenggam bendera Merah Putih yang masih terlipat rapi. "Ini adalah nyawa kita, harga diri kita, dan janji kita kepada tanah ini." Di sekelilingnya, para pejuang lokal — Ali Adariku, Ahmad Tompo, dan beberapa pemuda lainnya — mengangguk. Mereka tahu, tindakan mengibarkan bendera di hadapan mata penjajah bukanlah perayaan biasa. Itu adalah pernyataan perang, sebuah tantangan yang bisa berakhir dengan d...

SIMON DIRK VAN DER VELDE VAN CAPELLEN

Gambar
Simon D. van der Velde van Cappellen (1851–1856) Riwayat Hidup dan Pelayanan Simon Dirk van der Velde van Cappellen (1822–1856) Latar Belakang Keluarga dan Kelahiran (1822–1840-an) Simon Dirk van der Velde van Cappellen lahir pada 21 April 1822 di Delfshaven , Zuid-Holland, Belanda. Ia adalah putra dari Dirck van Cappellen (1782–1832) dan Hester van der Velden (1783–1866). Nama lengkapnya merupakan gabungan nama ayah dan ibunya. Keluarga Van Cappellen hidup pada masa pasca-perang Napoleon, di tengah situasi ekonomi dan kesehatan yang masih rapuh. Dari delapan bersaudara, hanya beberapa yang bertahan hingga dewasa. Saudara-saudaranya antara lain: ·         Ingetje van Cappellen (1809–1883) ·         Arie van Cappellen (1811–1871) ·         Pieter van Cappellen (1816–1872) ·         Beberapa saudara lainnya meninggal pada usia ba...